Hachiko terpaksa keluar dari tempat kerja yang sudah sepuluh tahun mengisi hari-harinya. Teman baik Shinichi tersebut terdepak dari perusahaan karena persoalan sepele. Pasalnya Bos baru menganggap produk-produk ekstrak herbal yang sedang dikembangkan Divisi Fitofarmaka yang dipimpin Hachiko kurang menjanjikan. Lebih mudah mengadopsi resep-resep jamu tradisional daripada mengembangkan ramuan baru dan susah payah mengekstrak komponen fitokimia dari tanaman.
Jauh lebih murah membuat serbuk jamu kasar dan membuat ramuan sesuai resep kuno daripada mengekstrak lalu menguji khasiat masing-masing komponen. Terlalu ribet dan peluang untuk gagal cukup besar. Belum lagi perusahaan perlu membayar puluhan expert fitokimia dan expert teknologi ekstraksi fitocompound ditambah biaya konsultasi dengan beberapa konsultan dari intitusi riset di dalam negeri maupun mancanegara. Semua pengeluaran itu dianggap pemborosan.
Jadilah Hachiko bersama tigapuluh anak buahnya yang jago ekstraksi dan uji fitocompound menganggur setelah divisinya ditutup diikuti langkah menjual murah mesin-mesin ekstraksi dan alat uji QC yang canggih ke produsen herbal di negeri tetangga. Hachiko berhari-hari berdiam diri di rumah tak percaya dengan peristiwa yang menimpa dirinya.
Hari-hari dengan kegiatan terencana rapi dan jadwal launching produk berbaris rapi tiba-tiba lenyap. Memang baru tiga tahun lagi produk perdana diluncurkan, tetapi peluncuran itu akan berlangsung terus menerus setiap triwulan setidaknya selama 5 tahun karena Hachiko memiliki lebih dari 20 kandidat produk baru. Padahal Hachiko sudah mengerahkan segenap tenaga dan pikirannya untuk mewujudkan semua itu. Hatinya guncang tak mempercayai keputusan Bos baru melemparkan kesempatan emas menjadi perusahaan raksasa fitopharma.
Kini dia harus melihat kenyataan. Hachiko harus deal dengan realita di depan mata. Tidak ada lagi masa depannya di industri herbal. Tidak ada lagi impian membangun perusahaan raksasa fitofarmaka di asia. Semuanya lenyap ditiup angin perubahan. Barangkali memang bos baru tidak diberi cukup dana oleh pemilik perusahaan agar dapat bertahan selama tiga tahun sampai keluarnya produk perdana.
Maka pada minggu ketiga Hachiko mulai jenuh dengan berdiam diri di rumahnya yang terletak di kampung yang masih hijau di pinggiran kota. Dia berangkat ke Bandung. Dilangkahkan kakinya menyusuri track lari Sabuga yang sepi di senin sore ini. Tiba-tiba kepalanya bergejolak. Mendadak Hachiko teringat dengan hobby-hobbynya. Teringat dengan kegiatan-kegiatan favoritnya. Kini dia punya kesempatan mewujudkannya. Tak ada lagi pekerjaan yang mengikatnya.
Hachiko suka berkebun tanaman hias, dia juga suka memelihara ikan, hobby memberi makan burung di alam bebas, ingin punya toko buku kecil yang punya kajian rutin dan bedah buku sebulan sekali. Hachiko juga ingin mengajar skill ekstraksi komponen tanaman kepada ibu rumah tangga dan juga anak-anak muda supaya mereka bisa mendapat bahan murah untuk membuat minyak wangi maupun ramuan herbal kesehatan. Tiba-tiba Hachiko melihat peluang yang terbuka lebar.
Hachiko mulai menyibukkan diri dengan membuat greenhouse di dak atas rumahnya. Dibuatnya sebuah lab kecil untuk kultur jaringan tumbuhan di lantai 2 rumahnya. Kemudian Hachiko mulai menyibukkan diri dengan membibitkan aneka anggrek dengan metode kutur jaringan. Beberapa bulan kemudian greenhousenya telah dipenuhi aneka anggrek yang mulai berbunga.
Tak puas dengan itu Hachiko membuat greenhouse kedua di halaman belakang rumahnya yang luas. Kali ini dia menanam aneka tanaman yang bunganya harum untuk diambil ekstraknya. Dibuatnya sebuah bangunan kecil untuk menempatkan alat ekstraksi fitocompund sederhana. Hachiko dengan mudah mendapatkan alat tersebut dari vendor langganannya tatkala masih bekerja. Setahun kemudian mesin tersebut mulai sibuk bekerja mengekstrak hasil kebun Hachiko.
Kebun dan mesin ekstraksi Hachiko dengan cepat menarik perhatian tetangga-tetangganya. Minyak essensial yang diproduksi sendiri oleh Hachiko membuat ibu-ibu di sekitar rumah tertarik. Mereka dengan cepat memensiunkan bunga bakung, akasia, kersen, dan aneka tanaman yang sedikit bermanfaat bagi mereka - dan menggantinya dengan aneka tanaman yang bisa diambil essensial oil-nya. Tanaman kenanga, nilam, serai, adas, dan mawar dengan cepat menjadi populer di kampungnya.
Halaman rumah warga kini tidak lagi semrawut oleh aneka tanaman, namun indah dan berderet rapi barisan tanaman yang seragam yang akan diambil essensial oilnya. Keseragaman tanaman perlu agar dapat menghasilkan essensial oil dalam jumlah memadai.
Untuk pemasaran produk essensial oil tidak terlalu sulit bagi Hachiko. Selama bekerja dia sering berinteraksi dengan para pemasok essensial oil yang siap menampung berapapun produk yang dihasilkan.
Kini hari-hari Hachiko adalah sibuk mengajari tetangga-tetangganya tentang cara menyuling essensial oil. Sebuah ketrampilan yang sangat dikuasainya ketika masih aktif bekerja di perusahaan. Jadilah kampungnya terkenal sebagai penghasil essensial oil rumahan.
Tepat dua tahun dari berhenti bekerja, Hachiko membuka sebuah toko buku kecil di dekat rumahnya. Walaupun berada di pinggiran kota, toko bukunya lumayan ramai karena koleksinya lengkap dan Hachiko bikin acara kajian buku sebulan sekali di tokonya. Hachiko juga melayani pemesanan online dan pengantaran buku untuk pembelian di sekitar kota Bandung.
Diantara semua itu yang paling membuat Hachiko senang dengan toko bukunya adalah kajian rutin setiap bulan yang ramai dipenuhi anak-anak muda. Sebuah kegiatan yang dulunya tinggal impian tatkala dirinya masih aktif bekerja.
Hachiko merasa tertutupnya peluang bekerja mengembangkan produk herbal baru -- ternyata menandai terbukanya oeluang bagi dirinya untuk melakukan hal-hal yang selama hanya menjadi impian terpendam (Undil 2016).