Cerita Kancil Mencuri Timun

Pagi-pagi buta Ki Wagenugraha, sastrawan besar sekaligus cendekiawan ilmu hayati ternama itu sedang menyepi keluar kota, duduk termenung di atas pematang sawah yang ditumbuhi rumput-rumput liar di pinggir-pinggirnya, dan aliran parit kecil mengalir di sisi kiri bawahnya. Ditatapnya kebun timun yang dipenuhi batang-batang tanaman ketimun yang berbuah lebat, bonggol-bonggol ketimun yang berwarna hijau bergelantungan. 

Tiang-tiang kecil yang dibuat dari belahan-belahan bambu dipasang bersilang di kanan-kiri setiap tanaman untuk menyangga timun-timun yang ukurannya telah membuat batang tanamannya terkulai karena beratnya beban. Barangkali jika tanaman ketimun bisa berkata-kata, maka dia akan berteriak-teriak dengan suara lantang kepada Pak Tani, atau bahkan meratap-ratap, mengemis agar timunnya segera dipanen untuk mengurangi beratnya beban yang dia tanggung.















Sejenak kemudian Ki Wagenugraha melihat seorang lelaki muda, umur belasan tahun memanggul cangkul, berjalan dengan langkah-langkah panjang yang  gesit, bergegas menuju kebun ketimun. Di bahunya duduk seorang anak sekitar umur tiga tahun memegang erat-erat leher si lelaki. 

Di belakang lelaki itu, sesosok makhluk berjalan dengan lari terseok-seok laksana ekor lelaki yang terkibas ke kiri dan ke kanan, tertatjh-tatih mengimbangi gerakan Si lelaki yang serba tangkas. Mulutnya terus terbuka dengan lidah terjulur, menghembuskan uap hangat yang terlihat begitu nyata di suasana pagi yang dingin ini, ekornya dikibas-kibaskan berkali-kali, bahkan terlihat begitu sering dikibaskan seolah ekor itu membantu mendayung langkah kakinya mengejar gerakan si lelaki yang nyaris tidak terkejar. duniashinichi.blogspot.com
 
Sekalipun tampangnya bodoh, dan penampilannya kurang meyakinkan, tapi tubuh anjing yang membuntuti lelaki itu tergolong besar, sebesar anak domba, dengan kaki-kaki yang kokoh, tulang-tulang yang menonjol terkesan kuat. Otot-ototnya yang gempal berisi, seakan gumpalan-gumpalan tanah liat yang ditempelkan pada tubuh yang terbuat dari rangka baja. Tubuh seekor anjing besar yang menakutkan. Gerakannya memang kaku, bodoh dan lamban, namun dia juga kokoh, kuat, berangasan, dan patuh, yang membuat anjing itu nampak sebagai pengawal yang ideal bagi lelaki yang nampaknya adalah petani pemilik kebun timun.


Petani itu berjongkok meletakkan anaknya di atas sebuah batu, lalu mulai bekerja. Dia mulai dari sisi barat kebun ketimun, bergerak ke sisi timur. Diperiksanya batang-batang bambu yang menyangga setiap tanaman. Setiapkali selesai memeriksa satu tanaman. dia berjalan jongkok, maju untuk melihat tanaman berikutnya. Jika ada belahan bambu yang kurang kuat tertancap ke tanah, dia akan menggunakan kedua tangannya untuk mendorongnya masuk ke tanah, terkadang dorongan itu dibantu dengan berat tubuhnya dengan cara dia mengangkat sedikit bahunya, mendekatkan kedua telapak tangannya yang menggenggam belahan bambu ke dadanya, kemudian mendorong belahan bambu ke tanah dengan tangannya dibantu oleh dorongan dari berat tubuhnya. Benar-benar seorang petani pekerja keras yang tidak mengenal gigitan dinginnya udara pagi.

