Beginilah Cara Menjelaskan Perang di Gaza Kepada Anak Kecil

Daya tarik utama tulisan Nury Vittachi yang dimuat di the jakarta post ini adalah keberhasilan penggunaan sebuah parodi untuk menggambarkan sesuatu. Nuryana berhasil memparodikan cara berpikir “aneh” yang dipergunakan untuk melegitimasi pendudukan tanah-tanah milik pribumi -- dengan sebuah cerita yang lucu, sederhana namun sangat jitu dan tepat sasaran.

Nury Vittachi adalah seorang penulis kelahiran Srilanka tahun 1958. Nuryana menjadi jurnalis kenamaan dengan menggunakan nama Cina: Lai See dan sebagai pendongeng cerita anak-anak dengan nama Sam Jam. Kini Nuryana tinggal di Hong Kong dan buku-bukunya telah diterbitkan di Asia, Eropa, Amerika dan Australia. Dia juga mengajar menulis dan screenwriting (penulisan naskah untuk sinema) di Hong Kong.


Sebuah karikatur di media massa Arab


^_^

Beginilah Cara Menjelaskan Perang di Gaza pada Anak Kecil

Nury Vittachi, Bangkok | Minggu, 01/18/2009 12:44 | Opini The Jakarta Post


Nury Vittachi
foto:
birlinn.co.uk


Pada suatu ketika, ada sebuah keluarga yang disebut Pal. Mereka tinggal di sebuah rumah yang panas dan berdebu, tetapi mereka suka, dan telah tinggal di sana selama lebih dari 2000 tahun. Kemudian satu hari, mereka kedatangan beberapa pengunjung.

"Kami adalah Keluarga Izzy," kata kepala keluarga yang baru datang.

"Kami akan pindah ke sini"

"Apa?" tanya Keluarga Pal. "Kalian tidak boleh pindah ke sini"

"Ya, kami boleh," kata Izzy. "Orang-orang itu berkata kami boleh pindah ke sini" kata si pendatang baru sambil menunjuk ke sejumlah orang bersenjata lengkap yang mendampingi mereka. Nama mereka adalah Usa dan Uk.

"Hai," kata yang besar. "Saya di sini untuk memberitahu kalian bahwa Izzy dan keluarganya telah menderita trauma menyedihkan. Mereka membutuhkan rumah baru"

"Saya setuju," ujar Pal. "Tapi ini adalah rumah kami, dan ukurannya sangat kecil. Bagaimana jika kalian saja yang memberikan sebagian ruangan di rumah kalian untuk mereka? "

"Mereka ingin tinggal di sini, karena nenek moyang mereka tinggal di sini," kata Usa.

"Tetapi itu tidak adil," kata Keluarga Pal keberatan.

Terjadilah jalan buntu. Masyarakat luas dipanggil untuk mengadili. Keluarga Izzy mengatakan bahwa masalah dapat disimpulkan dalam sebuah pertanyaan sederhana:

"Apakah keluarga Izzy memiliki hak untuk hidup? Ya atau Tidak?"

Kemudian si raksasa Usa sangat menyetujuinya:

"Ya, kami menyatakan bahwa keluarga Izzy pasti memiliki hak untuk hidup"

"Tunggu dulu" kata salah seorang anggota Keluarga Pal.

"Persoalannya bukan Keluarga Izzy memiliki hak untuk hidup. Namun apakah mereka memiliki hak untuk hidup di rumah kami"

Usa tampak sangat terkejut.

"Keterlaluan! Kalian berkata Keluarga Izzy tidak memiliki hak untuk hidup? Kalau begitu otomatis kalian adalah Kelompok Teroris! Tukang Genocide!. Sekarang kalian dalam masalah besar!"

Anggota keluarga Pal tidak tahu apa yang bisa dilakukan. Mereka menyadari bahwa mereka perlu teman yang kuat juga. Mereka membawa perkara ke pengadilan. Ketua hakim adalah seseorang bernama Yuen, terkadang dilafalkan U.N.

Hakim Yuen berbicara ke banyak anggota masyarakat, termasuk Ms Asia, Perancis, dan sebagainya. Mereka semua sepakat apa yang dialami Keluarga Pal sangat tidak adil. Hakim Yuen mengeluarkan beberapa keputusan untuk membuat situasi lebih adil. Tetapi Keluarga Izzy mengabaikan keputusan itu, dan mereka didukung sepenuhnya oleh Usa.

Keluarga Izzy semakin besar, semakin kuat, semakin kokoh dan semakin kaya. Sementara Keluarga Pal semakin miskin dan semakin miskin. Tahun-tahun penuh ketidakadilan dan kesewenang-wenangan tidak dapat dielakkan. Salah satu anggota Keluarga Pal adalah seorang lelaki bernama Hamas. Dia tidak tahan lagi. Dia tidak mau tunduk dan mulai melawan.

Dalam pembalasan terhadap lelaki itu, Keluarga Izzy melakukan serentetan tindak kekerasan secara besar-besaran terhadap Keluarga Pal. "Tolong berhenti," ujar Keluarga Pal, setelah 900 anggota keluarga mereka terbunuh.

Hakim Yuen dan sebagian besar anggota masyarakat internasional juga menyerukan Izzy menghentikan serangan.

Tapi anggota yang paling kuat dari masyarakat internasional, yaitu Usa, berkata kepada Keluarga Izzy agar terus melanjutkan pembantaian. Usa berkata bahwa segala kejadian mengerikan yang terjadi pada Keluarga Pal adalah kesalahan mereka sendiri. "Keluarga Izzy memiliki hak untuk hidup," kata Usa. "Dan dia mempunyai hak untuk membela diri."

Kemudian mereka semua hidup dalam kondisi menyedihkan secara berkepanjangan.

^_^

Sebuah cerita sedih bukan? Hanya ada satu cara agar cerita ini memiliki akhir yang berbeda.

Pemerintahan baru U.S perlu mengingat kata-kata Abraham Lincoln, yang telah dilupakan oleh pemerintahan yang lama: "Satu-satunya cara untuk membinasakan musuhmu: Buatlah dia menjadi teman Anda" .

Nury Vittachi
Penulis adalah wartawan dan kolumnis.
diterjemahkan oleh undil dari the jakarta post

catatan:
USA: United States of America
UK: United Kingdom (Inggris)
U.N: United Nation (PBB)


How to Explain The War in Gaza to Small Children
Nury Vittachi , Bangkok | Sun, 01/18/2009 12:44 PM | Opinion

source: the jakarta post

Once upon a time, there was a family called Pal. They lived in a property which was hot and dusty, but they liked it, and had lived there for more than 2,000 years. Then one day, they had some visitors. “We are the Izzy family,” said the head of the new arrivals. “And we’re moving in.”

“What?” said the Pal family. “You can’t do that.” “Yes, we can,” said Izzy. “They said we could.” The newcomers pointed to some heavily armed “minders” who were accompanying them. Their names were Usa and Uk. “Hi,” said the biggest one. “I am here to tell you that Izzy and his family have suffered terrible trauma. They need a new home.”

“I sympathize,” said Pal. “But this is our home, and it’s very small. Why don’t you give them space in your homes?”

“They want to live here, because their ancestors lived here,” said Usa.

“But that’s not fair,” the Pal family objected.

There was an impasse. The wider community was called to adjudicate. The Izzy family said the issue could be boiled down to one simple question: “The Izzy family has a right to exist, yes or no?” The giant Usa agreed enthusiastically: “Yes, we declare that the Izzy family definitely has the right to exist.”

“Hang on,” said a member of the Pal family. “The issue is not whether the Izzy family has a right to exist. It’s whether they have the right to exist on our property.”

Usa looked deeply shocked. “Outrageous! You’re saying the Izzy family do not have the right to exist, so that automatically makes you a group of genocidal terrorists. Now you’re in trouble.”

The Pal family members were at a loss about what to do. They realized that they needed a powerful friend, too. They took the matter to court. The chief judge was a man named Yuen, sometimes spelt UN. Yuen talked to many members of the community, including Ms Asia, France and so on. They all agreed the situation was fundamentally unfair. Judge Yuen passed several edicts to make the situation fairer. But the Izzy family ignored these edicts, and were fully supported by Usa.

The Izzy family got bigger and stronger and tougher and richer. The Pal family got poorer and poorer. Years of unfairness and abuse resulted in the inevitable. One desperate, tormented member of the Pal family, a man named Hamas, couldn’t take it any more. He went off the rails and started to fight back. In retaliation, the Izzy family unleashed a massive wave of violence. “Please stop,” said the Pal family, after 900 members of their family had been killed.

Judge Yuen and most members of the international community called for the invasion to stop.

But the most powerful member, Usa, told the Izzy family to continue the slaughter, explaining that the horrible injuries to the Pal family were all their own fault. “The Izzy family has a right to exist,” Usa said. “And it has the right to defend itself.” And they all lived miserably ever after.

It’s a sad story, isn’t it? There’s just one way this tale can have a different ending.

The new US administration needs to remember the words of Abraham Lincoln, forgotten by the old US administration: “There’s only way to destroy your enemy: Make him your friend.”

The writer is columnist and journalist.



Cerpen Romo Wage dan Redmont yang Gemar Meludah

Sebulan setelah pernikahannya, keponakan Romo Wage (Romo= dalam bahasa jawa adalah panggilan untuk bapak), yaitu si Redmint baru menyadari bahwa Redmont memiliki kebiasaan meludah yang parah. Redmont meludah dimana saja dan kapan saja. Dia tidak mengenal waktu dan tempat yang tepat untuk meludah. Disitu ada tanah, disitulah dia meludah.

Misalnya pada saat berbelanja bersama Redmint, Redmont udah mulai meludah saat turun dari sepeda motor. Metodenya begini: Redmont akan menolehkan sedikit kepalanya lalu dengan cueknya menjatuhkan ludahnya dengan mengandalkan gravitasi bumi. Demikian juga saat mulai masuk ke pintu gerbang swalayan, Redmont akan sedikit membungkukkan badannya, lalu barangnya akan jatuh ke tanah.

Saat keluar dari swalayan Redmont akan tersenyum pada satpam, lalu menoleh sedikit ke arah berlawanan dan meludah. Saat membawa belanjaan yang berat seperti beras, sedikit-sedikit Redmont meludah seolah-olah dengan meludah, tenaganya menjadi lebih kuat.

Saat dihitung-hitung oleh Redmint, ketika mengantar dirinya ke swalayan, Redmont akan meludah sedikitnya tujuh kali. Saat mengantar dirinya ke kantor, Redmont rata-rata meludah sebanyak enam kali, yaitu satu kali saat akan naik motor, dua kali saat berhenti di lampu merah, dua kali saat melewati belokan tajam dan satu kali saat dirinya turun dari sepeda motor. Uh benar-benar seorang peludah sejati!

Kebiasaan meludah itu bukannya tidak pernah mengundang masalah. Seperti dua hari yang lalu Redmont diomelin seorang ibu-ibu gara-gara dirinya meludah tepat di atas tas belanjaan si ibu. Ceritanya waktu itu Redmont sedang duduk di atas motor, menunggu Redmint yang sedang menitipkan brownish kukus untuk dijual di sebuah toko roti.

Sambil menunggu Redmint, sebentar-sebentar Redmont menoleh ke kanan dan meludah. Nah waktu itu, bertepatan dengan Redmont menoleh dan meludah, ada seorang ibu-ibu yang sedang berjalan di samping motor Redmont. Karena si ibu berjalan dari arah belakang Redmont maka si Redmont tak melihat kehadirannya. Terlambat saat Redmont menyadari. Dia tak mungkin lagi menyedot ludahnya yang sudah terlanjur terbang. Tak ayal lagi, ludah Redmont hinggap tepat di atas tas belanjaan si Ibu.

Bukan main marahnya ibu-ibu tersebut karena tas belanjaannya dikotori ludah Redmont. Apalagi isi belanjaannya adalah aneka roti yang baru saja dibelinya. Si Redmont diomelin habis-habisan. Untunglah ibu itu tidak membawa payung. Jika membawa payung, bisa-bisa kepala Redmont benjol di gebuk payung hehehe!

Kejadian lain adalah saat Redmoint meludah di lampu merah. Ludahnya mengenai tangan bapak-bapak yang meluncur dengan motornya dari belakang dan berhenti di samping Redmont. Tentu saja bapak-bapak yang memakai batik dan sepatu mengkilap itu marah-marah. Mungkin ludah Redmont membuat acara resepsinya menjadi tidak indah lagi. Gimana siy rasanya menghadiri resepsi dengan ludah orang asing masih melekat di lengan kemeja? Hehehe!

Tak terhitung kejadian Redmont dimarahin satpam akibat aksi meludah di depan pintu masuk sebuah gedung – karena ludahnya merusak pemandangan. Juga pemilik warung nasi yang mengomel karena hiasan ludah Redmont di depan pintu masuk warungnya sungguh telah mengganggu keindahan. Juga untuk ludah di track jogging yang tak sengaja diinjak pejogging bertelanjang kaki yang berlari di belakang Redmont. Pokoknya berbagai macam omelan pernah didengarnya dan tidak berpengaruh apa-apa terhadap kebiasaannya.

^_^

Nah kali ini Redmint ingin merubah kebiasaan itu. Maka dia menghadap pamannya, Romo Wage. Setelah berbicara panjang lebar dengan Romo Wage yang memiliki pengalaman segudang di belantara pergaulan manusia ini -- Redmint tahu apa yang harus dilakukannya.

Setiap hari Redmint berusaha membujuk Redmont untuk mengurangi kebiasaan meludah. Setelah tekun sebulan melakukan negosiasi dengan senjata ini dan itu akhirnya Redmint berhasil membuat kesepakatan adanya sanksi. Untuk tiap kali Redmont meludah, Redmint berhak mendapat satu buah es krim cone. Begitulah kesepakatannya.

Tapi ternyata reduksi aksi perludahan Redmont hanya berumur pendek. Dalam dua minggu berikutnya frekuensinya telah balik seperti semula. Disamping karena harga es krim cone yang murah, juga karena Redmint tidak kuat makan es krim cone terus menerus. Jadi banyak hukuman yang tidak jadi dieksekusi karena Redmint tak berminat makan es krim banyak-banyak.

Jadilah Redmint menghadap Romowage kembali untuk mendapatkan nasehat. Kemudian mereka berdua menemukan cara lain. Yaitu secangkir kopi panas. Redmont punya kebiasaan meminum secangkir kopi panas di pagi hari, sore sepulang kerja dan sesaat menjelang tidur. Maka berhasillah “dipaksakan” kesepakatan baru untuk mengurangi jatah satu cangkir kopi bila Redmont meludah. Cara ini ternyata cukup efektif mengurangi frekuensi meludah Redmont, terutama bila ada di depan Redmint.

Kemudian Redmint berhasil memperluas lagi sanksinya dengan tugas untuk menyetrika pakaian. Bila Redmont tertangkap basah meludah lebih dari tiga kali, maka untuk ludah yang keempat dia harus menyetrika sepasang baju. Ludah kesatu sampai ketiga telah dikompensasi dengan tidak minum kopi. Ludah kelima dan seterusnya berarti sepasang baju kedua, ketiga dan seterusnya. Tentu saja hukuman ini sangat menyenangkan bagi pembantu yang bertugas menyerika baju-baju Redmint dan Redmont.

Enam bulan setelah sanksi diberlakukan frekuensi meludah Redmont sudah jauh berkurang. Misalnya saat mengantar Redmint berbelanja, Redmont hanya meludah satu kali, yaitu saat menunggu Redmint memilih barang (karena Redmint tidak bisa melihatnya). Kadang-kadang dua kali, yaitu satu kali sebelum berangkat saat Redmint masih berada di dalam rumah. Namun secara umum Redmont sudah mulai bisa meninggalkan kebiasaan meludahnya. Tinggal sisa-sisanya saja yang Redmint optimis akan terus berkurang dalam beberapa bulan mendatang (Undil – 2009)


Cerita Pendek Bahasa Jawa: Romo Wage lan Pak Wagu (2)

Romo Wage (romo = bapak) arep mangkat ning bale deso, kumpul bareng pemuda-pemuda arep domonstrasi mengutuk pembantaian Israel ning jalur Gaza. Rencanane demonstran saka deso-deso sak kecamatan arep demonstrasi bareng ning lapangan ngarep kantor kecamatan. Weruh Romo Wage nggawa gulungan spanduk boikot produk pendukung Israel, Pak Wagu terus nyegat ngajak ngobrol.

Pak Wagu:
Wong sing perang wong liyo kok kowe melu repot tho? Mbok ya uwis rasah melu-melu urusane wong liya?

Romo Wage:
Wela. Palestina iku sedulure awake dewe. Hamas kuwi pemerintah resmi Palestina sing menang pemilu sing demokratis. Rak yo lumrah nek deweke dipilara mungsuh, aku uga melu susah. Melu sedih lan ora trimo tho?

Pak Wagu:
Rak yo salahe dewe. Ora gelem manut karo Israel. Malah nembak nanggo roket barang. Mbok yo manut terus damai wae, rasah nanggo perang-perang barang. Israel rak mung mbales amarga di tembaki tho?

Romo Wage:
Pak Wagu, Pak Wagu!. Mbok ya maca buku sejarah. Israel kuwi wiwit jaman mbiyen yo senengane membantai umat manusia. Dadi ora merga ditembaki. Wong deweke kuwi wong asing sing manggon ning lemahe wong-wong pribumi Palestina. Rak yo ora mungkin ngrebut lemah nanggo cara alus tho?.

