Cerpen Kancil versus Si Pemancing Keributan

"Ibu, kenapa Sang Kancil baca buku pake sepatu?

^_^





Bangun tidur Sang Kancil terkejut melihat selembar daun tergeletak di depan rumahnya. Dipungutnya daun tersebut, lalu dibacanya tulisan yang tergores di atas daun. Rupanya sebuah surat-daun.


Akhir-akhir ini memang mulai banyak binatang hutan yang berkomunikasi dengan lembaran daun sebagai pengganti komunikasi lisan via burung beo. Karena kalo menitipkan pesan secara lisan lewat burung beo harus sabar mengantri, maklumlah banyak binatang yang membutuhkan jasanya.


Pelan-pelan disimaknya tulisan yang tertera di permukaan daun.


“Hari gini Kancil masih tidur.
Gak tau apa kalo Kijang sibuk
mengomentari otak Sang Kancil
yang disebutnya mulai tumpul.
Katanya ilmu pengetahuan Sang Kancil
ketinggalan jaman, jauh dari kenyataan”
Sejenak hati Sang Kancil terbakar. Rupanya Kijang mulai meremehkan kemampuan dirinya. Dianggapnya ilmu pengetahuan Sang Kancil telah lapuk. Sudah usang, tidak sesuai dengan kebutuhan masakini. Brrrrggggg! Api kemarahan mulai membakar hati Sang Kancil.

Si Kijang tidak tahu sopan santun! Berani-beraninya meremehkan diriku, Si guru dari segala macam anak binatang di hutan!. Yah, sampai dengan saat ini Sang Kancil adalah guru paling bijak di hutan, tempat para binatang mempercayakan anaknya untuk dididik.


Beruntunglah Sang Kancil berkat kebijaksanaan yang dipelajarinya selama belasan tahun dia tidak mengikuti kata hatinya untuk marah-marah pada Kijang. Dibacanya sekali lagi tulisan di daun lontar. Diselidikinya cara penulisannya. Rasa-rasanya dia kenal tulisan yang ada di daun itu. Yah! Dia pernah menerima tulisan serupa tahun lalu.


Setahun silam Sang Kancil mendapat kiriman tulisan mirip ini. Waktu itu tulisan yang tertera di daun adalah tentang komentar Jerapah terhadap cara baca Sang Kancil. Disebut-sebut dalam surat itu bahwa Jerapah mempertanyakan Sang Kancil yang membaca di perpustakaan Ibu Gajah tanpa melepas sepatu. Padahal sepatu itu kan dipake jalan kemana-mana. Apakah debu di sepatu tidak akan melekat pada tikar dan menyebabkan celana pengunjung perpustakaan jadi kotor?.
Kala itu Sang Kancil langsung marah-marah pada binatang yang pernah dimasukkan dalam kulkas tersebut. Dilabraknya rumah Sang Jerapah dan dimarahinnya Si Jerapah tepat di muka pintu. Di katakannya Si Jerapah jangan menuduhnya sembarangan! Dirinya memang tak pernah melepas sepatu bila baca di perpustakaan Ibu Gajah karena dia bacanya di luar! Dia tak pernah masuk ke perpustakaan, tapi duduk di batu-batu yang disediakan di luar perpustakaan. Jadi wajar saja bila dia tidak membuka sepatu.

Jerapah buru-buru menjelaskan pada Sang Kancil kalau yang bertanya itu adalah Ajer (Anak Jerapah). Waktu itu Ajer, si Jerapah kecil yang sedang diajaknya berkunjung ke perpustakaan heran melihat Sang Kancil asyik membaca tumpukan daun tanpa melepas sepatu. Saat itu juga telah dijelaskan pada Jerapah kecil bahwa Sang Kancil tidak membuka sepatu karena bacanya di luar, bukan di dalam perpustakaan.


Jadilah mereka berdua bingung tentang siapa yang iseng mengirimkan surat pada Sang Kancil mengadukan pertanyaan Jerapah kecil.
Ada juga ternyata makhluk yang suka memancing-mancing.

^_^

Ingat peristiwa dirinya dengan Jerapah tersebut Sang Kancil tersenyum. Tulisan di daun ini dikirim oleh makhluk yang sama. Makhluk Pemancing pertikaian. Jadi pasti isinya tak jauh beda. Tujuannya bikin heboh saja!. Sang Kancil tidak mau jadi tontonan warga hutan karena bertengkar dengan Kijang gara-gara surat itu.

