Parade Puisi Juli: Risalah Kesepian

Setelah sejenak bersama,
maupun lama bersama teman,
rasa sepi itu masih meraja,
akhirnya aku tahu,
bahwa bukan kebersamaan
atau kesendirian
yang memahat rasa sepi.
Tapi tentang ada tidaknya
seseorang yang menerima
aku sebagai belahan jiwanya,
dan siap berkorban demi aku
dengan sepenuh hatinya
(undil-2012)
 

Puisi Cinta

Semua tentang kita
entah apa namanya
tak lebih dari rasa
yang meraja
karena telah terbiasa
Tak perlu dibesar-besarkan
apalagi diagungkan
atau dipaksakan terjelma
Biarkan semua berjalan
sesuai yang semestinya
(undil - 2012) 














Parade Puisi Juni: Ksatria Berhati Biru II

Saat semua sudah kumiliki
senjata - perisai - perbekalan
bahkan dalam jumlah melimpah ruah
ternyata
semuanya itu baru berarti
setelah aku menawar kuda perang
memilikinya
lalu membawanya menempuh takdirku
Ya Tuhanku
percikkan hambamu ini
sedikit keberanian hadapi
kekalahan

Parade Puisi Juni: Ksatria Berhati Biru

Sungguh sedih rasanya
melihat para ksatria
telah berangkat dengan kuda-kudanya
menancapkan tonggak demi tonggak
yang mesti ditempuhnya
lalu saling bercerita tentang
milestone di kehidupannya
Sementara aku disini
belum juga menemukan kuda
yang kan bawaku berkelana

Parade puisi Juni: Yang Lama Terpendam Muncul Kembali

Momen yang tidak kuduga
membuka kembali armada
yang telah lama terkandangkan
jadilah merepotkan
galau dan semua tentang dia
mengkabuti pikiran
Namun aku yakin
waktu yang akan menjawabnya
menerbangkannya
seperti bulu-bulu
yang berhamburan

Parade Puisi Juni: Hakuna Matata

Angin malam buatmu sedih,
dingin, ngilu dan sepi,
gemerisik jiwa merindu,
pedih sepedih kucuran jeruk nipis,
diatas luka yang menganga,
Eittss nanti dulu!!
Itu semua hanya ada di dunia rasa,
bukan raga yang dapat diraba,
boleh jadi itu hanya bayangan,
yang dibesar-besarkan,
dan tak lebih dari,
ketakutan tanpa alasan
Maka tersenyumlah,
gagahlah memandang dunia
keringkan genangan air mata
Karena kamu adalah Ksatria

Parade Puisi Juni: Cinta Biarkan Burung Pipitmu Terbang

Dan makan malam itu
tanpa diduga
telah membangkitkan kenangan lama
ditambah lagi pernak-pernik baru
yang sebelumnya kau tak pernah tahu
menggigit jiwamu bak sayatan sembilu
Oh Sudahlah
biarkan burung pipitmu terbang
dari sangkar kenangan
toh yang pernah mengisinya
bukan hanya dia seorang


Parade Puisi Juni: Gunting

Dua lempengan besi beradu
memotong kenangan masa lalu
tentang dia
yang tak mungkin dirubah lagi
agar terlupakan
puing-puingnya musti disingkirkan
agar bisa terukir masa depan

Ketika Pak Wagu mengkritik Romo Sunu yang Pergi Umroh

Dia hapal betul kebiasaan orang model Pak Wagu yang suka sekali nyinyir pada orang-orang yang berangkat Umroh, padahal merekalah yang selama ini menjadi tulang punggung kegiatan-kegiatan sosial di kampung, bukan gerombolan Pak Wagu

^_^

Suatu hari Romo Wage (Romo = panggilan untuk bapak dalam Bahasa Jawa) diajak berjalan-jalan oleh sahabatnya -- Romo Sunu -- untuk melihat-lihat kebun anggrek yang baru saja dibangun Romo Sunu di tanah kosong di sebelah timur kampung.  Tanah itu dibeli Romo Sunu setahun yang lalu, dari sononya memang direncanakan untuk dijadikan kebun bunga buat memberi lapangan kerja pada para pemuda kampung yang masih menganggur.

Namun tanpa disangka-sangka saat mereka sedang menikmati keindahan warna-warni bunga dari deretan tanaman anggrek yang berjuntai di dalam rumah kaca, tiba-tiba muncullah  Pak Wagu dengan segala komentarnya.  

Mulanya Pak Wagu basa-basi mengajak ngobrol tentang bunga-bungaan, lalu beralih topik tentang sulitnya mencari pekerjaan saat ini. Juga tentang kemiskinan yang masih ada di wilayah kampung mereka.  Belakangan tiba-tiba Pak Wagu menyindir Romo Sunu yang baru saja pulang dari Umroh ke Mekah.

