Nury Vittachi adalah seorang penulis kelahiran Srilanka tahun 1958. Nuryana menjadi jurnalis kenamaan dengan menggunakan nama Cina: Lai See dan sebagai pendongeng cerita anak-anak dengan nama Sam Jam. Kini Nuryana tinggal di Hong Kong dan buku-bukunya telah diterbitkan di Asia, Eropa, Amerika dan Australia. Dia juga mengajar menulis dan screenwriting (penulisan naskah untuk sinema) di Hong Kong.
^_^
Beginilah Cara Menjelaskan Perang di Gaza pada Anak Kecil
Nury Vittachi, Bangkok | Minggu, 01/18/2009 12:44 | Opini The Jakarta Post
Nury Vittachi
foto: birlinn.co.uk
Pada suatu ketika, ada sebuah keluarga yang disebut Pal. Mereka tinggal di sebuah rumah yang panas dan berdebu, tetapi mereka suka, dan telah tinggal di sana selama lebih dari 2000 tahun. Kemudian satu hari, mereka kedatangan beberapa pengunjung.
"Kami adalah Keluarga Izzy," kata kepala keluarga yang baru datang.
"Kami akan pindah ke sini"
"Apa?" tanya Keluarga Pal. "Kalian tidak boleh pindah ke sini"
"Ya, kami boleh," kata Izzy. "Orang-orang itu berkata kami boleh pindah ke sini" kata si pendatang baru sambil menunjuk ke sejumlah orang bersenjata lengkap yang mendampingi mereka. Nama mereka adalah Usa dan Uk.
"Hai," kata yang besar. "Saya di sini untuk memberitahu kalian bahwa Izzy dan keluarganya telah menderita trauma menyedihkan. Mereka membutuhkan rumah baru"
"Saya setuju," ujar Pal. "Tapi ini adalah rumah kami, dan ukurannya sangat kecil. Bagaimana jika kalian saja yang memberikan sebagian ruangan di rumah kalian untuk mereka? "
"Mereka ingin tinggal di sini, karena nenek moyang mereka tinggal di sini," kata Usa.
"Tetapi itu tidak adil," kata Keluarga Pal keberatan.
Terjadilah jalan buntu. Masyarakat luas dipanggil untuk mengadili. Keluarga Izzy mengatakan bahwa masalah dapat disimpulkan dalam sebuah pertanyaan sederhana:
"Apakah keluarga Izzy memiliki hak untuk hidup? Ya atau Tidak?"
Kemudian si raksasa Usa sangat menyetujuinya:
"Ya, kami menyatakan bahwa keluarga Izzy pasti memiliki hak untuk hidup"
"Tunggu dulu" kata salah seorang anggota Keluarga Pal.
"Persoalannya bukan Keluarga Izzy memiliki hak untuk hidup. Namun apakah mereka memiliki hak untuk hidup di rumah kami"
Usa tampak sangat terkejut.
"Keterlaluan! Kalian berkata Keluarga Izzy tidak memiliki hak untuk hidup? Kalau begitu otomatis kalian adalah Kelompok Teroris! Tukang Genocide!. Sekarang kalian dalam masalah besar!"
Anggota keluarga Pal tidak tahu apa yang bisa dilakukan. Mereka menyadari bahwa mereka perlu teman yang kuat juga. Mereka membawa perkara ke pengadilan. Ketua hakim adalah seseorang bernama Yuen, terkadang dilafalkan U.N.
Hakim Yuen berbicara ke banyak anggota masyarakat, termasuk Ms Asia, Perancis, dan sebagainya. Mereka semua sepakat apa yang dialami Keluarga Pal sangat tidak adil. Hakim Yuen mengeluarkan beberapa keputusan untuk membuat situasi lebih adil. Tetapi Keluarga Izzy mengabaikan keputusan itu, dan mereka didukung sepenuhnya oleh Usa.
Keluarga Izzy semakin besar, semakin kuat, semakin kokoh dan semakin kaya. Sementara Keluarga Pal semakin miskin dan semakin miskin. Tahun-tahun penuh ketidakadilan dan kesewenang-wenangan tidak dapat dielakkan. Salah satu anggota Keluarga Pal adalah seorang lelaki bernama Hamas. Dia tidak tahan lagi. Dia tidak mau tunduk dan mulai melawan.
