Shinobu : Benarkah kebenaran bersifat relatif ?

Tiba-tiba Shinobu memasukkan kulit kacang ke gelas Matachi yang membuat si gondrong itu kaget.

“Apa-apaan ini” katanya sambil buru-buru menarik gelasnya.

Shinobu menjawabnya dengan mengatakan bahwa dia hanyalah melakukan sesuatu yang menurutnya baik. Alhasil muka Matachi merah padam --- karena pendapat bahwa moral bersifat relatif karena merupakan buatan manusia adalah pendapat yang selama ini dibelanya mati-matian dari serangan Shinobu dan kawan-kawannya. Menurut Matachi perbuatan buruk atau baik sebenarnya tidak ada. Yang ada adalah manusia memberi nilai-nilai pada suatu perbuatan yang kemudian melahirkan label apakah suatu perbuatan itu dianggap buruk atau baik.


“Relatif sih relatif. Tapi tak boleh merugikan orang lain” kata Matachi membela diri.

“Emangnya kalo kau jalan ke kamar mandi lewat depan kamarku hanya pake celana kolor dan berkalung handuk itu tidak merugikan aku. Mengganggu pemandangan tahu!” bantah Shinobu dengan muka pura-pura serius.

Diam-diam Shininichi menahan tawa melihat Matachi gelagapan tak bisa menjawab. Pastilah jagoan main drum itu menyadari bahwa bila dirinya menjawab akan segera ditangkis dengan pernyataan bahwa moral tanpa-fitrah batasannya tidak jelas, demikian juga dengan batasan merugikan orang lain. Mana yang baik, mana yang buruk akhirnya tergantung selera saja. Jadi ya jangan salahkan Shinobu bila menganggap memasukkan kulit kacang kedalam gelas adalah perbuatan mulia

Shinichi Kudo memutuskan untuk nimbrung dengan mengambil bantal Matachi, dan berpura-pura akan memakainya untuk alas duduk.
“Hey, bantal buat kepala! Bukan buat duduk. Mana kesiniin. Sini berikan padaku!” teriak Matachi sambil merebut bantalnya dari Shinichi.

Shinichi tertawa lalu mengatakan bahwa bantal itu multiguna, bisa buat kepala, bisa juga buat pantat atau bahkan buat alas kaki. Tapi yang terbaik, peruntukan bantal adalah alas kepala. Fitrah bantal adalah untuk kepala. Namun hal itu tak berlaku bagi Matachi. Seharusnya dia nggak usah peduli. Mau bantal untuk kepala, untuk pantat atau untuk kaki sama saja. Toh dia tidak percaya adanya fitrah yang harus digapai manusia, ngapain juga dia malahan percaya adanya fitrah untuk bantal.

Giliran Hiawata yang sedari tadi asyik membaca ikut beraksi. Digulungnya majalah yang baru saja selesai dibaca, dan digunakannya untuk memukul-mukul beberapa ekor lalat yang nyelonong masuk ke kamar.

“Aduh, majalah itu belum kubaca!. Kalo mukul lalat jangan pakai majalah, pakai sapu itu” katanya sambil menunjuk sapu lidi kecil yang digantung di dinding kamar.

Seperti dua orang temannya --- Hiawata mengatakan seharusnya Matachi tidak protes. Karena selama ini dia suka menertawakan orang-orang yang memprotes arena perjudian di tempat-tempat umum yang dianggapnya perbuatan memaksakan kehendak --- baginya setiap manusia bebas melakukan apa saja sesuai keyakinannya. Namun mengapa Matachi protes hanya karena majalah yang tidak digunakan pada tempatnya?. Apakah majalah lebih mulia dibanding manusia, sehingga lebih pantas untuk dijaga keutuhannya dengan memperlakukan benda mati itu sesuai tujuan penciptaannya.

^_^

Sabtu siang itu benar-benar hari yang buruk, namun mungkin juga awal renaissance bagi Matachi yang kalah telak dalam perdebatan. Tetangga sebelah Shinobu tersebut akhirnya memutuskan mengakhiri perdebatan. Limabelas menit kemudian terdengar gelak tawa keempatnya yang tengah menonton serial Adrian Monk, si detektif pengidap segudang phobia, tapi kemampuannya dalam memecahkan kasus secanggih Sherlock Holmes.

1 comment:

  1. