KeNSHiN: Mencatat Reaksi Boss

Setelah setahun lebih pencatatan berjalan, pola reaksi boss semakin jelas terbaca, sehingga KeNSHiN dapat mengenali mana keputusan yang bisa diambilnya sendiri, dan keputusan mana yang akan ditangani si boss. Demikian juga dengan cara bossnya menganalisa dan mengambil keputusan, alurnya terlihat jelas dalam catatan-catatan yang dibuatnya. Genap satu setengah tahun kemudian-- KeNSHiN telah dapat memperkirakan langkah-langkah yang akan diambil bosnya dalam memecahkan sebuah masalah

.
^_^

Salah satu “kebiasaan buruk” Shinichi Kudo adalah suka menertawakan orang-orang yang menganggap dirinya paling pintar. Agaknya kebiasaan itu dengan cepat dikenali oleh Haibara-- terlihat setelah nimbrungnya seorang lelaki muda dalam percakapan mereka berdua.

Lelaki berkemeja rapi dan berkepala plontos tersebut memperkenalkan dirinya sebagai KeNSHiN, seorang Lulusan Biokimia yang berkarir sebagai supervisor produksi sebuah pabrik makanan ringan. KeNSHiN mengaku penasaran ingin nimbrung saat Shinichi dan Haibara mengobrol tentang supervisi di sepanjang perjalanan bis dari Bandung menuju Jogja. Baru setelah bis beristirahat di rumah makan, dia memberanikan diri untuk bergabung -- menikmati wedang jahe sambil menceritakan pengalamannya

Si gundul yang mengaku jagoan dalam belajar secara otodidak baik soal-soal teknis maupun soal manajerial di pekerjaannya dengan cepat membuat Shinichi gerah. Apalagi setelah anak itu membangga-banggakan kompetensi dirinya dan standar tinggi yang dipakai perusahaannya -- yang menurutnya jarang dimiliki perusahaan lain -- menerbitkan selera Shinichi untuk menertawakan. Andai saja Haibara tidak meletakkan jari telunjuk di bibirnya--sebagai tanda agar Shinichi menahan diri -- Shinichi akan mengatakan bahwa standar produksi di perusahaan Farmasi-Biotech-nya pasti tidak akan berada dibawah standar perusahaan KeNSHiN

^_^

Setelah puas dengan “prolog” yang menyebalkan Shinichi, mulailah KeNSHiN bercerita. Dia mengaku kurang beruntung karena memiliki atasan yang tak pernah memberi supervisi namun rajin menghakimi hasil kerjanya yang salah. Kadangkala bila dirinya menanyakan sesuatu, dijawab dengan jawaban yang membuatnya kesal.

Jawaban seperti” Kamu ini payah, kaya gitu saja kok ditanyakan?” atau “Dasar orang aneh, nanya juga aneh-aneh” membuat KeNSHiN naik darah—dan ujung-ujungnya frekuensi konsultasi dengan bossnya pun kurang intensif. “Kalau menyangkut hal-hal yang kurang penting, lebih baik aku belajar mengambil keputusan sendiri” ujarnya. Sebuah tindakan yang diakuinya tidak ideal bila diambil oleh yunior seperti dirinya.

Namun si pengagum Peter Drucker tersebut juga melakukan sesuatu untuk mengurangi dampak buruk dari “jarak” yang terbentuk dengan boss. Dicatatnya semua keputusan dan tindakan yang diambilnya dalam sebuah buku. Dicatatnya pula reaksi-reaksi boss terhadap langkah-langkah yang dia lakukan. Pada mulanya pencatatan seolah-olah tidak bermanfaat – karena jumlah keputusan yang mendapat teguran tetap masih banyak. Walaupun demikian, karena KeNSHiN selalu mencatat kejadian-kejadian yang mengiringi keputusannya, sedikit demi sedikit dia mulai mengenali pola reaksi atasannya.

Setelah setahun lebih berjalan, pola reaksi boss semakin jelas terbaca, sehingga KeNSHiN dapat mengenali mana keputusan yang bisa diambilnya sendiri, dan keputusan mana yang akan ditangani si boss. Demikian juga dengan cara bossnya menganalisa dan mengambil keputusan, alurnya terlihat jelas dalam catatan-catatan yang dibuatnya. Genap satu setengah tahun kemudian-- KeNSHiN telah dapat memperkirakan langkah-langkah yang akan diambil bosnya dalam memecahkan sebuah masalah. Dan karena KeNSHiN semakin memahami pola berpikir & bertindak si boss – tindakan-tindakan yang diambilnya pun semakin sesuai dengan gaya si boss -- buntutnya intensitas konflik di antara mereka pun jauh berkurang..

“Catatan telah memberiku peta situasi dan membantuku memilih tindakan yang tepat” kata KeNSHiN dengan meyakinkan. Serta merta Haibara menyambutnya dengan pujian atas kecerdikan KeNSHiN dalam mengatasi masalah komunikasi yang dihadapinya. Sedang Shinichi merasa menemukan “Seorang Covey-an” di dalam bis yang akan membawanya pulang ke kotanya.

Seiring memudarnya kesan “sombong” yang mula-mula ditangkapnya pada sosok KeNSHiN, Shinichi merasa harus berterimakasih pada Haibara yang mencegahnya menertawakan. Bila hal itu dilakukan, pastilah terjadi pertengkaran yang akan menghalangi Shinichi mengenalnya secara utuh. Juga pengalaman berharga-nya mungkin tak akan pernah didengarnya. Walau bisa saja KenSHiN sekedar beruntung hanya dengan pencatatan dapat menyelesaikan masalahnya – tapi setidaknya Shinichi mendapat wawasan baru.

^_^

“Tak semua sifat orang harus sesuai seleraku” gumam Shinichi lirih-- yang segera saja mengundang pertanyaan Haibara yang merasa tidak jelas menangkap kata-kata yang diucapkan Shinichi. “Ah nggak, aku gak berkata apa-apa kok” jawab Shinchi seraya tersenyum sambil meletakkan telunjuk di pelipisnya sebagai isyarat bahwa dirinya hanyalah mengucapkan dialog yang sedang terjadi dalam otaknya. Sebuah kebiasaan lain yang sering membingungkan teman-teman Shinichi.

jl. kalimantan 5 bandung








1 comment: