Kampung Pengundang Ular (2)

Kampung Para Pengundang Ular : Renaissance

Sepeninggal Ketua Kampung untuk berkelana seantero pelosok
negeri, para penduduk berkumpul untuk memilih pemimpin
baru. Seperti yang terjadi sebelumnya, ada dua kelompok kuat
yang bersaing dalam memperebutkan posisi Ketua Kampung.
Kelompok pendukung kebebasan ular untuk memasuki
kampung melawan kelompok penentangnya. Minggu-minggu
menjelang pemilihan terjadilah perang urat syaraf yang sangat
sengit.













Kelompok penentang ular membeberkan puluhan bukti-
bukti yang menunjukkan bahwa telah jatuh puluhan korban
tewas akibat keganasan ular dan mengatakan sudah saatnya
untuk mengusir ular dari rumah-rumah penduduk. Kelompok
pendukung ular dengan gigih memberi bukti keluarga-keluarga
yang hidup damai bersama ular-ular, bahkan mendapat
penghasilan tambahan dari para wisatawan luar kampung yang
gemar menonton atraksi-atraksi yang disuguhkan para ular.

Hanya satu hari menjelang pemilihan terjadi tiga kehebohan
besar yang mempengaruhi hasil pemilihan. Kehebohan pertama
adalah dibelinya seekor ular sanca yang ditemukan seorang
perempuan tua oleh pedagang kaya dari ibukota
dengan harga setara sekilo emas murni 24 karat. Kehebohan
kedua adalah digagalkannya perampokan di rumah
salah seorang terkaya di kampung ---karena si perampok
berteriak-teriak ketakutan--- akibat membuka lemari yang
disangka berisi perhiasan ternyata berisi belasan ekor cobra.

Peristiwa ketiga adalah dipujinya klub muda-mudi pengundang
ular sebagai klub muda-mudi teladan oleh seorang pembesar
negeri karena sukses memberantas hama tikus secara alami
tanpa racun kimia. Segera saja ketiga peristiwa itu menjadi
primadona kampanye para pendukung ular. Hasilnya-pun
nyata. Mereka sukses mengkanvaskan para penentang ular
dalam pemungutan suara.

^_^

“Hari ini kita berkumpul di halaman balai kampung untuk
merayakan kemenangan kaum pendukung kebebasan. Manusia
adalah makhluk cerdas. Dengan kemampuan otaknya manusia
bebas menentukan mana yang dianggap baik dan mana yang
buruk. Sesuatu akan baik bila kita anggap baik dan menjadi
buruk bila kita anggap buruk. Kita tidak butuh siapa-siapa.
Kita adalah makhluk tiada tara. Yang kita butuhkan adalah
kebebasan untuk menentukan pilihan. Kita adalah para pecinta
ular. Muda-mudi kita adalah para pecandu ular. Biarlah mereka
mengisi masa muda mereka dalam pelukan ular-ular yang
berbisa sekalipun. Mereka akan aman-aman saja sepanjang
mereka telah kita bekali dengan pengetahuan tentang ular dan
kiat menangkal bahaya bisa ular” kata Ketua Kampung baru
pada saat pidato pelantikan yang dibanjiri para pendukungnya.

“Saya tidak keberatan dengan teman-teman kita yang tidak
suka dengan ular. Namun saya harap mereka tidak
mengganggu pergaulan kita dengan ular-ular kelangenan.
Mereka boleh tidak setuju, tapi mereka tidak punya hak sama
sekali untuk mengusik kita. Bahwa anak-anak mereka juga
terancam oleh kehadiran para ular---sudah menjadi tugas
mereka untuk mengajari anak-anak mereka bermain ular
dengan aman. Ajari anakmu bermain ular. Jangan coba-coba
usir ular keluar kampung. Jangan ganggu kesenangan kami”
teriak Ketua Kampung yang baru menutup pidato
pelantikannya yang disambut tepuk tangan meriah para
pendukungnya.

