Yachinta, Disiplin Diri dan Kemampuan Berkonsentrasi

Rana Admira duduk di sebuah bangku mungil di tengah salon milik ibunya. Matanya tak pernah berhenti menekuni buku pelajaran yang sedang dibacanya. Hilir mudik pengunjung salon yang datang silih berganti tak membuatnya terganggu. Suara-suara alat-alat potong rambut dan obrolan seru para pelanggan salon tidak membuatnya mengalihkan perhatian. Matanya tak pernah lepas dari buku pelajaran IPA yang kini tinggal beberapa halaman lagi selesai.



Yachinta Satrasmara sampai terheran-heran dengan kemampuan sepupu kecilnya itu menekuni buku pelajaran di tengah keramaian. Bagaimana mungkin adik kecil itu tidak terganggu oleh suasana belajar tidak menunjang di sekelilingnya. Duduk tenang, diam dan tak tergoyahkan!

Hiks! Sebuah kemampuan alami yang mengagumkan. Tak heran nilai-nilai raport anak itu juga sangat menawan. Dengan kemampuan berkonsentrasi seperti itu -- seandainya otak Rana tidak cemerlang-pun—Yachinta yakin nilai-nilai raportnya tetap akan menawan.

Kemudian Yachinta membandingkan dengan dirinya. Di tempat yang memang dari sononya dirancang untuk bekerja-pun dirinya susah berkonsentrasi. Di kantor dirinya sungguh susah untuk tidak teralihkan perhatiannya. Meja besar meeting, tamu-tamu dari bagian lain dan teman-teman kerja yang enak diajak ngobrol sungguh merupakan godaan yang tak terkira untuk konsentrasinya.

Bagaimana mungkin dirinya bisa membereskan kerjaan tepat waktu bila setiapkali baru beberapa lembar menyelesaikan dokumen langsung mulutnya tidak tahan untuk terjun dalam obrolan tak berujung dengan siapa saja yang sedang mengobrol di dekatnya, terutama bila salah satu pengobrol adalah Shizuka. Sang soulmate bagi Yachinta dalam urusan obrol mengobrol. Kalau di dekat Shizuka sungguh susah bagi Yachinta untuk tidak membuka mulut.

Andai dia bisa meminjam “kemampuan Rana” beberapa jam saja, niscaya pekerjaannya cepat beres. Kemampuan alami Rana untuk memusatkan perhatian akan sangat berguna di tempat kerja. Diam-diam diakuinya bahwa dirinya kalah jauh dari Rana yang baru kelas 4 SD dalam hal menahan diri. Anak itu baru “beredar” main dengan teman-temannya setelah PR selesai. Sementara dirinya sering membawa kerjaan ke rumah dan tidak diapa-apakan hingga hari besoknya masuk kerja lagi. Seolah-olah dengan membawa kerjaan ke rumah sudah “sah”, walaupun pekerjaan tersebut didiamkan saja.

Belum lagi buku-buku GMP dari perpustakaan yang harus dibacanya ternyata lebih sering diam menetap di dalam tas. Buku-buku itu setiap hari hilir mudik bersama dirinya dari rumah-kantor-rumah-kantor tetapi tak pernah dibaca hehehe!. Sementara belasan buku-buku menarik tentang biografi, komputer, IT dan manajemen telah dilalap habis. Duh duh Yachinta sedih banget melihat prioritasnya yang berantakan! Disadarinya Rana yang belum berumur 10 tahun lebih unggul dari Yachinta dalam soal mendisiplinkan diri.

Belajar dari perilaku Rana, akhirnya Yachinta menilai kembali kemampuannya dalam “mendisiplinkan diri“ sebelum bermimpi bisa meraih kemampuan berkonsentrasi. Di dalam dirinya ternyata dua hal itu berhubungan erat. Tanpa disiplin diri saat konsentrasinya pecah, Yachinta akan membiarkan konsentrasi terus pecah dan bahkan mengikuti keinginannya untuk berhenti kerja sejenak untuk mengobrol atau melakukan hal-hal lain yang lebih menarik.

Tanpa disiplin dirinya akan hanyut pada “godaan” dan menjauh dari pekerjaan yang harus diselesaikan atau buku-buku yang harus dibaca. Sebaliknya dengan disiplin diri Yachinta akan cepat kembali berkonsentrasi pada saat teralihkan oleh hal-hal lain. Dengan disiplin Yachinta tidak akan membiarkan kesukaan mengobrolnya akan mengganggu kemampuan dirinya menyelesaikan pekerjaan tepat waktu. Disiplin akan membuatnya menutup sebuah buku menarik tentang seorang tokoh IT untuk menyelesaikan sebuah buku GMP Guidance. Malu dong ama Rana kecil yang mampu meletakkan komik kesayangannya untuk menyelesaikan sebuah buku pelajaran (undil-2008)


Baca juga:
Yachinta, Meja besar dan Kemampuan Berkonsentrasi

0 komentar:

Post a Comment