Setelah Pendakian

Pada mulanya Maruko tak percaya omongan Shinichi Kudo bahwa gadis semenjana itu bisa dengan cepat membuat orang-orang di sekitarnya senang dekat dengannya. Shinichi bahkan menyebutnya sebagai “Manusia merdeka yang telah bebas dari nafsu mementingkan diri sendiri”. Sebuah istilah yang membingungkan. Menurut Maruko dari segi fisik tak ada yang sangat istimewa pada dirinya; Sosok yang sedang sibuk kesana-kemari membantu peserta lain mengangkat ransel itu bisa terlihat cantik lebih karena warna kulitnya yang putih bersih dan senyuman yang selalu menghiasi wajahnya. Dan kini Maruko berkesempatan mengenalnya lebih dekat. Mereka berdua bersama sebelas gadis lainnya--dengan ditemani dua orang pemandu--telah siap mendaki Gunung Gede.

Perjalanan menuju puncak gunung itu telah merubah semuanya. Sekarang bila disuruh menggambarkan teman barunya, Maruko dengan cepat akan menjawab “Hiromi adalah pelita yang bersinar menerangi siapa saja yang berada di dekatnya”. Perilakunya yang istimewa telah terlihat sejak awal pendakian, yakni perhatiannya terhadap kesulitan-kesulitan kecil yang dialami orang-orang di sekitarnya. Ketika ada seorang teman yang selalu tertinggal di rombongan, Hiromi sengaja berjalan di belakangnya. Saat ada yang kelihatan mulai loyo, cepat-cepat diusulkannya rombongan pendaki untuk berhenti sejenak. Kala sedang mengaso karena kelelahan, cerita-cerita lucu yang meluncur dari mulutnya membuat semua peserta tertawa. Pendeknya Hiromi berusaha membuat semua orang dalam rombongan pendaki merasa nyaman.

^_^

Diam-diam Hiromi tahu kalau perilakunya sedang diamati. Ketika rombongan telah turun kembali ke kaki Gunung Gede, diajaknya Maruko menuju bangku di bawah sebuah pohon beringin besar. Kemudian sambil tertawa kecil diungkapkan bahwa dia tahu persis bahwa dirinya sedang diamati. Alhasil dengan muka merah padam, Maruko terpaksa ikut tertawa.

Setelah hampir satu jam ngobrol sana ngobrol sini, akhirnya keluar juga rahasia Hiromi. Mungkin julukan paling tepat untuknya adalah “Manusia yang berusaha keras keluar dari diri sendiri”. Karena dia mengaku berusaha mati-matian meninggalkan sikap kanak-kanak-- egosentris--yang menganggap dunia berpusat pada diri sendiri. Si penggemar fotografi itu berusaha agar perilakunya digerakkan oleh “sebuah tujuan” bukan sekedar mencari kenyamanan. Pilihan sebuah tindakan bukan lagi digerakkan oleh alasan apakah suatu tindakan akan membuat dirinya repot atau akan meringankan dirinya. Namun digerakkan oleh alasan-alasan rasional demi tercapainya tujuan. Misalnya dalam pendakian hari itu tujuan mereka adalah “pendakian yang aman dan menyenangkan bagi semua anggota rombongan”. Maka Hiromi mengerem keinginannya untuk sering-sering memotret agar punya waktu untuk membantu teman-temannya yang mengalami kesulitan dalam perjalanan.

Hiromi juga mengungkapkan bahwa semua perilaku tersebut bukan didapat begitu saja sejak lahir. Namun diperjuangkan, sedikit demi sedikit. Lima tahun lalu bukanlah hal yang mudah mengabaikan kenyamanan diri sendiri untuk sebuah tujuan yang lebih besar. Tetapi dengan kemauan yang kuat, dan usaha yang terus menerus, Hiromi berhasil secara perlahan-lahan merubah dirinya. Sampai sekarangpun terkadang masih ada tarikan yang kuat untuk balik mencari kenyamanan diri sendiri. Tetapi dia berhasil mengalahkan sebagian besar tarikan itu dengan mengingat-ingat manfaat yang jauh lebih besar dengan tercapainya sebuah tujuan.