Terus Gaza kuwi diblokade Israel, dikepung dening tentara Israel. Kebutuhan sandang, pangan lan obat-obatan dingel-ngel mlebu Gaza. Rak yo lumrah menawa Pemerintahan Hamas mbales nembaki Israel. Wong rakyate dikepung, dipilara dening Israel, digawe angel sandang pangan mosok kon meneng wae ?

Pak Wagu:
Meneng wae.

tags: blog bahasa jawa, blog basa jawa, cerkak

Cerpen Bahasa Jawa: Romo Wage lan Pak Wagu (1)

Suwijing ndina Romo Wage (romo = bapak) sing lagi mulih saka pertemuan arisan Ibu-ibu ning balai desa kanggo pidato bab perlune sumbangan kanggo rakyat Palestina ning Gaza sing lagi dikuyo-kuyo Israel -- ketemu Pak Wagu. Wong iku gumun weruh duwit sak besek sing arep di setor Romo Wage marang Panitia Solidaritas Palestina tingkat kecamatan sing sekretariate cedak kantor kecamatan.

Pak Wagu:
Ngopo tho ndadak nyumbang adoh-adoh ning Palestina. Mbok yo nyumbang wong-wong tangga desa sing kebanjiran wae. Ben wae do perang dewe, rak yo jagoku sing menang.

Romo Wage:
Wela, aku rak wis nyumbang korban banjir, wingi sore ning pertemuan Bapak-bapak. Malah sampeyan sing durung nyumbang korban banjir. Durung ana ning daftarku ki!.

Pak Wagu:
Lha aku rak wis nyumbang sarung tho!. Arepa wis suwek gedhi, rak yo isih iso dianggo basahan nek lagi adus tho?

Romo Wage:
Wooo iya aku kelingan. Nyuwun pangapuramu kang, lali aku menawa sampeyan sampun nyumbang sarung. Daftar sumbangan barang bekas sing nggawa dudu aku je, Pak Lurah sing nggawa. Aku saukur nggawa sumbangan barang anyar.

Ngertiya Kang Wagu! Aku nyumbang wong Palestina amarga mesakake lagi dipilara dening Israel kang diewangi Amerika. Uga amarga aku salut, hormat, lan muji marang kawanenane Pemerintahan Hamas mungsuh serdadu Israel. Ing atase gamane mung apa anane, ning iso dadi satria winibawa. Disegani lan diwedeni dening Israel lan Amerika. Dadi kelingan simbah-simbah mbiyen kang wani perang mungsuh serdadu Walanda lan serdadu Inggris sanajan gamane mung bambu runcing.

^_^

Liyo dina Pak Wagu teka ning ngomahe Romo Wage arep titip kunci omah karo pasrah ayam alas lan manuk kuthut kesayangane supaya dirumat Romo Wage. Pak Wagu arep lunga adoh tilik anak ragile sing lagi wae babaran ning Kalimantan.

Romo Wage;
Lha piye tho? Kok ndadak tilik barang? Rasah lungo adoh-adoh ning Kalimantan. Mbok tilik anakmu sing ning tangga desa wae. Dheweke rak minggu wingi bar kebanjiran tho?


Pak Wagu:
Wah sampeyan aja ngono tho. Kok njuk di balik balikke. Anak ragilku rak yo mesakake nek ora ana keluargane sing niliki. Kamangka bojone lagi tugas ning pedalaman. Mosok terus dinengke wae. Anakku sing kebanjiran ora perlu tak tiliki, wong wis kulino kebanjiran kok. Tur ya wis nelpon aku nek ora perlu tak tiliki.

Romo Wage:
Gene ki sampeyan yo ngerti prioritas? Kok isa-isane wingi ngomong ndadak adoh-adoh mbantu Palestina. Lha yo kudu di prioritaske dibantu wong lagi dianiaya dening penjajah. Ya kudu ana sing ngewangi. Paling orang menehi sandang, pangan lan obat-obatan ben iso urip normal kaya sedulur-sedulure ning Indonesia.

Pak Wagu:
Meneng wae

tags: blog bahasa jawa, blog basa jawa, cerkak

Gaza Diary: Apakah Kami Bukan Manusia ?

Kini udara, laut dan daratan di Kota Gaza sekarang dikuasai oleh militer Israel. Mereka juga menginvasi pikiran, syaraf dan telinga orang Gaza. Sebagai usaha untuk menenangkan anak-anak saya yang rewel, gemetar ketakutan saat terbangun setelah mendengar gelegar bombardir selama serangan Israel; saya memasang kapas di telinga mereka – tapi ternyata hal itu tidak banyak membantu.


source: worldbulletin.net

Saya khawatir terhadap perusakan yang sedang dilakukan terhadap hati mungil anak-anak saya. Mereka belum punya hati sebesar saya, mereka tak akan mampu mengatasi tekanan sebesar ini.

Kami kehabisan bahan bakar untuk generator, yang berarti bahwa kami yang berjumlah 11 orang harus berdesak-desakan di sebuah kamar kecil dengan sedikit cahaya selama tiga hari.

Kami juga tidak memiliki air. Air sumur kami hanya dapat diambil dengan pompa air yang butuh listrik. Sedangkan aliran listrik sudah mati di sebagian besar Gaza ketika serangan Israel dimulai.

Tidak seperti banyak keluarga lainnya, kami beruntung kemarin menemukan 20 liter bensin untuk generator listrik. Tidak ada pasokan bahan bakar sejak mulai terjadi serangan di Gaza, sehingga kami harus membayar tujuh kali lipat dari harga biasa.

Kami punya sisa makanan untuk satu hari dan popok yang saya beli dua minggu lalu hampir habis. Popok itu berkualitas rendah, karena hanya sedikit barang yang bisa masuk wilayah Gaza sejak di blokade 18 bulan silam. Popok berkualitas buruk tersebut mengalami kebocoran yang mengganggu. Beberapa hari terakhir si kecil juga harus mandi dengan air sedingin es.

Adik perempuan yang pernah saya tulis tinggal bersama saya, akhirnya memutuskan kembali ke rumahnya walaupun kami protes. Dia takut dengan menipisnya jumlah makanan yang tersisa, kami akan makan satu kali sehari. Bukan lagi makan dua kali sehari seperti yang akhir-akhir ini kami lakukan. Di rumahnya dia memiliki sedikit makanan, cukup untuk kebutuhan dirinya dan keluarganya untuk sementara waktu.

Kami sekarang berjumlah 11 orang, meringkuk bersama-sama di ruang makan orangtua saya. Saudara laki-laki saya, saya dan keluarga kami pindah ke sini. Kami berpikir bahwa lantai pertama rumah ini mungkin merupakan pilihan paling aman.

Ada pepatah dalam bahasa Arab yang mengatakan "kematian dalam kelompok adalah rahmat". Saya mengira jika kami mati bersama-sama mungkin, hanya mungkin, kami akan merasa kurang sakit dibandingkan mati sendirian.

Saya tidur 8 jam sejak awal terjadinya konflik ini, kami dapat mendengar serangan hampir setiap menit.

Saya berpikir, jika salah satu dari kami terluka atau membutuhkan bantuan medis, apa yang akan terjadi? Ambulans menemukan kesulitan untuk mencapai orang-orang sipil, jalan yang terblokir oleh puing-puing, pasukan Israel ada di rutenya - Anda dapat terluka bahkan bisa mati.

Seandainya Ambulans bisa mencapai kami, mungkin kami akan di bom dalam perjalanan menuju ke rumah sakit. Jika kami bisa sampai ke rumah sakit, mungkin tidak tersedia lagi ruangan untuk merawat kami – hanya ada sedikit obat-obatan, sedikit peralatan dan sedikit listrik yang dipergunakan untuk menjalankan peralatan life-saving. Bahkan kami tidak dapat keluar dari Gaza untuk perawatan life-saving yang kami diperlukan.

Sekarang rumah sakit mengandalkan generator cadangan yang membuat hidup lebih sulit bagi para dokter yang berusaha untuk menanggulangi arus masuk pasien dari orang-orang yang terluka. Jika bahan bakar untuk generator habis, pasien-pasien yang bergantung pada peralatan life-saving akan tewas.

Hari ini aku mendengar seorang wanita menelepon ke stasiun radio - layanan ambulan tidak dapat mencapai dirinya dan saya kira dia berpikir stasiun radio mungkin bisa melakukan sesuatu. Dia meratap di telepon "Rumah kami terbakar, anak-anak saya sekarat, bantu saya". Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan wanita dan anak-anaknya tersebut – Saya tidak mau membayangkan.

Saya menghabiskan banyak waktu untuk berpikir bahwa saat ini bisa jadi adalah jam terakhir keberadaan saya di dunia.

Ketika saya mencoba untuk tidur, saya mendengar di radio jumlah orang yang telah meninggal meningkat dari jam ke jam. Saya ingin tahu jika besok pagi, saya akan menjadi salah satu dari tubuh yang dihitung, bagian dari breaking news.

Bagi semua orang yang menonton kematian dan kerusakan di Gaza, saya hanyalah tambahan angka korban Atau mungkin karena saya bekerja untuk Oxfam maka berarti saya adalah sebuah nama dan bukan sekedar tambahan jumlah angka korban. Saya mungkin akan dibicarakan selama satu menit dan beberapa saat kemudian dilupakan, seperti semua korban lain yang telah tewas.

Saya tidak takut mati - saya tahu bahwa suatu hari kita semua akan mati. Tapi tidak seperti ini. Tidak duduk diam di rumah saya dengan anak-anak di lengan saya seraya menunggu kehidupan kami yang akan diambil. Aku jijik oleh ketidakadilan ini.

Apakah masyarakat internasional menunggu - untuk melihat lebih banyak orang dan keluarga terhapus sebelum bertindak? Waktu terus berjalan, jumlah orang yang mati dan terluka terus bertambah. Apa yang mereka tunggu?

Apa yang terjadi di Gaza bertentangan dengan kemanusiaan. Apakah kami bukan manusia?

Mohammed Ali, penduduk Gaza yang bekerja di bidang advocacy and media researcher untuk Oxfam.

diterjemahkan oleh undil dari english.aljazeera.net




Gaza diary: Are we not human?


By Mohammed Ali in Gaza City

As the death toll from Israel's war on Gaza continues to climb, Mohammed Ali, an advocacy and media researcher for Oxfam who lives in Gaza City, will be keeping a diary of his feelings and experiences.

Are We Not Human?


The air, the sea and the earth in Gaza City are now occupied by the Israeli military. They occupy Gazans' minds, nerves and ears too.


In a bid to stop my children twitching, jerking, trembling and waking at every sound of an attack during their few hours of sleep and their many waking hours, I put cotton wool in their ears - it has not worked.


I wonder what damage is being done to my children's tiny hearts. Theirs are not as big as mine, they can cope less with the stress that is being put on them.

We ran out of fuel for our generator, which meant that we were confined to a small room filled with eleven people, with little light for three days.


We have not had water either; our well can only pump water if it has electricity which most of the Gaza Strip has been denied since this nightmare started.

Unlike many other families, we were fortunate yesterday to find 20 litres of benzene to power our generator. No fuel has come in since the onset of this attack on Gaza so we had to pay seven times its usual price.

We have one day's worth of food left and the nappies I bought two weeks ago are nearly gone. They are not good quality as little has been able to enter this strip of land since the blockade was imposed on us 18 months ago. Bad quality nappies mean unpleasant leakages, and for the last few days the little ones have had to be bathed in freezing cold water.

My sister who was with us the last time I wrote decided to return home in spite of our protests. She feared that with food reserves running out we might have to eat one meal a day rather than the two we have been having of late. At home she has a little food left, enough to keep her and her family going for a while longer.

We are now 11, huddled together in my parents' dining room. My brother and I and our families moved there, thinking that the first floor may be the safest option.


There is a saying in Arabic which says "death in a group is a mercy". I guess if we die together maybe, just maybe, we will feel less of the pain than in doing so alone.
I have had 8 hours sleep since the beginning of this conflict; we can hear attacks almost every minute.

I think to myself, if one of us is injured or needs medical attention what will happen? Ambulances are finding it difficult to reach civilians, roads are blocked by rubble, Israeli forces in their path - you could bleed to death.


Even if they did get to us, maybe we would be bombed on our way to the hospital. If we did reach the hospital there might not be enough room to treat us - there is little medication or equipment or any electricity to fuel the life-saving equipment. We would not even be able to get out of Gaza for the life-saving treatment we needed.

Hospitals are now running on back-up generators making life even more difficult for the doctors who are trying to cope with the influx of the injured. If fuel runs out for the generators, those on life-saving equipment will perish.

I heard a woman calling into a radio station today - ambulance services could not reach her and I guess she thought the radio station might be able to do something. She was wailing down the phone "our home is on fire, my children are dying, help me". I do not know what happened to her and her children - I do not want to imagine.


I spend much of my time thinking that this could be the last hour of my existence.


As I try to fall asleep, I hear on the radio the numbers of people who have died rising by the hour. I wonder if tomorrow morning, I will be part of that body count, part of the next breaking news.


I will be just another number to all those watching the death and destruction in Gaza or maybe the fact that I work for Oxfam will mean that I will be a name and not just a number. I might be talked about for a minute and moments later forgotten, like all those other people who have had their lives taken away from them.

I am not afraid of dying - I know that one day we all must die. But not like this, not sitting idly in my home with my children in my arms waiting for our lives to be taken away. I am disgusted by this injustice.

What is the international community waiting for - to see even more dismembered people and families erased before they act? Time is ticking by and the numbers of dead and injured are increasing. What are they waiting for?

What is happening is against humanity, are we not human?



sumber: english.aljazeera.net

Romo Wage dan Penjual Kupat Tahu

Cerita ini terjadi sewaktu Romo Wage masih muda (Romo= dalam bahasa jawa adalah panggilan untuk bapak). Waktu itu dia merantau ke sebuah kota besar dan menjadi asisten seorang penjual kupat tahu.

Satu porsi kupat tahu dagangan majikannya berisi sebuah ketupat yang telah diiris-iris, sejumput taoge, sebuah tahu goreng, lalu diatasnya diberi bumbu kacang seperti yang biasa digunakan pada sate ayam. Begitulah bentuk masakannya dari hari ke hari, dari bulan ke bulan sampai berganti tahun tak pernah berubah.

Sebenarnya Romo Wage telah berusaha memberi saran kepada majikannya untuk memberi variasi pada kupat tahunya, tapi sang majikan menolaknya. Dia khawatir justru para pelanggannya tak senang lalu beralih ke pedagang kupat tahu lain yang banyak mangkal disekitar tempatnya berjualan. Jadilah usulan Romo Wage muda mentok. Baik usulan variasi pada kerupuk, pada tahu, maupun pada bumbu ditolak oleh majikannya.

Genap setahun membantu majikannya, akhirnya kesempatan itu tiba. Seusai lebaran sang majikan bermaksud berlibur agak lama di kampung. Untuk sementara dia menyerahkan gerobak dagangannya pada Romo Wage, dengan pesan untuk dengan cermat meracik bumbu agar pelanggan tidak lari. Romo Wage manggut-manggut, dalam hatinya dia ingin melakukan lebih dari sekedar mempertahankan rasa, dia ingin mengembangkan menu kupat tahu buatannya.

Untuk menghindari kemarahan majikannya, Romo Wage tidak mengganti resep, tetapi memilih memberi tambahan menu pada kupat tahunya. Dia menawarkan pindang telur, telur dadar, telur matasapi yang telah diberi bumbu pedas, ayam rica-rica pedas, pepes tahu dan pepes ikan sebagai teman makan kupat tahu. Kerupuk yang ditawarkan juga diberi variasi, kerupuk putih, kerupuk udang, kerupuk ubi bahkan emping melinjo. Dia juga memberi dua pilihan rasa bumbu kacang, yaitu rasa manis dan rasa asin untuk mengakomodir selera pelanggannya.

Variasi yang ditawarkan Romo Wage pada mulanya tidak ditanggapi oleh pelanggannya. Mereka tetap pada menu lama dan tidak berminat mencoba menu baru yang ditawarkan Romo Wage. Tapi kemudian Romo Wage menyadari bahwa dirinya hanya jual kupat tahu saat sarapan pagi saja. Rupanya para pelanggannya tidak ingin makan macam-macam untuk sarapan. Mereka hanya ingin sekedar pengganjal perut. Hal itu disadarinya setelah dia mengamati banyak diantara pekerja yang makan bersama para pelanggannya membawa bacang, lontong berisi bumbu atau sekedar roti tawar untuk sarapan pagi.

Jadilah Romo Wage mengubah strateginya. Kini dia juga jualan pada saat jam makan siang. Ternyata strategi itu tidak sia-sia. Pada mulanya para pelanggannya hanya menoleh heran ke gerobak kupat tahu yang biasanya hanya jualan di pagi hari. Namun pelan-pelan mereka mulai tertarik. Pertamanya hanya satu dua orang mencoba dengan tambahan lauk ayam rica-rica atau pepes ayam. Kemudian pelan-pelan pelanggannya bertambah. Rupanya mereka puas dengan paduan rasa baru yang dibuat Romo Wage untuk ketupat tahunya. Akhirnya pada jam makan siang-pun gerobak kupat tahu Romo Wage masih diminati oleh para pekerja yang hendak makan siang.