Sementara Si Petani terus meneliti satu-persatu tanaman di kebunnya, si anjing duduk dengan setia membuntuti di belakangnya. Setiap kali si petani berhenti untuk memperbaiki bambu penyangga, si anjing ikut berhenti, dan duduk sambil mengamati tuannya bekerja. Anjing sebesar ini pastilah anjing gembala, yang mungkin sedang cuti dari mengawal domba-domba milik Pak Tani, atau dia sedang mendapat tugas khusus untuk mendampingi Pak Tani menengok kebunnya. Yang jelas anjing itu nampak waspada melihat ke sekeliling. Sebentar-sebentar matanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Seolah-olah dia adalah radar yang setiap saat langsung memberi tahu tuannya jika ada benda-benda mencurigakan di sekeliling mereka yang bisa membahayakan anak petani. 

Jika Si Petani menemui belahan bambu yang telah patah, maka dia mencabut dari tanah, melemparnya ke belakang, dan menggantinya dengan belahan bambu baru. Lalu si anjing akan dengan gerakannya yang lamban memungut belahan bambu patah yang dilempar tersebut dengan mulutnya, berlari menuju pojok kebun ketimun dimana terdapat sebuah jugangan, lubang pembuangan sampah. Anjing itu membuang patahan bambu ke sana. Setelah selesai dia segera kembali mendekat ke tuannya, dan siaga memungut setiap patahan bambu yang dilempar tuannya, untuk dibuang ke dalam jugangan. 

Ki Wagenugraha mengangguk-angguk melihat kesetiaan anjing gembala. Dia juga bangga dengan ketangkasan si Petani muda. Tak ada yang perlu dikhawatirkan bagi persediaan makanan tahun depan bagi kampung di tepi hutan ini jika semua petani seperti lelaki muda itu. Mata Ki Wagenugraha memeriksa ladang-ladang di sekitar kebun ketimun yang juga nampak menghijau oleh tanaman jagung yang tumbuh dengan suburnya. Pertanda tanah yang subur bertemu dengan tangan-tangan trampil yang bekerja keras, dan tentu saja rahmat Allah berupa hujan yang mendatangkan kesuburan di sana-sini. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada seekor binatang yang nampak berjalan tanpa peduli mendekati kebun ketimun.

Binatang berkulit warna kecoklatan itu bermuka cerdik, kepalanya dengan waspada menengok ke sekeliling, memeriksa setiap kemungkinan bahaya yang perlu diwaspadai. Sesekali dia mengendus-endus tanaman yang dilewatinya.  Ukuran tubuhnya tidak lebih besar dari kelinci, kakinya ramping ditumbuhi bulu halus dadanya putih mulus, tengkuknya ditumbuhi bulu keabu-abuan. Wajahnya terlihat murung, namun terkesan halus dan cerdik. Binatang itu menengok sebentar ke dalam kebun ketimun, dan melanjutkan langkah kakinya. 

Rupanya dia tidak begitu tertarik untuk makan ketimun. Dia lebih tertarik berhenti sebentar di pematang untuk menyantap pucuk-pucuk tanaman kangkung yang tumbuh menjalar di parit. Sesekali dia berhenti untuk memakan rumput-rumputan yang tumbuh di pinggiran pematang. Si Anjing juga hanya sebentar melihat binatang itu, dan sepertinya sudah biasa melihatnya, serta menganggapnya bukan ancaman. Mungkin karena binatang itu dianggap terlalu lemah untuk bisa membahayakan anak petani, dan juga bukan ancaman bagi kebun Pak Tani, karena dia tidak doyan ketimun

Segera saja Ki Wagenugraha mengenalinya sebagai Kancil. Binatang kecil, lemah dan suka pilih-pilih makanan, yang akhir-akhir ini sering diburu oleh penduduk kampung, sehingga jumlahnya di hutan telah jauh berkurang. Wagenugraha merasa iba dengan Kancil yang dengan polosnya berjalan-jalan di area persawahan -- tanpa menyadari bahwa dirinya setiap saat bisa ditangkap penduduk. Tiba-tiba Ki Wagenugraha merasa dirinya perlu mengarang sebuah dongeng untuk membuat masyarakat menggemari Sang Kancil, menggandrungi Kancil, sehingga mengurangi minat mereka untuk memburunya.