^_^

Hiromi membuka tasnya, kemudian mengeluarkan sebutir jeruk. Dibaginya jeruk itu menjadi dua, separuh buat dirinya dan separuhnya disodorkan pada sahabat barunya. “Tentu jeruk yang separuh adalah buat makanan perutmu, sedang separuh lagi yang kau berikan padaku adalah buat makanan hatimu” tebak Maruko. Hiromi tersenyum dan mengacungkan jempolnya, “Kamu memang gadis cerdas” serunya sambil tersenyum. Maruko tertawa mendengar jawaban itu. “Anak ini memang benar-benar piawai dalam membuat diriku merasa istimewa” kata Maruko dalam hati (nl)

Rahasia Rumah Sakit Desa .:

Senin pagi ketika Shinichi Kudo mengisi liburan dengan ikut Amori berkunjung ke sebuah rumah sakit desa, segalanya telah berubah. Tiga tahun yang lalu Shinichi pernah menemani Amori ke sana. Waktu itu jumlah pasiennya sedikit namun herannya semua serba tidak teratur. Rumput dan alang-alang di halaman melebihi tinggi orang dewasa. Sampah berceceran dimana-mana. Plafon nampak dihiasi lingkaran-lingkaran coklat berjamur bekas tetesan air hujan, pertanda genting dibiarkan bocor. Dinding kusam, bekas telapak sepatu di sana sini. Korden jendela berubah abu-abu dari putih warna aslinya. Lantai dihiasi ceceran makanan dan debu.

Para petugas nampak mengobrol sambil asyik nonton TV, sebagian lagi membaca koran dan sisanya main pingpong di halaman. Mereka sama sekali tak tergerak untuk membereskan semua itu. Bahkan saat ransum makan siang disajikan, menunya adalah mi instan yang diantar tukang mi yang mangkal di depan rumah sakit. Alias si tukang masak pun memilih jalan mudah daripada harus susah payah memasak. Dan pastilah WC-nya kotor bukan kepalang. Lengkap dengan ceceran tisue, kecoa, dan lumut di bak airnya.

^_^

Kini semuanya telah berubah. Gedung masih tetap seperti semula namun halamannya bersih dan tertata rapi. Dinding putih bersih dan korden-korden juga nampak habis dicuci. Lantai dan plafon bersih. Segalanya nampak terawat dengan baik. Tak nampak lagi petugas yang berleha-leha sambil nonton TV. Mereka bergelut dengan berbagai pekerjaan. Ada yang sedang entry data, mengantar selimut yang baru dicuci ke kamar-kamar pasien, menuntun pasien ke kamar mandi dan sebagian lagi merapikan kamar.

Mengapa berubah? Apa rahasianya? Pertanyaan itu berkecamuk di benak Shinichi sampai Amorita Houdini Zatoichi --- yang sering mengunjungi rumah sakit tersebut karena tuntutan pekerjaan --- menceritakan penyebabnya. “Kau lihat ibu-ibu berkerudung itu. Merekalah yang telah merubah rumah sakit ini!” kata Amori pendek sambil menunjuk sekelompok Ibu-ibu yang sedang bercakap-cakap dengan pasien.

Alkisah pendiri rumah sakit desa tersebut adalah para anggota pengajian mingguan yang diasuh seorang kyai. Pada mulanya hanyalah sebuah klinik kecil yang melayani penduduk desa. Kemudian dengan bantuan dana dari beberapa alumni pengajian yang merantau ke Jakarta, klinik itu berubah menjadi rumah sakit kecil. Belakangan berkembang lagi menjadi rumah sakit umum yang secara ukuran termasuk yang terbesar di kabupaten. Sayangnya pelayanan buruk membuat rumah sakit tersebut menjadi pilihan terakhir masyarakat. Bahkan para anggota pengajian pun enggan merawat keluarganya yang sakit di sana.