Tentu saja majikannya sangat kaget setelah tahu apa yang berhasil dilakukan Romo Wage. Dia juga senang dengan keberhasilan itu dan bahkan menawarkan gerobaknya untuk dipakai Romo Wage di siang hari. Romo Wage dengan halus menolak tawaran itu karena dirinya akan pindah ke kota lain dimana sahabatnya telah menawarkan posisi untuk membantu menjaga sebuah kios tempat penjualan barang bekas (undil 03 Januari 2009)

Seandainya Orang Palestina adalah Kulit Putih

Seandainya orang Palestina adalah ras kulit putih dan Israel adalah orang-orang Arab – apakah Amerika Serikat akan membiarkan Israel menggempur Palestina? Boleh jadi Amerika akan segera memperingatkan Israel segera setelah bom pertama jatuh.

Fakta-fakta telah berbicara lantang. Israel dibiarkan memblokade Gaza sehingga wilayah yang berpenduduk 1,5 juta jiwa itu kesulitan makanan, air bersih, obat-obatan, listrik dan bahan bakar. Udah gitu Israel juga dibiarkan begitu saja membantai ratusan penduduk Palestina. Serangan brutal Israel terus berlangsung tanpa jelas kapan berakhirnya.

Standar yang berbeda untuk Israel dalam penegakan hak asasi manusia tentu saja merusak reputasi Amerika. Herannya kenapa mereka mau mengorbankan reputasi negaranya hanya demi sebuah koloni kecil Zionis di tanah milik Palestina?. Belum lagi risiko dibenci oleh penduduk negara-negara di seluruh penjuru dunia yang bukan tidak mungkin akan berimbas ke penjualan produk-produk made in Amerika, bank, asuransi dan franchise asal Amerika.

Jadi yah apa boleh buat, kita harus berhati-hati! Lain kali kalau Amerika teriak-teriak tentang pelanggaran HAM di Sudan misalnya -- jangan percaya begitu saja. Lihatlah baik-baik ada tidaknya muatan politik dibaliknya!

^_^

Dibawah ini adalah kutipan surat pembaca di harian The Jakarta Post edisi hari ini (Senin, 05 Januari 2009) yang mengilhami tulisan ini.

The Israeli massacre of the Palestinian in Gaza is crime against humanity and war crime. It is sad that none of the half-billion Arabs and Iranians are coming to the aid of the Palestinians.

If the Palestinian were white, the U.S. and UN would have stopped Israel’s land stealing and genocide shortly after it started. However, the U.S. and UN have made no strong condemnation of Israel and blame Hamas for the massacre in Gaza.

It matters not that Israel broke the cease fire truce with Hamas, and has been blockading Gaza for over a year, committing a genocide of the Palestinians via starvation, lack of medical care, and contaminated water.

It matters not that Israel has stolen most of Palestine’s land, murdered massive numbers of Palestinians civilians and turned Gaza into the world’s largest prison. None of this matters because Israel is protected by the U.S. and UN and does not have to answer for its human rights violations and crimes.

Those in position to stop the Gaza massacre have written off 1.5 million Palestinians, and left the rest of us with blood on our hands.

MARGE
Washington





Warung Bakso Kang Pon dan Kang Kliwon

Si Kliwon itu jauh lebih militan dibanding kamu! Dia seorang radikal-- semangatnya radix -- berakar jauh ke dalam kepribadiannya. Makanya warungnya lebih laris dari kamu!

^_^

Kang Pon dan Kang Kliwon mewarisi dagangan bakso dari orang tuanya yang bernama Pak Wage atau biasa dipanggil Romo Wage (Romo = dalam bahasa jawa berarti bapak) oleh penduduk Kota Badegan yang berusia lebih muda dari Romo Wage. Warung bakso milik tokoh kota itu terkenal sebagai warung bakso pertama bahkan rumah makan pertama yang berdiri di Kota Badegan.



(03-01-2009) Genocide oleh tentara Israel terhadap
penduduk Palestina sedang berlangsung di Gaza
sumber gambar: Ben Heine

Untuk ukuran pedagang bakso di kota kecil, jumlah bakso yang terjual per hari di warung Romo Wage tergolong besar, yaitu 200 porsi perhari untuk masing-masing warung baksonya. Romo Wage punya dua warung bakso, yang satu terletak di depan Pasar Legi dan yang satunya lagi di pinggir alun-alun kota. Dua-duanya ramai dikunjungi penggemar bakso dari kalangan tua hingga anak-anak muda, dari anak sekolah sampai pensiunan.

Setahun setelah diwariskan tidak ada perbedaan antara warung di depan pasar yang dikelola Kang Pon dengan warung di pinggir alun-alun yang dimiliki Kang Kliwon. Keduanya masih laris manis, malah bertambah laris berkat kepandaian kedua anak Romo Wage tersebut menarik minat pembeli.

Kang Pon pandai bergaul dan memiliki segudang pengalaman berkat kesukaan berkelana semasa mudanya. Cerita-cerita Kang Pon membuat para pembeli betah jajan di warungnya. Beliau bahkan hapal satu persatu nama dan alamat rumah pengunjung warung baksonya. Kang Pon juga menambahkan menu aneka minuman mulai dari berjenis-jenis jus buah hingga es teler yang membuat pembeli makin betah bertandang ke warungnya.

Kang Kliwon juga tak kalah supel. Dia pintar membuat seseorang yang baru dikenalnya-pun suka bercakap-cakap dengan dirinya. Berkat pergaulannya yang luas, pengetahuan Kang Pon meliputi hal-hal terkini yang sedang ngetrend di kalangan penggemar baksonya. Para pengunjung, terutama anak-anak muda sangat senang ngobrol dengan Kang Kliwon -- yang walaupun ada nasehatnya – dunianya masih nyambung dengan dunia anak muda dan dibumbui humor-humor segar yang seakan tak pernah kering. Kang Kliwon juga ahli membuat berbagai kerupuk & keripik sebagai teman makan bakso bakso yang membuat para pengunjung semakin ketagihan untuk datang lagi kesana.