Dalam pembalasan terhadap lelaki itu, Keluarga Izzy melakukan serentetan tindak kekerasan secara besar-besaran terhadap Keluarga Pal. "Tolong berhenti," ujar Keluarga Pal, setelah 900 anggota keluarga mereka terbunuh.
Hakim Yuen dan sebagian besar anggota masyarakat internasional juga menyerukan Izzy menghentikan serangan.
Tapi anggota yang paling kuat dari masyarakat internasional, yaitu Usa, berkata kepada Keluarga Izzy agar terus melanjutkan pembantaian. Usa berkata bahwa segala kejadian mengerikan yang terjadi pada Keluarga Pal adalah kesalahan mereka sendiri. "Keluarga Izzy memiliki hak untuk hidup," kata Usa. "Dan dia mempunyai hak untuk membela diri."
Kemudian mereka semua hidup dalam kondisi menyedihkan secara berkepanjangan.
^_^
Sebuah cerita sedih bukan? Hanya ada satu cara agar cerita ini memiliki akhir yang berbeda.
Pemerintahan baru U.S perlu mengingat kata-kata Abraham Lincoln, yang telah dilupakan oleh pemerintahan yang lama: "Satu-satunya cara untuk membinasakan musuhmu: Buatlah dia menjadi teman Anda" .
Nury Vittachi
Penulis adalah wartawan dan kolumnis.
diterjemahkan oleh undil dari the jakarta post
catatan:
USA: United States of America
UK: United Kingdom (Inggris)
U.N: United Nation (PBB)
How to Explain The War in Gaza to Small Children
Nury Vittachi , Bangkok | Sun, 01/18/2009 12:44 PM | Opinion
source: the jakarta post
Once upon a time, there was a family called Pal. They lived in a property which was hot and dusty, but they liked it, and had lived there for more than 2,000 years. Then one day, they had some visitors. “We are the Izzy family,” said the head of the new arrivals. “And we’re moving in.”
“What?” said the Pal family. “You can’t do that.” “Yes, we can,” said Izzy. “They said we could.” The newcomers pointed to some heavily armed “minders” who were accompanying them. Their names were Usa and Uk. “Hi,” said the biggest one. “I am here to tell you that Izzy and his family have suffered terrible trauma. They need a new home.”
“I sympathize,” said Pal. “But this is our home, and it’s very small. Why don’t you give them space in your homes?”
“They want to live here, because their ancestors lived here,” said Usa.
“But that’s not fair,” the Pal family objected.
There was an impasse. The wider community was called to adjudicate. The Izzy family said the issue could be boiled down to one simple question: “The Izzy family has a right to exist, yes or no?” The giant Usa agreed enthusiastically: “Yes, we declare that the Izzy family definitely has the right to exist.”
“Hang on,” said a member of the Pal family. “The issue is not whether the Izzy family has a right to exist. It’s whether they have the right to exist on our property.”
Usa looked deeply shocked. “Outrageous! You’re saying the Izzy family do not have the right to exist, so that automatically makes you a group of genocidal terrorists. Now you’re in trouble.”
The Pal family members were at a loss about what to do. They realized that they needed a powerful friend, too. They took the matter to court. The chief judge was a man named Yuen, sometimes spelt UN. Yuen talked to many members of the community, including Ms Asia, France and so on. They all agreed the situation was fundamentally unfair. Judge Yuen passed several edicts to make the situation fairer. But the Izzy family ignored these edicts, and were fully supported by Usa.
The Izzy family got bigger and stronger and tougher and richer. The Pal family got poorer and poorer. Years of unfairness and abuse resulted in the inevitable. One desperate, tormented member of the Pal family, a man named Hamas, couldn’t take it any more. He went off the rails and started to fight back. In retaliation, the Izzy family unleashed a massive wave of violence. “Please stop,” said the Pal family, after 900 members of their family had been killed.
Judge Yuen and most members of the international community called for the invasion to stop.
But the most powerful member, Usa, told the Izzy family to continue the slaughter, explaining that the horrible injuries to the Pal family were all their own fault. “The Izzy family has a right to exist,” Usa said. “And it has the right to defend itself.” And they all lived miserably ever after.
It’s a sad story, isn’t it? There’s just one way this tale can have a different ending.
The new US administration needs to remember the words of Abraham Lincoln, forgotten by the old US administration: “There’s only way to destroy your enemy: Make him your friend.”
The writer is columnist and journalist.