Covey dan Ketulusan Hati

Siapa sebenarnya diri-ku terdengar begitu keras
Sehingga kata-kataku tidak terdengar lagi

^_^

Setidaknya ada dua pendapat Covey tentang ilmu jiwa manusia yang sangat berkesan bagi saya. Pertama adalah tentang kebiasaan ketulusan hati (win-win solution) dan yang kedua adalah tentang kebiasaan proaktif.

Tentang ketulusan, Covey mampu dengan jernih menjelaskan peran filosofi dibalik perilaku manusia. Buat Covey — dalam hal hubungan antar manusia — masalah teknik adalah soal nomor dua. Faktor terpenting adalah sifat-sifat asli seseorang dibalik teknik yang dia gunakan. Bahkan teknik-teknik seperti teknik bergaul dianggap akan mengalir dengan sendirinya secara alamiah sebagai perwujudan dari karakter dasar seseorang yang menjadi mata airnya.

Misalnya saat bicara tentang pertemanan — Stephen R Covey si pencetus The 7 Habits of Highly Effective People — tidak akan berbicara tentang teknik mendapatkan teman ataupun teknik mempengaruhi orang lain. Namun dia akan bicara tentang ketulusan. Tentang motivasi pertemanan. Mengapa kita ingin menjalin pertemanan. Semata-mata untuk kepentingan diri sendiri atau untuk kepentingan mereka juga. Bila tujuannya adalah mengambil keuntungan dari orang lain secara sepihak — maka apapun teknik yang digunakan — tak akan mampu membantu kita.

Covey juga tidak akan menganjurkan seorang manajer untuk memuji-muji kliennya atau mengobrol tentang anak si klien bila semua itu hanya pura-pura saja dan bertujuan untuk memanipulasi hati si klien agar merasa diperhatikan dan kemudian mau menandatangani kontrak ataupun membeli produk. Covey cenderung membuang jauh-jauh segala macam trik yang tidak jujur, dia lebih suka seorang manajer benar-benar memikirkan kepentingan klien dan bukannya berpura-pura.

Menurut Covey, teknik, ketrampilan, taktik atau apa-pun namanya--sebenarnya akan muncul dengan sendirinya saat kita bersungguh-sungguh memikirkan kepentingan orang lain. Siapa sebenarnya diri kita-lah yang akan terlihat sangat jelas dimata orang lain dan bukannya teknik yang kita gunakan.

^_^

Pendapat kedua yang menarik adalah spirit proaktif Covey. Memilih bertanggung jawab atas segala sesuatu yang menimpa diri kita dan melakukan tindakan-tindakan perbaikan atas hal-hal yang berada dalam jangkauan kita. Misalnya seorang supervisor marketing produsen kursi kerja yang menghadapi kenyataan bahwa penjualan produk menurun. Sebagai seorang proaktif dia tidak memilih memarahi anak buahnya atau sibuk menuduh perusahaan pesaing bermain curang — tetapi memilih melakukan tindakan. Di dalam benaknya dia sibuk menyusun langkah-langkah yang akan dilakukan.

Dia akan lebih intensif melatih anak buahnya agar mampu memahami kebutuhan konsumen dan menjual kursi yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Dia bernegosiasi dengan bagian produksi untuk memperbaiki desain & kualitas kursi sehingga pesaing tak memiliki peluang menjelek-jelekkan produk. Kemudian Si Supervisor juga membuat peta pasar untuk mencari celah mendapat konsumen baru.

Seandainya pasar dalam kota telah jenuh dia akan berusaha untuk menjual ke kota-kota lain, atau bahkan mencari peluang ekspor. Sebaliknya bila penjualan keluar kota tidak memungkinkan -- dia akan berusaha keras memperbesar pasar di dalam kota -- misalnya dengan menjajaki peluang penjualan ke sekolah-sekolah. Pendeknya dia tidak akan sibuk mencari kambing hitam alias faktor eksternal yang berada diluar jangkauannya, tetapi memusatkan diri untuk melakukan tindakan.







Bila kita memusatkan diri pada hal-hal diluar kendali kita (lingkaran kekhawatiran /circle of concern)-- pada kasus si manajer marketing adalah bila dia sibuk memarahi anak buah dan menyalahkan pesaing -- maka lingkaran kendali kita justru semakin mengecil. Waktu kita akan habis untuk mencari kambing hitam, bukannya digunakan untuk menyelesaikan masalah.