^_^

Tahun kedua mulai ada perbedaan. Warung Kang Kliwon lebih maju dibanding Warung Kang Pon. Jika tahun lalu pengunjung mereka sama-sama berkisar di angka 250 porsi, kini pengunjung warung Kang Kliwon telah mencapai angka 300 porsi sehari. Peningkatan porsi itu disebabkan adanya pabrik-pabrik baru yang dibangun di pinggiran kota. Para pekerja pabrik itu banyak yang senang makan bakso di warung Kang Kliwon. Sementara Warung Kang Pon masih berkisar di 250 porsi, dan tidak ada kecenderungan untuk naik. Kang Pon tahu hal itu, tapi dia menganggap hal itu disebabkan para pekerja pabrik memilih warung Kang Kliwon karena mereka ingin sambil berekreasi di seputar alun-alun yang dikelilingi taman kota.

Tahun ketiga perbedaan semakin nyata. Porsi Warung Kang Kliwon telah menyentuh 400 porsi sehari, sementara Kang Pon justru turun di angka 100 porsi sehari. Tinggal setengah dari angka penjualan saat diwariskan oleh Romo Wage, yaitu 200 porsi sehari. Penurunan ini tentu saja membuat Kang Pon gundah dan diam-diam pergi kepada ayahnya untuk meminta nasehat.

^_^

Setelah mendengar cerita tentang warung baksonya dari Kang Pon, Romo Wage tersenyum lalu mulai memberikan pandangan-pandangannya tentang warung Kang Pon.

Romo Wage:
Kemarin warung baksomu tutup yah?

Kang Pon:
Oh iyah Romo. Soalnya hari minggu saya ke tempat mertua di luar kota dan baru pulang senin pagi. Badan terasa pusing, ngantuk banget dan rasa-rasanya badan saya agak meriang.

Romo Wage:
Secara si Kliwon juga pulang ke mertuanya bareng kamu kan?. Kok bisa-bisanya dosky tetap buka?

Kang Pon:
Eh. eh Si Kliwon Hari Minggu udah nyiapin baksonya untuk dua hari, jadi dia tinggal memasak kekurangannya saja di hari senin.

Romo Wage:
Lho kamu kan juga menyiapkan dulu seperti Si Kliwon?. Trus Kalo Si Kliwon trus gak ngantuk dan pusing gitu ?

Kang Pon:
Kata dia siy ngantuk dan kepalanya pusing juga. Soalnya rumah mertuanya lebih jauh dari rumah mertua saya dan jalannya belum diaspal. Tapi sepertinya dia agak memaksakan diri untuk buka.

Romo Wage:
Dengarlah wahai anakku (cieee!). Itulah yang membuat warung dia lebih maju dari warungmu. Si Kliwon itu orangnya jauh lebih militan dibanding kamu. Dia seorang radikal sejati -- yang semangatnya radix -- semangat menggelora yang berakar jauh ke dalam kepribadiannya. Makanya dia tidak terpengaruh oleh masalah-masalah kecil seperti badan meriang, lelah dan ngantuk sehabis bepergian, sedangkan kamu memilih meliburkan warung. Hujan agak besar dikit, kamu memilih membuka warung setelah hujan besar reda. Pembantu pulang kampung, warungmu ikutan libur. Anak rewel dikit kamu memilih tutup lebih cepat. Minyak tanah susah di dapat, kamu cepat menyerah gak mau nyari ke tempat jauh atau ganti pake gas.

Jadinya jam buka warungmu gak bisa diprediksi orang. Orang udah jauh-jauh datang bareng keluarganya sampai ke warungmu ternyata belum buka atau malahan libur. Yah mereka pasti sangat kecewa. Orang yang tadinya langganan ke warungmu, terpaksa mencoba jajan ke warung Kliwon. Saat tahu rasanya tak jauh beda, mereka memilih warung Kliwon karena jam bukanya lebih pasti (kang undil -2009)

tags: cerpen, cerita pendek, cerita psikologi, keunggulan seorang militan, warung bakso, cerita manajemen, semangat kerja

Cara Menyalurkan Bantuan ke Palestina

Bombardir Israel ke Jalur Gaza masih terus berlangsung hingga saat ini. Korban-korban terus berjatuhan. Aksi militer negara kolonial yang dibangun di atas tanah-tanah hasil rampasan milik penduduk Palestina itu mengundang kecaman dari seluruh penjuru dunia. Juga ada desakan agar presiden terpilih AS, Obama angkat bicara. Sementara seruan boikot telah mulai ditanggapi di tanah air, seperti yang dilakukan ribuan mahasiswa di Palembang, mahasiswa & santri di Tasikmalaya. dan mahasiswa di Samarinda

Bagaimana caranya bila kita ingin memberikan bantuan kepada rakyat Palestina? Untuk membantu wanita, anak-anak dan penduduk Palestina yang terkepung di Jalur Gaza, kita dapat menyalurkannya melalui MER-C (Medical Emergency Rescue) via SMS atau via rekening bank.


ViaSMS

ketik:
MERC PEDULI
kirim ke 7505 (Rp. 5000 per SMS)

Catatan:
Per tanggal 29 Desember 2008, semua donasi yang masuk melalui SMS donasi MERC PEDULI diamanahkan untuk Palestina



Via Rekening Bank
Untuk mendukung Misi Kemanusiaan MER-C ke Palestina
bantuan dapat dikirimkan ke rekening:

BCA cab Kwitang: No. Rek. 686.0153678
BSM cab. Kramat: No. Rek. 009.0121.773
(a.n. Medical Emergency Rescue Committee)

BMI cab. Arthaloka: No. Rek. 301.00521.15
(a.n. MER-C)

Untuk lebih jelasnya silakan lihat situs:
Medical emergency Rescue (MER-C)

^_^




sumber gambar: ben heine