Selama ini Ki Wagenugraha telah menghasilkan karya-karya bidang ilmu hayati, dan sastra. Buku-bukunya menjadi koleksi favorit perpustakaan pribadi para saudagar dan bangsawan di seantero negeri, yang sekaligus membuatnya menjadi seorang cendekiawan yang kaya raya karena harga buku-bukunya setara dengan harga kuda-kuda terbaik yang ada di kesultanan. Untuk menyalin sebuah buku dibutuhkan waktu berminggu-minggu, biasanya Ki Wagenugraha membayar seorang juru tulis untuk menyalin buku sesuai pesanan. Jika sedang banyak pesanan buku, maka beberapa juru tulis dipekerjakan oleh Ki Wagenugraha. Tentu saja para juru tulis itu bukan orang sembarangan, mereka rata-rata cendekiawan muda yang keilmuannya sudah diakui secara luas sehingga mengurangi peluang kesalahan penyalinan.

Kini Ki Wagenugraha merasa berkewajiban untuk membaktikan ilmunya untuk menyelamatkan binatang lemah seperti Kancil yang hampir punah ini. Dia akan membuatnya karyanya dalam bentuk dongeng lisan yang dituturkan dari satu orang ke orang lainnya, sehingga tidak membutuhkan kertas yang harganya sangat mahal karena harus diimpor dari negeri China dan Arab. 

^_^

Maka dengan berbekal sifat-sifat tiga tokoh yang telah diamatinya, yaitu Pak Tani yang rajin, Anjing setia yang bodoh, dan Kancil yang bermuka cerdik, dikarangnya sebuah cerita tentang Sang Kancil mencuri ketimun. Sebuah cerita tentang Pak Tani yang bekerja keras menanami kebun ketimunnya hingga  buahnya melimpah, tetapi mendapati timunnya sering dicuri binatang hutan. Pak Tani memasang perangkap orang-orangan sawah yang telah dilumuri getah nangka yang lengket. Si pencuri tertangkap, dan ternyata adalah Sang Kancil. Pak Tani mengurung Kancil di dalam kandang ayam, sebelum akan disembelih keesokan harinya. 

Namun rencana Pak Tani berantakan, karena Anjingnya yang bodoh telah dengan sukarela menggantikan posisi Sang Kancil di dalam kandang karena tergiur iming-iming hadiah, sementara Sang Kancil yang cerdik berhasil meloloskan diri. Ki Wagenugraha menutup cerita itu dengan narasi bahwa Sang Kancil  akhirnya insyaf akan kenakalannya dan datang kembali ke tempat Pak Tani sambil membawa hadiah berupa tanaman teh yang didapat dari hutan. Sejak saat itu Pak Tani beralih dari petani sederhana yang menanam ketimun dan jagung, menjadi petani penanam teh, dan kelak menjadi petani kaya raya yang memiliki kebun teh yang luas.

Seperti harapan Ki Wagenugraha. Setelah dongeng kancil tersebar luas di masyarakat, penduduk kampung pinggir hutan berhenti berburu Kancil. Pasalnya  setiapkali mereka membawa kancil hasil buruannya ke rumah, selalu diprotes oleh anak-anaknya yang telah mendengar dongeng tentang kecerdikan Sang Kancil. Anak-anak merasa sayang pada tokoh Sang Kancil yang cerdik, dan tidak mau orangtuanya memburu tokoh kesayangan mereka. Para orangtua tidak keberatan berhenti berburu Kancil, karena mereka tidak mau bertengkar dengan anak-anak mereka hanya demi daging kancil yang jumlahnya tidak seberapa banyak (Undil-April 2014).   

Gambar diambil dari .picassopictures

0 komentar:

Post a Comment