Saat tiba waktumu
Mengapa tak bertanya pada dirimu
Kemanakah kaki akan melangkah?
Di daratan mana kapalmu akan berlabuh?
Jangan mau jadi sampan tak berdayung
Terombang-ambing di pelayaran tak berujung
Aku sangat yakin pada dirimu teman
Tujuan hidupmu tentu telah kau tancapkan
Tegas dan pasti layaknya manusia sejati
Selamat ulang tahun teman
Doaku untuk masa depanmu
Cerita pendek ringan bernuansa psikologi dan manajemen untuk teman minum teh
Puisi Isyarat untukmu Kulukis di Langit Malam
Kulukis isyarat di langit malam
Besar dan Gagah
Jelas dan Nyata
Berbahan bintang-bintang
yang terang benderang
di atas tabir gelap malam
Berharap dirimu
nun jauh disana melihat
Lalu mengerti
Gambar diambil dari physics.unlfv.edu
Label:
puisi
Romo Wage berdebat dengan tukang presentasi
Romo Wage kesal bukan kepalang dengan tampilnya kembali Pak Wagu dengan konsep-konsepnya tentang pengelolaan sampah di kampungnya. Tidak tanggung-tanggung, Pak Wagu membawa infocus sendiri dari rumahnya untuk melakukan presentasi di ruang pertemuan milik kampung ini.
Pak Wagu sukses memukau para hadirin dengan presentasi yang berapi-api plus gambar-gambar menarik yang entah diambil dari mana. Konsep pengumpulan sampah di satu tempat untuk diolah dan didaur ulang itu benar-benar nampak realistis dan mudah diterapkan. Sayangnya semua konsep itu sudah disampaikan Pak Wagu sejak tiga tahun lalu.
Sebenarnya Romo Wage tidak keberatan dengan segala usul Pak Wagu, andai saja usul itu selanjutnya diterapkan. Entah sudah berapakali Pak Wagu melakukan presentasi tentang konsep pengelolaan sampah terpadu. Dari hari ke hari presentasi semakin menarik dan semakin membuat orang-orang terkesan.
Tapi sayangnya selama 3 tahun ini tak pernah nampak ada kemajuan. Yang ada hanyalah pembentukan tim peninjau yang tak juga nampak hasilnya. Sementara dengan semakin padatnya penduduk kampung, membuat orang mulai susah mencari tempat pembuangan sampah. Aroma busuk khas tumpukan sampah organik yang terlambat diangkut mulai mengganggu lingkungan sekitar. Belum lagi tikus-tikus raksasa dekil yang berbondong-bondong datang untuk berpesta pora di atas tumpukan sampah itu.
Tim peninjau sebenarnya bertugas untuk mencari lokasi yang paling tepat untuk mendirikan tempat pengelolaan sampah – tapi tak juga ketemu lokasi yang diinginkan. Yang terjadi adalah mereka berdebat tentang lokasi tempat pembuangan sampah yang ideal – dan setelah ketemu tempatnya harga sewanya terlalu mahal untuk dipikul dari hasil iuran penduduk kampung. Alhasil sampah di kampung tetap saja mengandalkan tukang sampah yang jumlahnya sangat terbatas dan hanya mampu mengangkut sampah dalam jumlah terbatas.
Nah di akhir presentasinya kali ini Pak Wagu kembali mengusulkan pembentukan Tim Peninjau dengan komposisi personel baru untuk menentukan lokasi pengolahan sampah terpadu. Namun kali ini Pak Wagu menambahkan dengan perlunya dibentuknya tim-tim lain untuk mendukung Tim Peninjau. Perlu ada Tim Perlengkapan untuk menentukan desain pengolahan sampah dan memilih alat-alat yang kelak akan dibeli.
Kemudian perlu Tim Operasional untuk membuat prosedur cara pengolahan sampah yag paling cocok diterapkan di kampung. Kemudian perlu Tim Lobby untuk melobby pemerintahan desa dan pemilik usaha atau toko-toko yang mau memberikan bantuan untuk mewujudkan tempat pengolahan sampah terpadu yang untuk bangunannya saja membutuhkan ratusan juta rupiah.
Diharapkan tim-tim tersebut setelah terbentuk segera melakukan meeting untuk selanjutnya kembali memberi presentasi pada warga kampung tentang konsep-konsep pengolahan sampah yang akan mereka ajukan.
Romo Wage benar-benar kesal dengan usulan pembentukan tim baru itu. Akhirnya dia tidak tahan lagi untuk terus berdiam diri. Segera setelah Pak Wagu selesai berpresentasi dan mendapatkan tepuk tangan meriah dari para warga kampung – Romo Wage bergegas mengacungkan tangan untuk minta waktu bicara.