Sebaliknya bila kita memusatkan perhatian pada hal-hal yang dapat kita lakukan (lingkaran kendali / circle of influence), seperti yang dilakukan si manajer yaitu melatih para pekerja, menjajaki pasar baru dan membuat desain kursi yang lebih menarik, maka lingkaran kendali kita akan semakin luas. Masalah makin mudah teratasi karena makin banyak hal-hal yang berada dalam kendali kita.


tulisan ini adalah edisi revisi dari tulisan sebelumnya
Shinichi tentang Covey



Terlalu Banyak Pilihan

Mendapatkan puluhan macam pilihan pH-meter (yang akan digunakan untuk mengukur pH cairan) di katalog online telah membuat Shinichi Kudo kesulitan memilih. Bagaimana cara dirinya bisa memilih satu diantara kerumunan pH meter yang perbedaan satu dengan yang lainnya tidak terlalu jauh. Hampir semuanya memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan.

Ada yang ukurannya kecil. Ada yang combo -- dilengkapi dengan sensor-sensor lain selain sensor pH, misalnya sensor conductivity dan sensor ORP. Ditambah lagi ada tambahan-tambahan aksesoris yang membuat perbedaan harga satu sama lain. Padahal Shinichi baru melihat katalog dari satu merek pH meter saja. Belum melihat katalog merek yang lain – yang mungkin jumlah pilihan tidak kalah banyak. Wuihh apa tidak tambah pusing! Sementara pH meter yang pernah dipesan beberapa tahun yang lalu sekarang sudah tidak diproduksi lagi.

Apa yang dilakukan Shinichi pada akhirnya adalah kembali ke tradisi masa silam, yaitu mengandalkan informasi dari mulut ke mulut. Yah, Shinichi menelpon temannya di QC yang sophisticated, telah berpengalaman membeli pH meter. Dia akan memesan pH meter yang persis sama dengan pH meter temannya itu, terkecuali printernya. Untuk printer dia lebih suka memakai printer yang sama dengan printer pH meter yang ada di departemennya.

^_”

Seperti artikel di Harvard Business Review yang terlampir dibawah, terlalu banyak pilihan membuat konsumen pusing dan menunda pembelian. Apalagi bila yang dijual adalah barang teknologi, konsumen akan tambah pusing lagi. Bagi konsumen yang mau bersusah payah mencari informasi, Panduan Konsumen di internet atau di majalah mungkin akan sedikit membantu. Namun bagi konsumen dengan waktu sempit, tidak telaten membaca atau tidak mengerti istilah-istilah teknis di Buyer Guide – terlalu banyak pilihan adalah sama saja menyuruh mereka menunda pembelian.

Jadi produk berkualitas saja tidak cukup. Tantangan berikutnya bagi produsen adalah menyediakan Guidance yang komunikatif untuk orang awam -- sebagai konsumen akhir -- tentang produk yang sebaiknya mereka pilih beserta alasan yang masuk akal. Panduan itu akan menjadi bekal mereka saat hendak melakukan transaksi atau berkonsultasi lebih lanjut dengan expert sebelum melakukan pembelian.(May 2007).




Google Ini Gambar Apa? - Kebutuhan Mesin Pencari Gambar

Belakangan terlintas dalam benakku -- andai Google bisa menyediakan layanan pencarian berdasar gambar, tentu akan jauh lebih mudah melacak si dolmen.


^_^

Ketika mendapat kiriman gambar dibawah ini, aku penasaran. Salah satu gambar dari rangkaian gambar keluaran National Geographic ini sangat menarik. Gambar deretan rumah-rumah antik dari batu yang bentuknya langsing, sempit dan lonjong -- membuatku ingin tahu bagaimana cara penghuninya tidur. Deretan rumah yang ukuran lebarnya tidak memungkinkan orang berbaring telah membuatku penasaran tentang kondisi kehidupan di dalamnya.



Untuk menguak misteri dibalik gambar — pertama yang terlintas di benakku adalah Google. Bagaimanakah mencari tahu benda itu di mesin pencari yang powerful dan halaman mukanya bersih dari iklan tersebut.