Sampai suatu hari putra bungsu Pak Kyai yang sekolah kedokteran di Jakarta pulang. Berbekal pengalaman magang di beberapa rumah sakit swasta besar di Bandung dan Jakarta dirombaknya sistem pengawasan rumah sakit. Menurut dia masalah utama di rumah sakit tersebut adalah pengawasan yang lemah. Perlu dibangun sistem pengawasan yang lebih ketat dengan melibatkan orang-orang di luar rumah sakit. Langkah yang dipilihnya adalah melibatkan para anggota pengajian dalami tim pengawas. Sebulan sekali pimpinan rumah sakit dan tim pengawas bertemu untuk menindaklanjuti hasil pengawasan.

Anggota pengajian yang berwatak keras dan suka mengatur dimasukkan dalam tim pertama yang bertugas mengawasi perilaku kerja seluruh petugas rumah sakit. Mereka harus memastikan pasien dilayani dengan ramah dan fasilitas rumah sakit dipelihara dengan baik. Bila terjadi pelanggaran, mereka diberi keleluasaan memberi peringatan. Termasuk dengan gaya mereka yang keras. Pada awalnya hal itu menimbulkan gejolak dikalangan pertugas rumah sakit yang merasa diperlakukan sewenang-wenang. Beberapa petugas memilih keluar dan pindah kerja ke tempat lain. Namun sebagian besar petugas berhasil menyesuaikan diri. Lama-kelamaan mereka menjadi terbiasa dengan disiplin yang ketat dan jarang diperlukan perlakuan keras lagi.

Anggota pengajian yang berwatak supel dan ringan tangan dimasukkan dalam tim kedua yang bertugas menjenguk pasien. Tiga kali seminggu semua pasien didatangi, dihibur dan didoakan. Bahkan pasien yang sudah pulang pun terkadang masih ditengok. Mereka adalah orang-orang altruis yang gemar memperhatikan orang lain. Sehingga tugas itu bukanlah beban malahan menjadi kesenangan baru buat mereka. Tim ini juga bertugas mengumpulkan informasi keluhan pasien terhadap pelayanan rumah sakit.

Tentu saja nasib petugas rumah sakit juga diperhatikan. Disamping memberi gaji yang layak, dan jaminan kesehatan bagi keluarganya; secara rutin ibu-ibu pengajian mengadakan pertemuan dengan para petugas rumah sakit. Pada pertemuan itu disampaikan segala keluh kesah, usulan dan hal-hal yang menjadi harapan mereka. Walaupun tidak semua permintaan mereka dapat dipenuhi, namun setidaknya dapat menjadi saluran bagi opini mereka. Sehingga para petugas tersebut merasa tidak sekedar menjadi obyek penegakan disiplin, tetapi juga subyek yang ikut menentukan arah perkembangan rumah sakit.

^_^

“Menurut si dokter baru, pengawasan berfungsi untuk memaksa manusia mentaati peraturan sebelum kelak peraturan itu tertanam dalam benaknya dan menjadi kebiasaan hidup sehari-hari” kata Amori pada saat perjalanan pulang. Agaknya pendapat si dokter muda ada benarnya juga. Peraturan yang sejak lama ada di rumah sakit itu tidak banyak artinya sebelum pengawasan ditegakkan. 30-01-2006

Dahulu Kala Dirimu

“Wow, itu namanya tremor,
bukan karena kau grogi,
kakak kelasku ada juga yang seperti itu,
hmm ...kemarin dia lulus cumlaude loh”

Aku baru tahu ada kombinasi
yang sangat indah untuk menjelaskan
tanganku yang terlihat gemetar,
tanpa membuatku merasa sedih.

Memori Kost Cipaganti 45

Bila Ingin Berubah Lebih Baik

Carlo dan Data Entry

Shinichi Kudo bertemu Carlo Tenggo pada sebuah pelatihan yang diselenggarakan perusahaan. Saat itu timbullah ide Shinichi (S) untuk bercanda dengan Carlo (C) nan lugu itu.