“Saudara-saudara sekalian. Saya sangat menghargai semua konsep Pak Wagu tentang pengelolaan sampah terpadu. Sungguh sebuah ide brilian yang mungkin belum pernah ada satu orang-pun di daerah kita yang pernah melakukannya” kata Romo Wage
Hadirin bertepuk tangan dengan riuh pertanda setuju banget dengan pujian Romo Wage.
“Namun Bapak-bapak sekalian, usulan Pak Wagu baru bisa kita terapkan setelah semua tim itu sukses bekerja. Sedangkan tim yang pernah kita bentuk tiga tahun lalu saja belum bisa menghasilkan apa-apa. Dana ratusan juta yang kita butuhkan untuk membuat tempat pengolahan sampah terpadu itu – belum tentu dapat kita kumpulkan dalam jangka waktu lima tahun. Jadi intinya saya sangat mendukung presentasi Pak Wagu, tapi sebagai rencana jangka panjang kita. Untuk jangka pendek saya rasa perlu ada tindakan lain yang lebih aplikatif”
Hadirin tampak mulai ribut. Sebagian besar tampak menggeleng-geleng tidak setuju, sedang ada sebagian kecil yang mengangguk-angguk tanda setuju.
“Saya punya usulan sederhana saja untuk mengolah sampah. Pertama kita pisahkan sampah organik untuk diolah di lubang biopori yang akan kita buat di rumah masing-masing. Kemudian sampah berupa bungkus makanan yang terbuat dari plastik bisa kita kumpulkan ke rumah Pak Catur Wibisono yang sehari-hari berwirusaha sebagai pembuat aneka kerajinan tangan. Saya rasa beliau dalam waktu singkat dapat belajar membuat barang-barang dari bungkus plastik bekas itu. Dengan cara itu sampah yang harus diangkut tukang sampah jumlahnya jauh berkurang, sehingga tidak lagi menumpuk di depan rumah kita” kata Romo Wage
Hadirin nampak mulai tertarik dengan kata-kata Romo Wage. Sebagian mulai bertanya-tanya tentang lubang biopori, baik itu cara pembuatan maupun manfaatnya. Setelah dijelaskan oleh Romo Wage, nampaknya mereka mulai tertarik untuk mencobanya di rumah. Pak Catur Wibisono juga nampak setuju dengan usulan Romo Wage tentang pemanfaatan plastik bungkus bekas, sambil bercerita bahwa dirinya pernah mendapat kursus dari dinas tenaga kerja tentang cara membuat tas, dompet, karpet dan aneka barang dari plastik bekas kemasan makanan.
“Saya punya lima buah bor biopori di rumah saya. Siapa diantara Bapak-bapak yang mau saya ajari dan kemudian mengajari tetangga-tetangga yang lain untuk membuat lubang biopori?” tanya Romo Wage
Beberapa orang mengacungkan tangan pertanda bersedia menjadi sukarelawan yang akan mengajarkan cara pembuatan lubang biopori. Saat Romo Wage menawarkan siapa yang mau menjadi sukarelawan yang setiap minggu mengambil sampah plastik kemasan makanan dari rumah-rumah penduduk, beberapa pemuda anggota remaja masjid mengacungkan tangan. Maka Romo Wage merasa puas dengan tanggapan penduduk.
“Nah Bapak-bapak rencana jangka pendek kita untuk mengolah sampah sudah siap. Mulai besok pagi saya harapkan Bapak-bapak mulai mengingatkan seluruh anggota keluarga untuk memisahkan sampah plastik kemasan makanan untuk diambil pertugas setiap minggu. Terus Bapak-bapak bisa menghubungi para sukarelawan untuk mengajarkan cara membuat biopori di rumah. Saya rasa kalau Bapak-bapak mau membuat lubang biopori, masalah sampah organik yang berbau busuk akan segera kita atasi dalam sebulan mendatang” kata Romo Wage dengan lugas.
^_^
Persis dengan perkiraan Romo Wage, dalam jangka waktu sebulan masalah sampah organik telah teratasi dengan pembuatan belasan lubang biopori di setiap rumah penduduk. Sampah-sampah plastik bekas kemasan makanan diolah menjadi aneka barang kerajinan oleh Pak Catur Wibisono dengan melibatkan pemuda-pemuda kampung. Sampah-sampah lain tetap diambil secara rutin oleh tukang sampah, dan meskipun kadangkala baru diambil setelah beberapa hari tidak menimbulkan bau busuk karena sampah organiknya telah pisahkan untuk diolah di lubang biopori.
Usulan Pak Wagu tentang pembuatan tempat pengolahan sampah terpadu-pun dengan cepat dilupakan oleh penduduk kampung seiring lenyapnya bau-bauan sampah setelah adanya lubang biopori (Undil – Mei 2010).
Catatan: Romo adalah panggilan untuk bapak dalam bahasa jawa
Label:
cerpen
Subscribe to:
Posts (Atom)