Pastilah kata-kata itu ditujukan bagi kalangan internal keluarga kijang. Didengarnya beberapa anak kijang sudah cukup umur untuk mulai bersekolah. Mungkin mereka sedang rapat keluarga untuk membahas kepada siapa anak mereka akan dititipkan.

Boleh jadi salah satu anggota keluarga Kijang pernah mengetahui dirinya membuat pernyataan yang salah -- lalu khawatir anak-anak mereka jadi ikut salah. Mereka pasti sedang berusaha sekuat tenaga mencari guru yang tepat buat anak-anaknya. Jadi para kijang sedang diskusi keluarga untuk mencari seorang guru, bukan sedang menjelek-jelekkan Sang Kancil.

“Maafkan aku Si Pemancing keributan.
Aku tak sudi makan umpanmu.
Aku tidak akan berdebat dengan siapapun
hanya karena ulahmu! Sorry yah!”

Itulah kata-kata yang ditambahkan Sang Kancil di atas surat-daun berisi aduan itu. Lalu dilemparkannya daun itu hingga terbang terbawa angin ke angkasa (Undil – 2009).


tags: cerita kancil, cerita anak, cerita pendek, cerpen, cerita psikologi, cerita si pemancing-mancing,
 
sumber gambar: boston.com

Andong dan Lalat Kecil

Jaman dahulu kala ada sebuah Andong (kereta kuda) bermuatan jambu biji sedang berjalan dari Selarong ke Pasar Bantul. Jaman itu jalan raya masih bergelombang, tidak rata dan dibuat dari bebatuan karena belum ada aspal. Ketika andong sedang melewati jalanan berpasir, ada seekor lalat yang hinggap di atasnya. Bersamaan dengan itu laju andong menjadi lambat. Sebenarnya bukan karena keberadaan lalat, tetapi karena roda andong tertahan oleh pasir yang memenuhi jalan.

Namun pelannya andong tersebut oleh Si Lalat dianggap karena keberadaan dirinya. “Wah, andong jadi pelan gini, pasti karena tidak kuat menahan berat badanku” pikir Si Lalat yang merasa dirinya paling berat sedunia.
“Sapa siy yang bisa menandingi berat tubuhku? Gak ada hewan lain yang lebih berat dari diriku!”

Setelah beberapa lama hinggap di atas andong, Si Lalat menjadi bosan terus terbang lagi. Berbarengan dengan itu andong telah sampai jalanan yang tidak berpasir sehingga lajunya menjadi kencang kembali. Si Lalat yang udah ge-er jadi tambah yakin bahwa tubuhnya benar-benar sangat berat.

“Wah, saya tinggal sebentar saja andong bisa kencang lagi. Pastilah tubuhku benar-benar berat buat dia!” kata Si Lalat dengan hati berbunga-bunga.


Lalat kemudian berpikir jika dirinya hinggap diatas andong sambil menggerakkan sayap tentunya andong akan melaju lebih kencang karena terdorong oleh kepakan sayapnya. Tak berapa lama kemudian Si Lalat mencoba hinggap lagi di atas andong sambil menggerakkan sayapnya. Mendadak andong melaju kencang sekali dengan kecepatan sangat tinggi. Si Lalat kaget sampai terlempar dari atas andong. Untungnya dia bisa terbang sebelum jatuh menyentuh tanah.


Sebenarnya andong tersebut melaju kencang sekali karena ada turunan di jalan raya. Jadi wajar saja andong melaju lebih kencang karena dibantu gravitasi bumi. Namun peristiwa itu membuat Lalat semakin ge-er. Kemudian Si Lalat berteriak pada kuda yang menarik andong

“Sorry, sorry Mas Kuda. Aku salah mengukur kekuatanku. Kayaknya aku gerakkan sayap terlalu cepat, jadi andongmu melaju terlalu kencang!. Sorry ya, besok lagi aku akan menggerakkan sayapku pelan-pelan saja” kata Si Lalat dengan hati bangga akan kekuatannya. (Undil – Okt 09)

bacaan:
Tjrita Pantja Warna oleh S. Har, Penerbit PT. Jaker Jogjakarta

tags: cerita anak, cerita pendek, dongeng menjelang tidur, cerita orang besar kepala, cerita pendek tentang orang geer.



