Dia hapal betul kebiasaan orang model Pak Wagu yang suka sekali nyinyir pada orang-orang yang berangkat Umroh, padahal merekalah yang
selama ini menjadi
tulang punggung kegiatan-kegiatan sosial di kampung, bukan gerombolan Pak Wagu
^_^
Suatu hari Romo Wage (Romo = panggilan untuk bapak dalam Bahasa Jawa) diajak berjalan-jalan oleh sahabatnya -- Romo Sunu -- untuk melihat-lihat kebun anggrek yang baru
saja dibangun Romo Sunu di tanah kosong di sebelah timur kampung. Tanah itu dibeli Romo Sunu setahun yang lalu,
dari sononya memang direncanakan untuk dijadikan kebun bunga buat memberi
lapangan kerja pada para pemuda kampung yang masih menganggur.
Namun tanpa disangka-sangka saat mereka sedang menikmati keindahan
warna-warni bunga dari deretan tanaman anggrek yang berjuntai di dalam rumah
kaca, tiba-tiba muncullah Pak Wagu
dengan segala komentarnya.
Mulanya Pak Wagu basa-basi mengajak ngobrol tentang bunga-bungaan,
lalu beralih topik tentang sulitnya mencari pekerjaan saat ini. Juga tentang
kemiskinan yang masih ada di wilayah kampung mereka. Belakangan tiba-tiba Pak Wagu menyindir Romo
Sunu yang baru saja pulang dari Umroh ke Mekah.
Mulanya dia memuji-muji tentang ibadah haji dan umroh
yang menyatukan umat Islam dari seluruh penjuru dunia. Tapi kemudian dia
mengatakan banyak hal yang lebih penting daripada sekedar kepuasan spiritual
seperti umroh. Menurut Pak Wagu, mengalokasikan uang umroh untuk membantu
orang-orang miskin akan jauh lebih baik daripada berangkat umroh ke Mekah. Kata Pak Wagu, kebahagiaan orang-orang miskin lebih penting daripada pergi ke Mekah.
‘Jadi begitulah Romo Sunu. Sebenarnya Anda lebih utama tidak berangkat umroh, tapi sumbangkan
saja uangnya untuk memberi sembako pada orang-orang yang kurang beruntung. Itu akan
jauh lebih bermanfaat buat sesama” kata Pak Wagu menceramahi dua orang sahabat
itu.
Romo Sunu hanya senyum-senyum kecil mendengar “ceramah”
Pak Wagu tersebut. Dia tidak bermaksud menjawab kata-kata tetangganya itu. Dibiarkannya
Pak Wagu sibuk dengan pendapatnya sendiri. Namun kediaman Romo Sunu itu membuat
Pak Wagu dongkol. Bagaimana mungkin saran sebaik itu tidak didengarkan oleh Romo
Sunu?. Pak Wagu sungguh merasa
berhadapan dengan orang yang berpikiran picik.
“Gimana Romo Sunu?
Benarkan kalo memberi sembako itu lebih bermanfaat daripada Umroh?” desak
Pak Wagu pada Romo Sunu.
Romo Sunu diam saja sambil tangannya bergerak meneliti
pot-pot anggrek yang tergantung berjajar rapi. Dia merasa tak perlu melayani
orang seperti Pak Wagu yang dari sononya pengen berdebat. Namun tidak demikian
dengan Romo Wage. Dia merasa Pak Wagu agak sedikit keterlaluan dengan
desakannya itu. Maka dia tak tahan untuk nimbrung bicara.
“Pak Wagu, itu uang punya Romo Sunu sendiri. Tentu dia
tahu bagaimana cara terbaik membelanjakan uangnya” ujar Romo Wage.
“Tahu cara belanjakan uang gimana? Orang dia malah sibuk
umroh bukannya membantu orang yang membutuhkan!” tangkis Pak Wagu.
“Dengar Pak Wagu! Siapa yang membangun rumah untuk orang-orang
jompo di dekat Kantor Lurah?. Siapa yang menggagas bea siswa untuk siswa-siswi
miskin di kampung kita? Siapa yang
menyumbang Ambulans untuk kelengkapan fasilitas masjid di kampung kita?. Itu semua adalah hal-hal bermanfaat
bagi sesama yang telah dilakukan Romo Sunu!” kata Romo Wage dengan nada tinggi.
Pak Wagu terdiam. Dia mengakui bahwa semua itu adalah
sumbangan dari Romo Sunu. Tak ada lagi anak putus sekolah di kampung ini karena
kurang biaya setelah Romo Sunu membuat yayasan untuk memberi bea siswa. Juga mobil
Ambulans gratis bagi seluruh warga kampung, lampu-lampu masjid yang diganti lampu
LED, tempat pengolahan sampah dan bahkan papan penunjuk jalan di kampung adalah
sumbangan dari Romo Sunu yang terkenal rajin mengetuk pintu-pintu tetangganya
untuk diajak Sholat Subuh berjamaah di Masjid itu.
“Nah sekarang bagaimana dengan dirimu Pak Wagu dan juga teman-temanmu
yang suka mengkritik kegiatan takmir masjid yang dianggapnya membuang-buang
uang itu. Pernahkan kalian melakukan
hal-hal bermanfaat bagi sesama seperti yang dilakukan Romo Sunu?”
Pak Wagu tambah diam lagi. Dirinya jadi malu sekali.
Selama ini dia tak pernah menyumbang sebesar yang dilakukan Romo Sunu. Dirinya jarang sekali mengeluarkan uang untuk
membantu panti jompo, apalagi ikut urunan membeli Ambulans. Demikian juga dengan teman-teman yang
sehaluan dengannya. Mereka jarang memberi sumbangan uang maupun tenaga untuk
kepentingan masyarakat banyak. Dia dan teman-temannya lebih suka membuat
diskusi untuk mengkritik cara-cara pembelanjaan uang oleh orang-orang seperti
Romo Sunu.
Romo Wage tersenyum melihat Pak Wagu kebingungan mencari
jawaban. Dia hapal betul dengan kebiasaan Pak Wagu dan teman-temannya yang lebih
suka berteriak-teriak mengkritik orang-orang yang menyisihkan uangnya untuk berangkat Umroh. Padahal orang-orang yang Umroh itu jugalah yang selama ini menjadi
tulang punggung kegiatan-kegiatan sosial di kampung. Sedangkan orang-orang yang
suka mencerca itu tak pernah melakukan apa-apa selain membuka pedebatan kusir
yang tak ada habis-habisnya (Undil-2012)