Karena setahuku -- Si Google tidak menyediakan layanan pencarian berdasar gambar – maka terpaksalah diriku mencari-cari satu dua kata yang terpampang dalam gambar. Untunglah kutemukan kata-kata Celtic Realm beserta Majalah National Geographic dan nama fotografer yang mengambil gambar. Dengan bekal kata-kata itulah aku menelusurinya di Google.

^_^

Pada akhirnya aku tidak berhasil menemukan gambar yang benar-benar mirip dengan gambar tersebut – walau aku juga mencarinya di Ensiklopedi Britannica dan Encarta. Tetapi secara kira-kira aku telah mengambil kesimpulan. Gambar rumah-rumah aneh berjendela kecil – kuanggap sebagai Dolmen (mudah-mudahan tidak salah). Rumah batu yang digunakan oleh orang-orang Celtic -- yang kebudayaannya mendominasi banyak wilayah Eropa Barat dan Tengah pada milenium pertama sebelum masehi -- untuk mengubur orang mati. Jadi rumah itu bukan diperuntukkan untuk manusia yang masih hidup, tapi semacam kuburan.

Belakangan terlintas dalam benakku -- andai Google bisa menyediakan layanan pencarian berdasar gambar, tentu akan jauh lebih mudah melacak si dolmen. Cukup dengan meng-upload gambar ke Google – seperti yang dilakukan pengguna situs flickr & blog saat ingin memajang gambar di web — kemudian Google akan melakukan pencarian gambar-gambar yang menyerupai gambar tersebut di dunia maya.

Kurang lebih proses pencarian akan berjalan seperti ini. Google menerjemahkan gambar ke dalam kode-kode tertentu dan kemudian mencari gambar-gambar yang ada di internet dengan kode-kode yang sama dengan gambar itu. Mungkin proses pencariannya akan lebih lama karena Google harus menerjemahkan gambar ke dalam kode-kode terlebih dahulu.

Sebenarnya gambar-gambar tertentu, seperti gambar berformat jpeg adalah serangkaian kode-kode yang diterjemahkan oleh software menjadi gambar. Jadi Google tidak perlu membuat kode-kode baru untuk gambar seperti itu. Untuk tahap awal Google bisa saja membatasi pencarian pada gambar dengan format yang sama. misalnya gambar jpeg hanya dapat dicari ke rimbaraya gambar berformat jpeg yang tersedia di internet.

Memang ada faktor kesulitan tentang kode itu. Sedikit perubahan pada gambar-- misalnya ukuran dan gelap-terang gambar akan membuat kode-kode berubah sehingga mempersulit pencarian. Namun Google bisa saja mengatasinya dengan mengembangkan software yang mampu mendeteksi perubahan-perubahan kecil pada gambar. Dengan sofware itu Google akan bisa mengenali gambar-gambar serupa -- yang kodenya berbeda karena telah mengalami sedikit perubahan.

Google juga harus mengembangkan software untuk men-select bagian tertentu dari sebuah gambar agar memudahkan pelacakan. Karena gambar-gambar tidak selalu berlatar belakang kosong, Bisa saja gambar sebuah benda yang ingin dicari berada ditengah-tengah benda lain. Misalnya gambar dolmen yang berada ditengah lapangan rumput. Google harus memastikan pencarian dilakukan terhadap dolmen, bukan terhadap rerumputan.

^_^

Manfaat searching dengan keyword berupa gambar adalah kita tidak perlu kebingungan lagi mencari tahu gambar-gambar yang tidak kita mengerti -- seperti gambar dolmen dari National Geographic. Manfaat bagi Google adalah perusahaan itu bisa punya lahan bisnis baru, yaitu sebagai mesin identifikasi. Bila dengan kamera digital kita mengambil gambar bunga, tanaman, burung, ikan, lemari, lukisan & awan, atau kita memiliki hasil foto sel-sel darah, bakteri, virus, bahkan gambar hasil foto ronsen – kita bisa mengandalkan Google untuk memberi informasi tentang gambar itu.


Tentu akan sangat menarik bila gambar hasil foto ronsen bila dilacak penjelasannya di Google. Karena hal itu akan mendorong demokratisasi dalam pelayanan medis sebagai dampak pengetahuan pasien yang bertambah. Pasien dengan mudah mendapat second opinion dari internet sebagai pembanding hasil diagnosa dokter atas foto ronsen. Diskusi dokter-pasien akan lebih hidup karena pasien telah mendapat “advis” dari Google.