S: Halo Carlo apakabar? Annual Produk Review (APR) dah selesai semua?
C: Fine thanx. Entry datanya banyak banget jadi APR belum selesai.

S: Entry data?
C: Ya. Sekarang waktuku tuh habis untuk entry data. Kadang sampai lembur hari sabtu loh!

S: Wah hebat. Karyawan teladan dong!
C: Biasa aja kok. Teman-teman juga pada lembur.

S: Sebenarnya aku ingin usul supaya gajimu dipotong saja!
C: Haah! Dipotong? Bukannya seharusnya aku ditambah gaji. Aku kan bela-belain lembur hari sabtu untuk entry data!

S: Itulah alasan utamanya. Perusahaan nggak perlu bayar mahal untuk seorang petugas data entry.
C: Loh kok gitu?

S: Ya dong. Cukup bayar lulusan SMU. Lebih hemat.
C: Wah nggak bisa gitu dong. Aku kan juga analisis data!

S: Ya sih. Tapi waktu untuk analisis data paling cuma 20 persen dari jam kerja keseluruhan. Sisanya kamu gunakan untuk entry data. Jadi kamu hanya layak mendapat 20 persen gaji sarjana dan sisanya gaji sebagai pelaksana.
C: @#!!!!

Shinichi tertawa geli melihat Carlo yang ingin mencak-mencak tapi kehabisan kata-kata.

S: Ah aku bercanda aja kok.
C : Wah bercanda ya. Tapi sepertinya ada benarnya.....

S : Jangan dilihat dari sudut pandang jenis kerja. Kamu harus melihat dari sudut pandang lain.
C: Maksudmu?

S : Idealnya memang seperti itu. Kamu sebagai profesional harus mulai merangkak dari bawah. Harus terjun dari nol. Dengan entry data kamu jadi benar-benar menghayati raw data. Tahu persis teknis pengisian formulir data. Secara tidak langsung kamu juga akan belajar proses mendapatkan data tersebut.
C: Proses mendapatkan data?

S: Ya dong! Di raw data tergambar jelas data berasal dari pemantauan di lapangan atau dari hasil pengujian. Disitu dapat dilihat tahap-tahapnya. Carlo akan mendapat gambaran proses yang terjadi dan kira-kira apa saja yang mempengaruhi proses tersebut. Informasi itu akan berguna saat membuat APR kan?
C: Benar juga ya. Informasi itu sangat aku butuhkan untuk analisa data

(februari 2005, jln makmur bandung)

Saat Kau Tidur

Wajahmu yang damai
Sejuk melayu dimakan beban pekerjaan
Namun tak ada garis kemarahan disana.
Tak ada garis ancaman.
Tak ada garis tuntutan
Semuanya longgar
Semua otot wajahmu melentur.
Kini terpancar pesona dirimu
jauh melewati segala mimik
wajah yang kau perlihatkan selama ini.

PAGI ITU

MATAHARI PAGI
Di teras loteng
tiba-tiba aku ingin diam sejenak,
sebelum semua kesibukan mulai lagi.
Cahaya matahari menguningi semesta
Menerpa atap-atap rumah jauh disana
Menerpa pohon-pohon besar di bawah sana
Membentuk bayang-bayang hitam bergaris kuning
Sebuah harmoni menakjubkan,
yang selama ini kulewatkan.

RASA TEH ITU
Manis di ujung lidah
bersemu kesat-pahit tanin di belakangnya.
Wangi melatinya perlahan merasuk
ke dalam hidung bukan dari luar,
tapi langsung dari dalam rongga mulut.
Uapnya yang hangat ramah membuka
lubang-lubang hidung yang dingin mampet.
Ketika air coklat bening itu
mengalir membasahi kerongkongan,
kesegaran lembut menyapu sekujur tubuhku
yang serasa kembali menyala.
Seakan ditiupkan hawa murni yang menyegarkan
seluruh sel-sel tubuhku tanpa kecuali.
Pagi ini, sayangnya hanya sejenak
di teras loteng dapat kurasakan semua itu.

makmur-bandung 2006