Mulanya dia memuji-muji tentang ibadah haji dan umroh yang menyatukan umat Islam dari seluruh penjuru dunia. Tapi kemudian dia mengatakan banyak hal yang lebih penting daripada sekedar kepuasan spiritual seperti umroh. Menurut Pak Wagu,  mengalokasikan uang umroh untuk membantu orang-orang miskin akan jauh lebih baik daripada berangkat umroh ke Mekah. Kata Pak Wagu, kebahagiaan orang-orang miskin lebih penting daripada pergi ke Mekah.

‘Jadi begitulah Romo Sunu.  Sebenarnya Anda lebih utama tidak berangkat umroh, tapi sumbangkan saja uangnya untuk memberi sembako pada orang-orang yang kurang beruntung. Itu akan jauh lebih bermanfaat buat sesama” kata Pak Wagu menceramahi dua orang sahabat itu.

Romo Sunu hanya senyum-senyum kecil mendengar “ceramah” Pak Wagu tersebut. Dia tidak bermaksud menjawab kata-kata tetangganya itu. Dibiarkannya Pak Wagu sibuk dengan pendapatnya sendiri. Namun kediaman Romo Sunu itu membuat Pak Wagu dongkol. Bagaimana mungkin saran sebaik itu tidak didengarkan oleh Romo Sunu?.  Pak Wagu sungguh merasa berhadapan dengan orang yang berpikiran picik.  

“Gimana Romo Sunu?  Benarkan kalo memberi sembako itu lebih bermanfaat daripada Umroh?” desak Pak Wagu pada Romo Sunu.

Romo Sunu diam saja sambil tangannya bergerak meneliti pot-pot anggrek yang tergantung berjajar rapi. Dia merasa tak perlu melayani orang seperti Pak Wagu yang dari sononya pengen berdebat. Namun tidak demikian dengan Romo Wage. Dia merasa Pak Wagu agak sedikit keterlaluan dengan desakannya itu. Maka dia tak tahan untuk nimbrung bicara.

“Pak Wagu, itu uang punya Romo Sunu sendiri. Tentu dia tahu bagaimana cara terbaik membelanjakan uangnya” ujar Romo Wage.

“Tahu cara belanjakan uang gimana? Orang dia malah sibuk umroh bukannya membantu orang yang membutuhkan!” tangkis Pak Wagu.

“Dengar Pak Wagu! Siapa yang membangun rumah untuk orang-orang jompo di dekat Kantor Lurah?. Siapa yang menggagas bea siswa untuk siswa-siswi miskin di kampung kita? Siapa yang  menyumbang Ambulans untuk kelengkapan fasilitas masjid di kampung  kita?. Itu semua adalah hal-hal bermanfaat bagi sesama yang telah dilakukan Romo Sunu!” kata Romo Wage dengan nada tinggi.

Pak Wagu terdiam. Dia mengakui bahwa semua itu adalah sumbangan dari Romo Sunu. Tak ada lagi anak putus sekolah di kampung ini karena kurang biaya setelah Romo Sunu membuat yayasan untuk memberi bea siswa. Juga mobil Ambulans gratis bagi seluruh warga kampung, lampu-lampu masjid yang diganti lampu LED, tempat pengolahan sampah dan bahkan papan penunjuk jalan di kampung adalah sumbangan dari Romo Sunu yang terkenal rajin mengetuk pintu-pintu tetangganya untuk diajak Sholat Subuh berjamaah di Masjid itu.

“Nah sekarang bagaimana dengan dirimu Pak Wagu dan juga teman-temanmu yang suka mengkritik kegiatan takmir masjid yang dianggapnya membuang-buang uang itu. Pernahkan kalian melakukan hal-hal bermanfaat bagi sesama seperti yang dilakukan Romo Sunu?”

Pak Wagu tambah diam lagi. Dirinya jadi malu sekali. Selama ini dia tak pernah menyumbang sebesar yang dilakukan Romo Sunu.  Dirinya jarang sekali mengeluarkan uang untuk membantu panti jompo, apalagi ikut urunan membeli  Ambulans. Demikian juga dengan teman-teman yang sehaluan dengannya. Mereka jarang memberi sumbangan uang maupun tenaga untuk kepentingan masyarakat banyak. Dia dan teman-temannya lebih suka membuat diskusi  untuk mengkritik cara-cara  pembelanjaan uang oleh orang-orang seperti Romo Sunu.  

Romo Wage tersenyum melihat Pak Wagu kebingungan mencari jawaban. Dia hapal betul dengan kebiasaan Pak Wagu dan teman-temannya yang lebih suka berteriak-teriak mengkritik orang-orang yang menyisihkan uangnya untuk berangkat Umroh. Padahal orang-orang yang Umroh itu jugalah yang selama ini menjadi tulang punggung kegiatan-kegiatan sosial di kampung. Sedangkan orang-orang yang suka mencerca itu tak pernah melakukan apa-apa selain membuka pedebatan kusir yang tak ada habis-habisnya (Undil-2012)