Tragedi Kuliner Dua Jalan

Adalah dua buah jalan membentang sejajar dari utara ke selatan yang berjarak 50 meter. Jalan tersebut bernama Jalan Mendung Utara dan Jalan Mendung Selatan yang terletak di pinggir kota. Alkisah setelah dibukanya jalan tembus menuju perumahan padat penduduk di kawasan selatan kota, kedua jalan tersebut tumbuh menjadi pusat kuliner.

Mula-mula ada satu dua tukang pecel lele yang mendirikan tenda di tepi jalan yang masih berupa lahan kosong. Berikutnya disusul oleh tukang sate ayam dan tukang nasi goreng. Tak lama kemudian muncul para pedagang lain dan penduduk sekitar yang berlomba-lomba membuka warung makanan.

Jalan Mendung Utara maupun Jalan Mendung Selatan dalam waktu singkat menjadi ramai pengunjung di sore dan malam hari. Penduduk perumahan di kawasan selatan kota senang menikmati makan malam di dua jalan tersebut karena dekat dengan rumah mereka dan ketrampilan para tukang warung dalam meracik cita rasa makanan tidak kalah dari restoran-restoran di jantung kota.

Warung-warung di kedua ruas jalan tersebut sama larisnya dan sama tingkat perkembangannya sampai tiga tahun kemudian. Namun menginjak tahun keempat mulai terasa perbedaan. Jalan Mendung Selatan semakin lama semakin dipadati pengunjung, sementara warung-warung di Jalan Mendung Utara makin hari makin sepi pengunjung. Bahkan beberapa warung mulai gulung tikar karena besar pengeluaran dibanding pemasukan.

Mengapa?

Rupanya ada hal yang membedakan dari sisi kenyamanan pengunjung. Hal itu berpangkal dari kepedulian Ketua RW dan para pemuda kampung di tepi Jalan Mendung Selatan terhadap kondisi warung-warung kuliner yang ada di sana. Sementara Ketua RW maupun pemuda kampung di Jalan Mendung Utara tidak begitu memperhatikan perkembangan wisata kuliner di wilayahnya.

Ruri Ernanda, Sang Ketua RW sangat peduli dengan kondisi warung-warung tenda di Jalan Mendung Selatan. Dia bekerjasama dengan pemuda kampung berusaha keras menjaga keteraturan dan kenyamanan Jalan Mendung Selatan. Melalui tangan Junsu, si Ketua Pemuda Kampung, pihak RW mengendalikan sepenuhnya hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan di jalan itu. Misalnya warung-warung dilarang keras menjual wine dan makanan haram lainnya. Sampah tidak boleh dibuang sembarangan. Harga-harga makanan harus terpampang dengan jelas dan bila terbukti ada pedagang menipu pengunjung maka dia akan diusir dari jalan itu.

Junsu juga melarang pengamen beroperasi di Jalan Mendung Selatan karena dianggap mengganggu pengunjung warung. Walaupun belakangan Junsu melonggarkan peraturan dengan menyediakan titik-titik tertentu untuk dipergunakan pengamen beraksi menghibur pengunjung, tetapi mereka tetap dilarang berkeliling dari warung ke warung. Junsu juga mengerahkan pemuda kampung untuk secara rutin mengawasi tempat itu sehingga para preman dan wanita malam segan beroperasi di Jalan Mendung Selatan. Hasilnya Jalan Mendung Selatan merupakan tempat makan malam yang nyaman bagi para pengunjungnya.

Ketua RW secara rutin mengadakan pengajian mingguan untuk membina mental pedagang dan terus menerus mensosialisasikan perlunya mereka ikut menjaga keamanan dan kebersihan tempat mereka berdagang. Tak boleh ada kegiatan maksiat di tempat mereka berdagang, karena pada akhirnya akan merugikan mereka semua. Baik Ketua RW maupun Ketua Pemuda secara terus menerus menegaskan bahwa warga kampung sama sekali tidak akan memberi toleransi bagi pedagang yang sengaja melanggar aturan yang telah disepakati bersama. 

Selama tahun pertama saja sudah delapan pedagang yang diusir dari Jalan Mendung Selatan karena ketahuan menjual wine secara sembunyi-sembunyi. Pedagang gak bener ini rata-rata pindah ke Jalan Mendung Utara yang tidak peduli dengan aktifitas negatif para penjual makanan.

Di Jalan Mendung Utara kondisinya sangat kontras. Di jalan itu Ketua RW maupun pemuda kampung permisif terhadap segala sesuatu yang dilakukan pedagang maupun pengunjung. Wine dijual dengan bebas sehingga setelah lewat jam 10 malam, di jalan tersebut sering ditemui sekelompok pemuda mabuk yang terkadang memicu perkelahian. Akibatnya pengunjung enggan datang setelah lewat jam 10 malam.

Sampah yang bertebaran karena tidak ada yang merasa perlu menyediakan tempat sampah dan juga parkir semrawut yang sering membuat pengunjung jengkel karena tidak bisa mengeluarkan mobil yang terhalang mobil lain. Belum lagi pengamen yang berdatangan dalam jumlah luar biasa banyak. Dalam sekali duduk untuk makan, seorang pengunjung bisa didatangi kelompok pengamen yang berbeda sebanyak 10 kali, saking banyaknya pengamen. Sebagian pengunjung yang merasa terganggu enggan balik lagi untuk makan.

Sementara para pengamen di Jalan Mendung Selatan karena hanya boleh mengamen secara bergiliran di lokasi tertentu maka mereka tidak mengganggu pengunjung. Para pengamen mau tidak mau berusaha keras menarik perhatian pengunjung agar mampir ke tempat pengamenan agar mendapatkan uang. Akibatnya mereka melakukan berbagai macam cara, dari mulai membawa peralatan musik lengkap dari drum, gitar, biola & saxophon sampai melakukan atraksi-atraksi akrobatik untuk menarik orang datang. Tentu saja hal itu membuat para pengamen di Jalan Mendung Selatan benar-benar berusaha keras menyuguhkan perfoma sebaik mungkin untuk menghibur pengunjung.

Ternyata kepedulian Ketua RW dan para pemuda kampung membuat Jalan Mendung Selatan relatif bebas dari gangguan dan membuat para pengunjung merasa nyaman untuk datang hingga larut malam. Hal itulah yang membuat wisata kuliner di Jalan Mendung Selatan dapat bertahan dan terus berkembang.

Perkembangan pesat itu membuat banyak lapangan kerja tersedia bagi penduduk, baik sebagai pemilik warung, tukang masak, penjaga warung, pemasok bahan-bahan yang dibutuhkan warung hingga bisnis rumah kontrakan untuk pekerja warung. Tentu saja semua manfaat itu membuat penduduk kampung semakin sadar untuk terus mengawal Jalan Mendung Selatan agar tetap aman dan nyaman bagi pengunjung (undil – juni 2010)

0 komentar:

Post a Comment