^_^

Tak sampai satu bulan setelah pelantikan Ketua Kampung yang
baru—korban-korban kembali berjatuhan. Kali ini kebanyakan
adalah muda mudi yang coba-coba bermain dengan ular.
Disangkanya dengan sedikit pengetahuan tentang ular mereka
akan aman bermain dengan hewan berbisa tersebut. Pada
kenyataannya belasan anak muda menjadi korban. Sebagian
mati, sebagian yang lain terkapar di rumah sakit .
Namun setiapkali diadakan pemungutan suara untuk
menentukan nasib para ular, kelompok penentang ular selalu
kalah. Para pendukung ular memiliki kelompok-kelompok
kesenian ular yang rajin keliling kampung untuk menghibur
penduduk dengan gratis sehingga mereka mendapat simpati
yang luas.

^_^

Sepuluh tahun berlalu, keganasan ular semakin menjadi-jadi
namun kegilaan sebagian penduduk terhadap ular juga semakin
menjadi-jadi. Korban keganasan ular sudah dianggap biasa.
Sebagian penduduk sudah menganggapnya sebagai resiko biasa
yang dihadapi semua orang dalam kehidupan. Berita remaja
terkapar karena dipatuk ular sudah tidak menarik lagi. Para
penentang yang teriak-teriak meminta ular diusir keluar
kampung dianggap orang kuno yang tidak tahu bahwa
kebebasan adalah pangkal kemajuan. Kemarahan para
penentang sudah meluap-luap sampai ke ubun-ubun. Namun
mereka harus gigit jari karena selalu kalah populer dibanding
para pendukung kebebasan ular yang sangat canggih dalam
meraih simpati penduduk.

^_^

Menginjak tahun kesebelas tiba-tiba munculah seorang tua
yang rambutnya panjang dan jenggotnya juga panjang hampir
menyentuh tanah. Puisi yang diteriakkannyalah yang membuat
penduduk kampung mengerti bahwa Ketua Kampung Lama
mereka telah kembali. Rupanya selama sepuluh tahun
berkelana dia tidak pernah mencukur rambut dan jenggot
hingga menjadi sangat panjang.

Barangsiapa mengundang ular ke dalam rumah
untuk memangsa tikus-tikus pemakan beras,
dia juga harus rela bila si ular menggigit mati anaknya.
Karena anak suka bermain dan
ular suka menggigit bila dipermainkan.
Itu adalah sifat alami kedua makhluk ciptaan Tuhan.


Puisi itu diteriakkan tiap satu jam sekali oleh Ketua Kampung
Lama di halaman balai kampung. Malamnya para penentang
ular berduyun-duyun mendatangi Kepala Kampung Lama
untuk mengadukan merajalelanya ular sepeninggal dirinya.

Tergerak oleh nasib kampungnya yang dicengkeram dunia
ular---justru pada saat dirinya mengajarkan bahaya ular ke
seluruh penjuru negeri. Ditambah kesadaran bahwa tindakan
nyata jauh lebih berarti dari sekedar kata-kata--- Kepala
Kampung Lama bersedia memimpin kampanye untuk
menentang ular. Malam itu juga disuruhnya semua penentang
ular membuat pentungan dari batang bambu. Diperintahkan
juga mereka membuat obor-obor dan mengumpulkan garam.
Tidak lupa mereka diminta mempersiapkan panah-panah api.

Pagi harinya Ketua Kampung Lama yang telah mencukur
gundul rambutnya ---mengumpulkan seluruh penduduk
penentang ular yang juga telah mencukur gundul rambut
mereka--- di alun-alun kampung. Mereka membawa semua
perlengkapan yang telah dipersiapkan malam harinya.
Jumlah penentang ternyata jauh lebih besar dibanding para
pendukung ular.

“Hari ini kita berkumpul ditempat ini sebagai kaum pecinta
kebenaran. Kebenaran adalah kebenaran yang tidak akan
berubah menjadi kesesatan setelah seribu tahun sekalipun. Hari
ini adalah saatnya para ksatria gagah berani pembawa risalah
kebenaran untuk menghancurkan kesesatan” Ketua Kampung
Lama memulai pidatonya.

Sejenak kemudian terdengar gemuruh suara para penentang
ular berteriak-teriak mendukung pidatonya pemimpinnya.