Pengembangan lebih lanjut – yang mungkin akan merusak privasi orang — adalah seseorang bisa melacak foto dan sidik jari orang lain di Google. Tentunya untuk itu Google harus punya akses ke database foto dan sidik jari penduduk suatu negara. Seandainya itu terjadi, pencarian pencuri berdasar sidik jari tidak lagi dimonopoli oleh polisi. (Beyond Imagination - May 2007)


comment lewat email :
Technically computer sudah bisa membedakan gambar, misalnya gambar bayi telanjang dan orang dewasa telanjang, di bisa tau yang mana porno dan yang engga
Tapi sementara belum ada search engine yang menyediakan hal ini. Ide Bagus juga nih %&^. Kalau kita bisa buat, bisa kaya juga kayak yang punya google


Jam Berjalan

Hari itu Shinichi Kudo kembali berpapasan dengan “jam berjalan”, yaitu satu penanda waktu yang menunjukkan apakah dia berangkat lebih pagi atau lebih siang dari biasanya. Tempat dimana Shinichi berpapasan adalah parameternya. Biasanya setelah absen di depan fotocopy Shinichi berjalan menyusuri koridor depan sekrerariat, depan keuangan, terus menuju halaman gedung aula. Dari halaman aula dia berjalan di koridor depan gedung produksi hingga sampai ke ruangannya.

Si jam berjalan -- sebut saja namanya Tweety si burung letik cantik temannya Sylvester – biasanya berpapasan dengan Shinichi di koridor antara sekretariat sampai keuangan dengan membawa sejumlah tas bawaaan entah isinya apa. Mungkin kertas-kertas kerjaan, makanan atau botol minuman (jadi ingat waktu TK hihihi! gak ding!). Si Tweety ini berjalan menuju tempat absen di depan fotokopian.


Bila Shinichi berpasasan dengan Tweety di depan sekretariat berarti dia berangkat pada jam normal seperti biasanya. Bila bertemu Tweetie di depan keuangan, apalagi sampai di dekat ATM di depan aula berarti Shinichi berangkat lebih pagi dari biasanya. Namun bila berpapasan di tempat absen, menunjukkan Shinichi berangkat agak kesiangan. Si Tweety ini biasanya langsung dengan bangga menyebut Shinichi kesiangan. Sebaliknya bila bertemu di halaman aula dia menyebut dirinya yang kesiangan.


^_^


Mengapa Shinichi sering ketemu Tweety?
Karena mereka punya kebiasaan yang sama. Ada banyak hal yang secara tidak sadar kita lakukan berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan. Seperti waktu berangkat kerja. Pada awalnya mungkin kita berangkat pada jam tertentu karena sebuah alasan, misalnya karena pagi kita harus menyetrika baju terlebih dahulu.

Lama kelamaan hal itu menjadi pola. Pada saat urusan baju dan setrika telah kita “outsourcing” ke Bi Minah ternyata kita tetap berangkat jam yang sama dengan alasan yang lain, misalnya ingin baca koran atau nonton TV. Bahkan kadang-kadang dengan sengaja kita memperlambat mandi atau berpakaian karena tahu waktu berangkat kerja masih lama (nae)



Resensi Film: The Bridge to Terabithia, Jangan Letakkan Semua Telur Pada Satu Keranjang

Jess seorang anak laki-laki umur 11 tahun hidupnya tiba-tiba berubah setelah kedatangan Leslie, seorang anak perempuan tetangga barunya yang juga teman sekelas. Bersama Leslie, Jess menjelajah sebuah hutan di dekat rumahnya. Di hutan itu keduanya menciptakan sebuah dunia baru dalam khayalan. Mereka bermain sebagai Raja dan Ratu yang tinggal di Negeri Terabithia. Sebuah negeri ajaib dengan tokoh-tokoh ajaib yang tinggal didalamnya.



Rumah pohon, raksasa troll, burung-burung ganas, serangga petarung dan tupai-tupai penyerang. Mereka juga tiba-tiba dapat melompat tinggi, berlari secepat angin dan bertarung dengan moster. Sebuah dunia petualangan yang membuat kedua anak ketagihan untuk terus bermain ke hutan itu sepulang sekolah.

