Pertamakalinya Romo Wage datang ke kota itu, masih banyak warung yang menyediakan minuman keras. Botol-botol arak terselip diantara deretan minuman ringan. Di warung-warung kecil di tengah kampung di pinggiran kota-pun dengan mudah dapat ditemui penjual minuman keras.
Tentu saja Romo Wage merasa jengah dengan pemandangan itu. Gerombolan anak SMP berjalan beriringan di tepi sawah sambil menenteng botol-botol arak sepulang sekolah adalah pemandangan biasa dan mudah ditemui. Kadang-kadang terjadi peristiwa penduduk meringkus sekelompok anak-anak SMA yang mabuk di gubuk pinggir kampung karena mereka mulai meneriaki orang-orang yang melintas di dekat gubuk. Semua itu membuat Romo Wage merasa perlu berbuat sesuatu.
Semuanya dimulai saat Romo Wage memberi kuliah shubuh di masjid pagi itu. Romo Wage mengatakan pada jamaah masjid bahwa hari itu dirinya akan memulai satu langkah kecil. Sejak shubuh itu, sebelum membeli sesuatu di warung, Romo Wage akan bertanya apakah di warung tersebut tersedia minuman keras. Bila ternyata terdapat minuman keras, maka Romo Wage membatalkan niatnya untuk belanja.
Begitulah selama berbulan-bulan Romo Wage melakukan hal yang sama setiapkali belanja ke warung yang berbeda. Romo Wage juga menceritakan tindakannya pada teman-teman bisnisnya maupun tetangga-tetangga dekatnya. Beberapa tetangga yang juga merasa khawatir setelah melihat beberapa anak muda terseret ke dunia hitam akibat kecanduan minuman keras, juga telah mulai tertarik melakukan hal yang sama. Mereka sepakat menolak belanja di warung yang masih menjual minuman keras.
Gerakan yang dipelopori Romo Wage itu semakin lama semakin banyak pengikutnya. Dari mulut ke mulut kabar tentang boikot terhadap warung-warung yang menjual minuman keras semakin berhembus kencang. Dari satu rapat RT ke rapat RT yang lain. Dari satu arisan ke arisan, tentu saja disertai bumbu berupa kisah-kisah nyata tentang malapetaka yang menimpa para pemabuk. Gerakan moral tersebut mendapat pengikut baru seiring semakin luasnya kekhawatiran para Ibu-ibu terhadap masa depan anak-anaknya bila bergaul dengan para pemabuk.
Para istri yang suaminya masih berjualan minuman keras tidak berani lagi ikut arisan, pertemuan RT atau acara keluarga karena selalu menjadi bulan-bulanan ibu-ibu lain yang jengkel karena mereka mencari untung dari hancurnya masa depan generasi muda atau malahan masa depan para suami yang kecanduan arak. Diam-diam gerakan itu menemukan bentuk efektifnya, dengan tercetusnya ide sanksi sosial berupa pengucilan terhadap para penjual arak.
Perlahan namun pasti warung-warung berpikir dua kali untuk menyediakan minuman keras karena penurunan pembeli mulai terasa. Bahkan banyak Ibu-ibu yang tidak puas dengan hanya tidak membeli, mereka juga menegur teman atau tetangga yang masih saja belanja ke tempat-tempat yang menyediakan minuman penghilang akal sehat itu. Akibatnya orang yang akan belanja ke tempat itu berpikir dua kali karena malas berdebat dengan ibu-ibu yang menegurnya
Kekuatan gerakan itu semakin menakutkan para penjual minuman keras setelah sebuah pasar swalayan besar yang tadinya laris dijubeli pembeli, tiba-tiba menjadi sepi setelah pemiliknya terang-terangan menghina gerakan boikot penjual minuman keras. Hanya seminggu setelah penghinaan itu spanduk-spanduk boikot terhadap swalayan tersebut telah tersebar di seluruh sudut kota. Spanduk-spanduk tersebut dibiayai sendiri oleh para ibu-ibu yang marah atas arogansi pemilik swalayan. Akibatnya orang enggan bertandang ke swalayan tersebut karena takut dianggap sebagai pendukung musuh masyarakat.
Penduduk yang menyewakan tanahnya untuk dijadikan toko atau warung-pun kini mulai menolak penyewa yang akan menjual minuman keras. Swalayan terbesar di kota juga terpaksa menurunkan minuman keras dari rak-rak swalayan setelah Haji Hasan, sang pemilik tanah, mengancam akan memutuskan kontrak sewa bila swalayan itu nekad menjual minuman keras. Pak Johny Renato, pemilik belasan kios di pasar juga tak ragu memutus kontrak beberapa penyewa yang ngotot menjual minuman keras, meskipun dia harus mengembalikan seluruh uang sewa kepada mereka.
Efek bola salju penolakan terhadap minuman keras telah menyebabkan jumlah warung penjual minuman keras mulai menurun. Warung-warung mulai menolak kiriman botol-botol minuman keras dari para distributor walaupun keuntungannya menggiurkan. Namun Ibu-ibu belum puas, mereka ingin semakin banyak lagi warung yang menurunkan minuman keras dari rak-rak barang dagangan (undil, 27 Juni 2010)
Catatan: romo adalah panggilan untuk bapak dalam bahasa jawa
Gambar diambil dari: boston.com
(reaksi Djibril Cisse melihat temannya di kartu merah, piala dunia 2010 Afrika Selatan)