Ketua Kampung Lama meneruskan kata-katanya :
“Api adalah api. Api adalah panas. Biarpun seribu kali sehari
mereka bilang api adalah dingin dan dilakukan selama seribu
tahun. Api tidak akan berubah menjadi dingin. Ular berbisa itu
berbahaya bila berada dirumah kita. Biarpun seribu kali sehari
mereka bilang bahwa ular-ular yang berkeliaran di kamar tidur,
di dapur, di lumbung padi tidak berbahaya – bisa ular tetap
berbahaya. Biar seribu tahun mereka bilang ular tidak
berbahaya bagi anak-anak kita --- ular tetap akan berbahaya
bagi anak-anak kita. Kebenaran adalah kebenaran. Kebenaran
harus diperjuangkan dan bukan diputuskan lewat pemungutan suara”

Mendadak Ketua Kampung Lama berhenti berpidato dan menangis
terisak-isak teringat anaknya yang tewas 10 tahun silam. Setelah
terdiam beberapa lama tiba-tiba dia berdiri diatas meja dan berteriak
dengan lantang :

“Kebebasan sejati adalah kebebasan dari perbudakan
nafsu. Kebebasan sejati adalah membebaskan diri dari
keinginan untuk selalu bersenang-senang. Kebebasan adalah
keberanian untuk menerima kenyataan bahwa ular-ular berbisa
akan membahayakan masa depan anak cucu kita. Kebebasan
adalah keberanian untuk melihat masa depan tanpa terhalang
kesenangan sesaat. Mereka telah dibutakan hatinya dari
kenyataan. Mereka berpancaindera normal namun
sesungguhnya telah buta dan tuli tidak mampu melihat
kenyataan ratusan korban keganasan ular. Nafsu telah
membuat hati mereka gelap pekat kehilangan cahaya. Hati
mereka telah mengeras seperti batu”.

Kemudian Ketua Kampung Lama memberi isyarat penentang
ular untuk bergerak.

“Hari ini nasib anak-anak kita dipertaruhkan. Mari kita
hancurkan sarang-sarang ular di dalam kampung. Kita usir
semua ular dari sekeliling kita. Kita bunuh semua ular yang
tidak mau pergi. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung.
Kita hancurkan siapa saja yang menghalangi misi kita”

Ratusan penentang ular segera bergerak. Sarang-sarang ular
dibongkar. Lubang-lubang yang penuh ular diasapi dengan
bantuan obor. Garam-garam ditaburkan. Akibatnya ular-ular
ketakutan dan berlomba-lomba meninggalkan kampung.
Belasan ular yang mencoba melawan tewas digebuk dengan
batang-batang bambu. Ular-ular yang bersembunyi di rumah
para pendukung ular juga dipaksa keluar dan diusir
meninggalkan kawasan perumahan penduduk. Para pendukung
ular tidak mampu berbuat apa-apa. Jumlah mereka
yang sedikit ditambah panah-panah yang dibawa para
penentang ular telah menciutkan nyali mereka. Sementara
penduduk biasa yang cenderung ikut pada kelompok yang kuat
--- telah berpaling dari mereka. Kini mereka berbalik menjadi
para penentang ular.

^_^

Sebulan setelah peristiwa itu kampung praktis telah bersih dari
ular. Mungkin ada satu dua orang yang secara sembunyi-
sembunyi mengundang para ular. Namun mereka tidak akan
berani terang-terangan. Apalagi mengajak anak-anak muda
untuk bermain-main dengan ular. Tak terdengar lagi remaja
yang mati digigit ular. Bapak-bapak kembali dengan tenang
menyiangi kebunnya dari alang-alang. Ibu-ibu tak perlu
khawatir digigit ular saat mengambil padi dari lumbung. Para
orang tua tidak perlu terus-menerus mengawasi anaknya agar
tidak bermain–main dengan ular. Ketentraman dan kedamaian
menyelimuti kampung yang telah kembali menemukan jati diri
sejatinya itu. Kepala Kampung Lama-pun mendapat julukan
baru, yaitu Ksatria Gundul Pembebas Kampung dari Para
Pengundang Ular.

jl. makmur bandung


Kampung Pengundang Ular (1)



Kampung Para Pengundang Ular :. Dark age

Alkisah di sebuah kampung setelah melalui perdebatan seru
akhirnya kepala kampung memutuskan ular-ular












diperbolehkan memasuki kampung dengan alasan mereka
juga punya hak untuk hidup di tanah-tanah yang berada di
lingkungan pemukiman penduduk. Mereka bebas untuk
hidup di dalam kampung dan memakan tikus-tikus yang
bersembunyi di dalam lumbung-lumbung padi para petani.