Cerita Pendek Bahasa Jawa: Andong lan Laler Cilik

Jaman mbiyen ana andong nggawa momotan jambu kluthuk lagi mlaku saka Selarong arep menyang Pasar Bantul. Jaman iku dalane isih gronjal-gronjal digawe saka watu durung ana aspal. Nalika andong lagi liwat dalan sing kebak wedi, ana laler cilik mencok ning nduwure andong. Bareng karo mencoke laler, lakune andong malik rindik. Ora amarga kabotan laler, nanging amarga rodane kepater dening wedi sing mbleder ning ndalan.

Nanging rindike andong tumrap laler dianggep amarga kapencokan deweke.
“Wah andong iki dadi mlakune alon-alon, mesti merga jarane kabotan awakku” pikire si laler kanthi ati bungah rumangsa paling abot sak donya.
“Sapa sing iso nandingi abote awakku, ora ana kewan liya sing luwih abot timbang aku!”.

Sakwise sakwetara mencok ning andong, laler banjur jeleh terus mabur meneh. Nalika Laler mabur, andonge pas liwat dalan sing ora ana wedine. Dadi lakune andong malik cepet maneh. Si Laler kang gegeden rumongso tambah yakin menawa deweke abot tenan. “Weladalah, tak tinggal sedilit wae, andonge langsung biso mlaku banter. Wah, nek ngono aku iki abot temenan ya!” celatune si laler.

Laler banjur mikir, manawa deweke mencok ning andong karo ngobahke sewiwine mestine si andong bakal mlaku luwih banter amarga kasurung dening obahe sewiwi. Laler trus nyoba mencok maneh ning andong karo ngobahke sewiwi. Dumadakan andong malik mlayu banter banget ngedap-edapi. Laler kaget banget ngantek awake kontal saka andong. Untunge deweke iso mabur sakdurunge tiba ning lemah.



Sajatine andong mau iso mlayu banter banget amarga dalane ndronjong, Dadi lumrah menawa mlakune luwih banter wong diewangi gravitasi bumi. Nanging lelakon itu agawe Laler dadi tambah ge-er. Trus mbengok-mbengok marang jarane andong.. ‘Sorry, sorry Kang Jaran, aku salah ngukur kekuatanku. Anggonku ngobahke sewiwi sajake kebanteren, dadi andongmu mlakune banter banget. Sorry ya, sesuk maneh anggonku ngobahke sewiwi rindik wae”. celatune Laler kanthi ati mongkok (Undil Okt 09).

bacaan:
Tjrita Pantja Warna oleh S. Har, Penerbit PT. Jaker Jogjakarta


tags: blog bahasa jawa, cerkak, cerita cekak, cerita pendek bahasa jawa, cerkak anak

Sastrokreatip Mau Dodolan Gorengan



Inilah hari yang ditunggu-tunggu Haji Wage, yaitu datangnya Sastrokreatip ke rumahnya untuk menyatakan minat buka usaha. Mau bisnis saja, begitu kata Sastrokreatip pada Haji Wage lewat telpon. Setahun yang lalu Sastrokreatip lulus kuliah dengan IPK three point something. Namun entah kenapa hingga saat ini belum juga dapat pekerjaan yang sreg dengan panggilan hatinya.

Dua minggu lalu Haji Wage mendengar berita bahwa Sastrokreatip telah magang di warung Kang Dadang. Pertanda upaya Haji Wage tidak sia-sia. Sebulan sebelumnya Haji Wage yang dicurhati ayah Sastrokreatip tentang anaknya yang belum juga dapat kerja – berinisiatif mengajak Sastrokreatip jalan-jalan seharian.

Mereka berdua keliling-keliling Kota Bandung. Bukan keliling sembarang keliling. Si Sastrokreatip ini diajaknya jajan sambil ngobrol dengan tukang gorengan yang tersebar di seantero Bandung. Dari Jalan Eijkman sampai Gunung Batu, dari Dipati Ukur sampai Lembang, dari Tamansari sampai Surapati. Pokoknya komplitlah seluruh penjuru kota dijelajahi untuk bersua dengan para tukang gorengan.

^_^

Pukul sepuluh pagi tamu yang dinanti-nanti oleh Haji Wage datang. Setelah sejenak basa-basi, ngobrol sana-sini akhirnya Sang Tamu tiba pada inti persoalan yang ingin diungkapkan pada Haji Wage.

“Saya butuh uang untuk bisnis Kang!. Bisa nggak pinjem barang 10 juta untuk buka usaha jualan gorengan” pinta Sastrokreatip

“Berapa??. Sepuluhjuta????” Haji Wage kaget sampai rambutnya berdiri.

