Sisi Positif Aristokrasi Menurut Romo Wage


Romo Wage berpandangan bahwa aristokrasi tidak selalu buruk. Menurut Romo, aristokrat , kaum ningrat, atau bangsawan tidak melulu soal keturunan. Aristorasi adalah seperangkat karakter dan tingkah laku yang harus diikuti seseorang agar layak tergolong kelompok aristokrat. Standar etika yang tinggi dan disiplin yang keras menjadikan kelompok aristokrat layak menjadi panutan bagi masyarakat umum.

Disiplin tingkat tinggi ini mengingatkan Romo Wage pada ibunya yang selalu menerapkan standar yang tinggi. Misalnya beliau selalu meminta Romo Wage untuk sholat di masjid dan mengaji sehabis maghrib. Bukan sekedar menyuruh sholat, tapi harus sholat di masjid. 

Bukan sekedar melarang nonton TV sehabis maghrib, tapi menyuruhnya mengaji. Tak cukup dengan mengaji, dirinya juga diminta  Ibunya untuk setor hapalan surat-surat pendek beserta artinya seminggu dua kali. Standar tinggi yang diterapkan Ibunya itu membuat Romo Wage dapat dengan mudah memenuhi standar umum yang berlaku di masyarakat.    

^_^

Bagi Romo Wage, pada jaman kiwari ini Aristokrat dapat disamakan dengan elite. Seseorang yang sudah memasuki kelompok elite dalam masyarakat di bidang bisnis, politik, budaya, pendidikan dan bidang lainnya, idealnya menyadari posisinya sebagai elite. Dia adalah segelintir orang yang menjadi contoh bagi masyarakat banyak.

Makanya Romo Wage tak akan banyak komentar saat melihat seorang temannya membuang bungkus permen sembarangan bila dia seorang pegawai biasa di kecamatan, tapi lain halnya bila dilakukan oleh temannya yang jadi camat. Romo Wage pasti akan berusaha untuk menegurnya walaupun secara halus.

Memaki orang lain dengan kata-kata kasar tidak terlalu dipikirkan oleh Romo Wage bila dlakukan seorang pegawai biasa di kampus, tetapi akan membuat Romo Wage geleng-geleng kepala bila dilakukan oleh temannya yang sudah profesor. Romo Wage juga punya pengalaman dahulu saat dia masih kerja di travel, bila punya bos yang suka terlambat maka dirinya juga jadi tak begitu hirau dengan ketentuan jam masuk.

Romo Wage berkesimpulan bahwa semua orang yang berada dalam posisi elite adalah contoh yang akan ditiru, atau bisa dijadikan alasan pembenar oleh orang awam yang melakukan kesalahan serupa.

Persis yang pernah dialaminya. Saat Romo Wage sering main games di warung bakso, dia mendapati para pegawainya juga lebih suka main games dengan HP daripada mencuci mangkok-mangkok bakso bekas pelanggan. Alasannya “si bos saja main mafia war” kok saya gak boleh main games. Saat Romo Wage tidak ramah pada pembeli, dia mendapati anak buahnya ikut-ikutan mengomeli pelanggan yang banyak keinginan saat memesan bakso.

Dengan demikian kesadaran bahwa seseorang merasa dirinya termasuk kelompok elite dalam pandangan Romo Wage tidak berhubungan dengan kesombongan ataupun memandang rendah orang lain. Namun terkait dengan disiplin yang harus dijalaninya sebagai seorang elite. Kesadaran itu terkait dengan spesifikasi dasar untuk menjadi seorang elite.

Cara Mitsunari Mengatasi Rasa Kantuknya

Seperti malam-malam sebelumnya Mitsunari kembali keluar kamar karena kantuk tak tertahankan. Jarum jam menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Tugas presentasi kuliah buat besok pagi, serta tumpukan dokumen kantor yang harus dibereskan malam ini telah memaksanya untuk menunda tidurnya. Semua harus beres malam ini. Sialnya matanya tak tahan lagi untuk tidak terpejam.

Maka seperti yang biasa dilakukannya, Mitsunari keluar dari rumahnya sambil menenteng ransel dan berjalan menuju warung tenda yang berada hanya 300 meter dari rumahnya. Warung itu melekat pada pinggiran sebuah taman kecil di tengah pertigaan Jalan Eijkman. Taman berbentuk segitiga dengan panjang sisinya 20 meter itu pada dua sisinya dijejali deretan warung. Satu sisi yang lain berisi mobil-mobil yang diparkir. Mitsunari menuju salah satu warung yang menjadi langganannya.

Warung langganan Mitsunari menjual makanan standar kakilima. Pecel lele, sop kikil, soto ayam, bebek goreng dan ayam goreng. Mitsunari biasa memilih salah satu menu secara bergantian. Namun untuk malam ini yang hanya bertujuan mengusir kantuk, Mitsunari memesan kopi susu plus beberapa potong pisang goreng saja. Dia ngobrol barang 5-10 menit dengan Bapak yang melayani makan, baru kemudian menyingkir ke tempat duduk dari semen yang sekaligus berfungsi sebagai benteng pembatas taman.

Di bawah penerangan sinar lampu taman yang lumayan terang, Mitsunari meneruskan segala tetek bengek tugas kuliah dan kerjaan kantor di situ. Dikeluarkannya laptop dan buku-buku dari dalam tas, kemudian Mitsunari mulai beraksi membereskan tugasnya.

Anehnya saat mengerjakan tugas di warung ini Mitsunari berkurang jauh kantuknya. Mungkin karena pengaruh angin malam, mungkin juga karena obrolan orang-orang di warung yang membuatnya bersemangat mengerjakan tugas karena melihat orang lain juga terjaga. Sesekali diseruputnya kopi dan dicomotnya pisang goreng sebagai selingan. Satu dua kali dia ikutan nyeletuk menimpali obrolan yang tengah berlangsung seru di warung.

Biasanya pengunjung warung secara konstan datang dan pergi silih berganti. Jarang warung sampai kosong. Obrolan di sana pun bervariasi topiknya, tergantung selera pengunjungnya. Mitsunari tak ambil pusing dengan isi obrolan karena pikirannya tertuju paa tugas-tugasnya. Dia menyelesaikan semua tugas kuliah dan dokumen kantornya bersamaan dengan jam tutup warung. Pukul 3 pagi kala penjaga warung beres-beres warungnya, saat itulah biasanya pekerjaan Mitsunari juga sudah selesai.