Alhasil argumen para penentang bahwa ular-ular itu sangat
membahayakan bagi orang-orang kampung, terutama bagi
anak-anak dibawah umur yang belum mengerti begitu
berbahaya-nya bisa ular--- ditolak--- karena dianggap
mengada-ada. Lebih baik setiap keluarga mendidik anak-
anak mereka agar berhati-hati bila bermain di tempat-tempat
yang sering disambangi ular daripada mengekang kebebasan
para ular.


“Bukan saatnya lagi main larang-larangan. Sekarang bukan
jaman kuda gigit besi. Setiap orang bebas melakukan apa saja
sepanjang tidak merugikan orang lain. Bukan masanya lagi
kampung mengurusi urusan pribadi penduduknya. Anda
boleh menyukai ular atau membencinya. Namun anda harus
bersedia menerima kehadiran ular disekitar kita. Bentengi
keluarga anda dengan pengetahuan tentang ular sehingga
tidak akan menjadi korban gigitan ular".

"Omong kosong kalau ular itu berbahaya. Lebih berbahaya orang-
orang yang suka mencuri beras dari lumbung petani. Lebih
berbahaya hama-hama yang menyerang tanaman padi. Lebih
berbahaya orang yang sengaja memberi pinjaman berbunga
tinggi pada petani untuk mengambil alih kepemilikan sawah.
Bereskan hal-hal tersebut terlebih dahulu sebelum teriak-teriak
menentang kehadiran ular”. Begitulah ketua kampung berorasi
pada saat acara pengguntingan pita yang manandai hadirnya
para ular.

^_^

Pada awalnya penduduk kampung sangat senang dengan
hadirnya ular-ular di rumah mereka. Tikus-tikus di lumbung
padi habis disantap binatang melata tersebut. Demikian juga
dapur-dapur penduduk terbebas dari gangguan tikus dimalam
hari. Tidur mereka juga lebih nyenyak karena tak ada lagi
bunyi berisik para tikus bekejar-kejaran di plafon rumah.

Para ular membuat tikus stress karena dikejar-kejar sampai
ke liang-liang rahasia di saluran pembuangan air sehingga
mereka terpaksa menenangkan diri dengan mengungsi ke
hutan-hutan. Saking semangatnya para ular, burung-burung
yang suka menyantap gabah yang sedang dijemur petani-pun
jauh berkurang karena dijadikan semacam menu pendamping
tikus.

Sampai suatu hari seorang bayi tewas digigit ular weling saat
ditinggal ibunya menyabit rumput di kebun. Kontan
terjadilah perdebatan seru antar pendukung dan penentang
kehadiran ular. Kali ini para pendukung ular kembali
memenangkan pemungutan suara di Balai Kampung setelah
sukses menyalahkan si Ibu yang meletakkan bayi -nya secara
sembarangan di bawah pohon kelapa.


“Seharusnya bayi diletakkan di dalam rumah bukan ditaruh-
taruh di halaman. Bukan hanya ular yang membahayakan.
Bisa saja si bayi dimakan anjing atau kucing bahkan bisa
mati karena kejatuhan kelapa” begitulah kata-kata pamungkas
yang mampu meyakinkan para tokoh kampung untuk kembali
mendukung keberadaan ular.

Bulan-bulan berikutnya korban-korban kembali berjatuhan.
Ada anak yang digigit ular saat memanjat pohon mangga.
Beberapa ibu-ibu juga digigit ular saat sedang
membersihkan kebun dari ilalang. Yang paling tragis adalah
peristiwa seorang bayi yang ditelan bulat-bulat seekor ular
sanca raksasa saat ditinggal ibunya mencuci di sungai.


Untuk peristiwa terakhir ini si Ibu disalahkan karena
meninggalkan bayi di tepi sungai yang dianggap berbahaya.
Si bayi bisa tewas karena hanyut. Lagipula mencuci di sungai
adalah kegiatan yang sudah dinyatakan terlarang sejak beberapa
tahun silam. Pendeknya pendukung kebebasan ular kembali
meraih kemenangan. Bahkan si ibu yang malang dihukum
denda karena melakukan kelalaian yang menyebabkan
kematian anaknya.