Hutan itu membuat mereka hidup di dua dunia. Dunia kenyataan yaitu sekolah & rumah, serta dunia impian Terabithia. Jess mendapat “buffer” kehidupan nyatanya sebagai anak petani dengan anggota keluarga yang gemar menonton TV -- di Terabithia. Leslie si anak baru yang kesepian mendapat dunia yang riang di Terabithia. Sebuah dunia penyangga yang membuat mereka tidak “hancur” bila salah satu dunianya berantakan.

Masalah-masalah di sekolah tidak akan terbawa sepanjang hari hingga di rumah karena mereka memiliki dunia penyangga. Kesedihan-kesedihan di sekolah karena ulah para bully (anak nakal) terencerkan oleh hadirnya Terabithia. Dunia baru itu membuat “telur-telur” mereka tidak diletakkan pada satu keranjang, melainkan pada banyak keranjang. Sehingga tragedi pada salah satu keranjang tidak merupakan tragedi di seluruh kehidupan.

Seorang manusia dewasa yang bekerja, sebenarnya juga bisa membangun dunia lain sebagai buffer dari dunia kerja. Bila ada masalah pekerjaan, tidak serta merta dia akan merasa hidupnya dalam masalah karena dia punya kehidupan yang lain. Kesedihan-kesedihan yang dialami di kantor akan terencerkan oleh dunia kedua. Kegagalan di bisnis tidak dengan sendirinya membuat dia merasa hancur karena adanya “dunia lain” yang masih baik-baik saja. Buffer itu dapat berujud berbagai macam hal, misalnya kegiatan di sebuah organisasi atau kegiatan lain diluar kerja seperti berkebun, klub menyulam, olahraga ataupun menjadi pelatih basket untuk anak-anak sekolah dasar.


^_^


Film berjudul Bridge of Terabithia semakin menegaskan pepatah “jangan letakkan telur pada satu keranjang” dengan hadirnya tragedi yang membuat Jess kehilangan teman dekatnya. Tragedi itu memaksa Jess berpaling kepada adik kecilnya yang pada awalnya diabaikan, untuk ikut hadir di dunia Terabithia. Si adik menjadi putri kecil yang menemani Jess di dunia lain tersebut. Sebuah pelajaran lain yang menegaskan untuk jangan meletakkan kebahagiaan maupun kesedihan pada satu orang. Jangan bergantung pada satu orang untuk membuat bahagia. Letakkanlah pada banyak hal dan banyak orang sehingga kehilangan seseorang tidak akan membuat hari-hari kita merana.

Dua tokoh menarik di film yang dibuat berdasar novel Katherine Paterson – seorang penulis Amerika yang dilahirkan di Cina tahun 1932 -- adalah adik kecil Jess dan seorang perempuan muda guru seni Jess yang memiliki gaya mengajar yang atraktif dan sangat ekspresif. Seperti saat Bu Guru memulai pelajaran musik, pertamanya dia menyuruh semua murid untuk mengambil berbagai alat musik yang dibawanya dengan roda. Menawarkan lagu, kemudian menyuruh mereka membuat suara.

Pokoknya membuat suara sehingga seluruh kelas menjadi gaduh. Baru kemudian si guru memainkan piano dengan diiringi nyanyian oleh seluruh anak. Sebuah pelajaran sekolah yang sangat mengasyikkan (dan mengingatkan saya pada Robin Williams yang menjadi guru kreatif di Dead Poets Society). Ibu Guru yang menarik itu juga mengajak Jess yang berbakat melukis untuk bertamasya ke musium yang memajang karya-karya pelukis klasik.

Tokoh lain yang menarik adalah si adik kecil. Si adik ini selalu berangkat sekolah bareng Jess dengan bis sekolah. Dia juga berlari-lari disamping lapangan menyemangati Jess yang sedang bertanding lari dengan teman-teman sekolahnya. Dia juga yang mengkhawatirkan Jess tatkala dilanda kesedihan akibat kehilangan teman dekatnya. Seperti ending yang sering ditemui pada film Hollywood, film ini juga ditutup dengan tepuk tangan meriah para penghuni Terabithia saat Jess dan adiknya bagai Raja dan Putri memasuki dunia ajaib itu. Satu lagi yang menarik adalah keluarga Leslie walaupun keluarga kaya ternyata tidak memiliki TV! (nae)