“Sedikitlah segitu!. Untuk beli gerobak saja berapa? Belum lagi kompor gas dan tabung gas. Wajarlah angka segitu!”

Haji Wage diam sejenak. Kemudian dia berceramah panjang lebar tentang perlunya Sastrokreatip berhati-hati dalam membelanjakan uang buat modal bisnis. Beli yang perlu-perlu saja, jangan dulu tanam modal banyak-banyak. Jelajahi kolamnya dulu, sebelum mencebur untuk berenang. Siapa tahu banyak buaya dan cicak dalam kolam. Intinya Haji Wage tidak setuju Sastrokreatip memulai usaha gorengan dengan modal sebesar itu.

“Bukannya pertigaan jalan tempat kau mau jualan itu dekat banget dengan rumahmu. Kamu juga gak akan jualan keliling kampung. Gak perlulah bikin gerobak dorong. Angkut saja satu meja dari rumahmu untuk pengganti gerobak dorong”. kata Haji Wage

“Waaah, gak nyeni dong Kang. Masa aku jualan pake meja belajar, malu dong!

“Ah, tenang aja. Ntar kalo daganganmu laku kamu gak akan malu lagi. Kalo soal kompor ambil saja satu kompor dari rumahmu, tabung gas tak liat banyak juga di rumahmu. Tinggal diambil satu”.

Sastrokreatip mau gak mau menerima saran Haji Wage untuk mempergunakan perabotan rumah buat jualan gorengan. Pertigaan jalan tempat dirinya akan berjualan memang bukanlah jalan raya yang ramai, tetapi banyak karyawan kantor yang ngontrak, juga banyak tempat kost anak koas kedokteran dan ramai oleh murid-murid SD yang jalan kaki ke sekolah. Ditaksirnya soal pembeli gak akan pernah sepi. Sekarang tinggallah persoalan dana untuk beli isi tabung gas, beli minyak goreng dan tenda sederhana biar dagangannya tidak bubar kalo tiba-tiba turun hujan.

“Kalo gitu aku pinjem uang buat beli bahan-bahan gorengan dan tenda aja” kata Sastrokreatip

“Bukannya kamu punya Motor Megapro di rumah?. Itu bisa untuk modal awal!”

“Apa maksudmu Kang? Kalo dijual, aku beli bahan-bahan gorengan pake apa? Lagipula motor itu sangat kubutuhkan untuk transportasi sehari-hari. Gak mungkinlah kujual!”

“Waaaah salah ngerti kamu!. Jual lalu beli lagi motor yang agak lebih tua. Beli aja motor keluaran akhir tahun 90-an atau awal 2000-an . Banyak yang masih bagus kok! Selisih uangnya buat modal usahamu!”

“Huuuuuu.....Kok Akang gitu siy! Gak bisa yah pinjem uang dulu ke Kang Wage?”

“Bisa aja siy. Tapi aku khawatir kamu jadi kurang semangat dalam jualan. Soalnya uangnya dari aku. Jadi kalo gagal -- yah kamu bisa berharap aku akan memberi kelonggaran dalam pembayaran hutang atau aku akan mengikhlaskan uang itu. Tapi jika modal berasal dari kocekmu sendiri, aku berharap kamu lebih bersemangat. Sebab kalau modal hilang berarti kamu gak akan punya Megapro lagi. Kalau bisnismu tutup, berarti kamu gak bisa naik motor bagus lagi. Makanya kamu bisa lebih semangat!”

Sastrokreatip diam. Dia sayang banget sama motornya. Motor itu diperolehnya dari uang hadiah saat menjadi juara satu lomba rekayasa teknologi tingkat nasional. Puncak dari sederet prestasi yang diraihnya semasa masih kuliah Makanya sangat bersejarah sekali bagi dirinya.



“Dengar!. Kalo kamu semangat, kamu tak akan berhenti jualan hanya karena seharian tidak laku. Kamu gak akan bermalas-malasan karena hujan. Kamu juga tak akan mundurin jadwal buka warung hanya karena ngantuk akibat baru pulang dari luar kota. Jadi pelangganmu dapat mengandalkan warungmu untuk mencari goreng-gorengan! Nah, semangat itu akan bangkit kalo kamu merasa udah membuat pengorbanan, yaitu motormu yang kau jual. Karena kalo kamu malas-malasan kamu rugi sendiri karena uangmu yang akan lenyap. Bukan uang orang lain yang akan hilang!” lanjut Haji Wage berusaha meyakinkan Sastrokreatip.