^_^

Namun semuanya berubah 180 derajad setelah anak tunggal
kepala kampung tewas digigit ular saat menendang-nendang
kepala seekor cobra. Selama berhari-hari kepala kampung
termenung menyesali peristiwa yang menimpanya.
Bagaimana mungkin anak yang setiap hari diberitahu untuk
tidak bermain-main dengan ular telah melanggar
larangannya. Hanya karena si anak penasaran setiap hari
melihat di halaman rumahnya berkeliaran seekor kobra yang
kepalanya bisa berdiri dan mengembang. Larangan yang
diberikannya, kalah oleh rasa ingin tahu yang menguasai
anaknya.

Barangsiapa mengundang ular ke dalam rumah
untuk memangsa tikus-tikus pemakan beras,
dia juga harus rela bila si ular menggigit mati anaknya.
Karena anak suka bermain dan
ular suka menggigit bila dipermainkan.
Itu adalah sifat alami kedua makhluk ciptaan Tuhan.


Seminggu setelah kematian anaknya --- setiap hari ketua
kampung berkelana dari rumah ke rumah. Berdiri di depan
pintu sambil meneriakkan kata-kata tersebut. Sepuluh tahun
lamanya si ketua berkelana dari kampung ke kampung, dari
kota ke kota untuk meneriakkan puisinya. Tak banyak orang
yang tahu maksud puisi tersebut sampai berita tewasnya anak
si ketua tersebar luas ke seluruh negeri. Kini orang menjadi
sadar bahwa si ketua ingin menebus kesalahannya dengan
mengajarkan pengalaman pahit yang menimpa dirinya.
Penyair dari kampung pengundang ular adalah julukan yang
diberikan oleh orang-orang di seluruh penjuru negeri.
(jl makmur 14 bandung)

Anugrah yang Terlupakan

“Seneng ya jadi orang pintar” kata teman Maruko pada
suatu ketika di sebuah resepsi pernikahan sepupunya di
Jakarta. Teman main Maruko sewaktu masih sekolah dasar
tersebut menguraikan tentang mudahnya kehidupan yang
dijalani Maruko. Semua seperti disorongkan ke tangan, dan
masa depan yang seolah datang menghampiri dirinya tanpa
harus dikejar-kejar.

Sebenarnya apa yang disebut pintar oleh teman tersebut
hanyalah soal sekolah yang dijalani Maruko. Sekolah
Negeri yang dimasuki Maruko sejak SMP, SMA hingga
kuliah dianggapnya sebagai cermin kecerdasan. Tentu saja
anggapan tidak sepenuhnya benar dan bersifat sangat
relatif. Meskipun seseorang bersekolah di sekolah yang baik
--- negeri maupun swasta bisa saja dia dianggap kurang pintar
oleh teman-teman sekelas karena menjadi penghuni tetap
papan bawah di kelasnya. Walaupun begitu Maruko harus
mengakui bahwa di mata teman mainnya tersebut
bersekolah di sekolah yang biayanya relatif terjangkau dan
lingkungan pendidikan yang terbaik dibanding sekolah-
sekolah lain adalah sebuah anugrah yang tidak didapatkan
oleh mereka.

“Anugrah yang terlupakan” bisik Maruko dalam hati.
Segera tergambar dalam benak Maruko apabila dirinya
tidak sekolah di SMP yang baik mungkin dia tidak akan
mampu masuk SMA yang baik. Begitu seterusnya hingga
pekerjaan yang dijalaninya saat ini. Maruko layak
meragukan keberhasilan dirinya mendapatkan pekerjaan
sekarang bila tidak dibantu oleh reputasi universitas tempat
dirinya kuliah. Pada waktu wawancara manager-nya
hanya bisa menilai kemampuan calon karyawan dari
transkip nilai. Reputasi universitas berperan besar dalam
meyakinkan si manager akan kemampuan akademik
seorang calon karyawan. Waktu pertemuan yang singkat
membuat dia cenderung melihat asal usul calon
karyawan dan mempercayakan penilaian kompetensi pada
transkip nilai yang dikeluarkan oleh universitas.

^_^

Shinichi tersenyum mendengar cerita Maruko tentang
temannya yang dengan mudah dapat menemukan rangkaian
anugrah yang diturunkan Tuhan kepada Maruko. Sebuah
keberuntungan yang kita miliki yang patut untuk disyukuri
--- terkadang kita lupakan --- karena segala sesuatu yang
kita inginkan namun tidak berhasil kita dapatkan. Itu hanyalah
satu contoh kecil dan masih ada beribu-ribu anugrah lain yang
patut disyukuri namun tidak pernah disadari.


“Panca indera yang sempurna, tangan kaki yang sehat,
tubuh jarang sakit, keberanian menerima perubahan,
kemampuan mempelajari hal-hal yang baru, pekerjaan yang
baik, makanan yang cukup, tinggal di daerah yang aman,
wajah yang menawan......” Kalimat Shinichi tentang
keberuntungan Maruko bila diteruskan baru akan berakhir
berjam-jam kemudian.

jl makmur -- bandung

Shinobu Inokuma : Pensiunan atau Perintis ?

Malam Rabo setahun yang lalu selepas Isya, Shinobu Inokuma mendadak muncul di depan pintu kantor saat Shinichi Kudo hendak pulang.
Shinobu Inokuma si “perfect” itu rupanya tak ingin membuat kesalahan untuk sebuah tugas “kecil” yang dipikulnya pada acara pertemuan dengan para pensiunan perusahaan. Pada acara rutin tahunan tersebut salah satu tugas Shinobu adalah merancang kata-kata yang akan terpampang pada spanduk ucapan selamat datang. Agaknya dia tak ingin sekedar “kata-kata biasa” yang cepat dilupakan. Dia ingin kata-kata istimewa yang menunjukkan penghormatan yang besar atas karya nyata mereka di masa lalu.

Banyak ide yang muncul dalam diskusi kecil itu. Pada intinya keduanya memiliki tiga kriteria yang sama. Pertama : Harus mencerminkan penghargaan atas kerja keras pensiunan di masa lalu. Kedua : Memberi pengakuan bahwa keberhasilan perusahaan saat ini adalah atas jasa mereka. Dan yang ketiga adalah yang paling penting : yaitu berpijak pada kenyataan!.

Setelah hampir 3 jam keduanya berdebat seru sembari menghabiskan bergelas-gelas kopi panas, akhirnya mereka berhasil mengambil kata sepakat. Telah terpilih satu kalimat yang akan dibawa Shinobu ke rapat panitia keesokan harinya.

Sabtu yang cerah setahun silam, ketika Shinobu Inokuma berdiri bangga memandang sebuah spanduk yang terpasang gagah di depan pintu gerbang perusahaan. Kata-kata yang dipilihnya bersama Shinichi malam itu ternyata disetujui floor pada saat rapat panitia. Kata-kata istimewa yang tak akan mudah dilewatkan. Kata-kata singkat yang membanggakan tapi tetap berpijak pada kenyataan! Pingin tahu bunyi kata-katanya ?

SELAMAT DATANG PARA PERINTIS INDUSTRI FARMASI INDONESIA.

kalimantan no. 5 bandung

Horor Saat Menyeberang Jalan

Mengapa menyeberang jalan terkadang menjadi acara yang "menakutkan" bagi Shinichi. Karena saat menyeberang jalan seolah-olah dirinya menyerahkan "nasib tubuhnya" pada kebaikan hati orang-orang yang mengendarai kendaraan. Apakah mereka bersedia memperlambat mobilnya atau agak membelokkan motornya agar tidak menerjang Shinichi. Bagaimana bila mereka meleng? Atau ngantuk? Atau seorang egois memilih menabrak Shinichi daripada harus memperlambat mobilnya. Sungguh tak enak bagi Shinichi untuk menggantungkan nasibnya pada orang lain. Sayangnya hal itu tak dapat dia hindari dalam kehidupan sehari-hari.

Mau tak mau Shinichi harus bersedia menggantungkan dirinya pada orang lain. Pada saat sakit dia harus percaya pada seorang dokter. Pada saat naik kereta api dia harus percaya pada ketrampilan masinis. Bahkan pada saat makan Shinichi sebatas memilih rumah makan, selebihnya dia "harus" percaya bahwa si koki tidak menghidangkan makanan basi. Percaya, percaya dan percaya. Apalagi yang harus Shinichi lakukan selain mencoba mempercayakan banyak hal dalam hidupnya pada orang lain. Surender, berhenti mencoba mengendalikan segala sesuatu. Biarlah Tuhan yang akan menjaganya.