Sastrokreatip tertegun. Diam-diam dia mengakui bahwa dengan modal sendiri dirinya akan lebih bersemangat. Juga dirinya lebih bangga karena dapat berdiri di atas kaki sendiri (Undil – Okt 2009).


tags: cerpen, cerita pendek, cerita manajemen, cerita wirausaha, dongeng sebelum tidur, dongeng anak, haji wage, wiraswasta, tips mau buka usaha, harga diri, mandiri, hati-hati hutang untuk usaha, hemat modal, jualan gorengan, psikologi modal usaha


Renata Kalah Lagi

Weekend ini Renata kalah lagi. Bagaimana tidak kalah, Renata gagal memanfaatkan dua hari libur itu untuk belajar beberapa hal baru tentang pekerjaannya. Lebih tepatnya Renata gagal belajar tentang cara pembuatan database sederhana – terkait penanganan data yang semakin melimpah di departemennya. Terutama untuk menampung data-data terkait proses produksi yang belum tercakup dalam database perusahaan.

Sabtu pagi Renata sudah patok untuk bersepeda keluar kota. Jadi acara naik-turun jalanan di Lembang yang sejuk bersama teman-temannya adalah hal yang tak bisa dia tinggalkan. Sabtu siang Renata jalan-jalan ke toko buku bareng Himaru untuk melihat koleksi buku-buku baru yang masuk ke rak pajangan Toko Buku Gunung Agung.

Sorenya sebenarnya Renata bisa mulai membuka CD Pelajaran Membuat Database – yang dibelinya sejak minggu lalu -- tapi Renata memilih main ke rumah Sari. Mereka berdua menghabiskan waktu nonton serial Numb3rs yang bercerita tentang seorang detektif polisi yang memecahkan kasus-kasus pelik dengan bantuan adiknya – yang seorang jenius matematika & dosen di sebuah universitas. Sebuah film matematika yang sangat mengasyikkan bagi mereka.

Minggu pagi Renata jogging di lapangan bola sebuah kampus dekat kost-nya. Dilanjutkan dengan wisata kuliner di warung-warung tiban yang berjajar di pinggir lapangan. Siangnya dilewatkan dengan ngenet, ngecek email, chatting dan browsing seputar sejarah sepeda untuk bahan mengisi buletin kantor. Sorenya diisi dengan bersih-bersih kamar yang baru berakhir menjelang Maghrib.

Praktis Renata baru membuka CD Pelajaran Membuat Database setelah Isya. Sialnya itu-pun tidak tahan lama. Sehabis makan malam dirinya tiba-tiba jadi ngantuk berat dan tidak sadar tertidur pada pukul sepuluh malam.

Renata terbangun pukul 3 dini hari. Dengan mata merah dia melangkah ke kamar mandi melewati kamar dua orang teman kostnya yang masih berstatus mahasiswa. Dilihatnya dua anak itu masih sibuk main games multiplayer via intranet. Ambooy, Renata melihat mereka telah main games sejak Sabtu siang dan masih belum berhenti hingga Senin dini hari. Tahan banget mereka berdiam belasan jam di depan komputer – demi menekuni ”profesi” sebagai gamers! Sebuah semangat luar biasa dalam menekuni sebuah hobby. Tiba-tiba Renata merasa malu!

Renata malu banget pada dirinya sendiri. Dia kalah telak dari dua orang teman kostnya. Dua anak itu mampu menahan diri untuk menekuni games nyaris selama weekend dari mulai Sabtu hingga Senin dini hari. Mereka mampu bersikap total pada kegemaran ngegames!. Sementara dirinya yang seharusnya menekuni pekerjaan yang lebih serius, yaitu belajar database yang dibutuhkan untuk menunjang pekerjaan rutinnya -- malahan bersikap angin anginan.

Dirinya lebih banyak mengerjakan hal-hal yang sekunder sembari melupakan hal primer. Yang lebih disesalinya lagi adalah dirinya gagal memaksakan diri belajar database di Minggu malam, sementara gamers itu mampu memaksakan diri untuk melek semalaman di depan layar komputer.



Huuuuuu........Renata sebel banget pada dirinya. Bagaimana mungkin dirinya kalah semangat dari orang yang sedang main games? “Ini tidak boleh terulang lagi. Aku harus bersemangat belajar sebesar semangat anak-anak itu main games!!!” teriaknya dalam hati (Undil –2009).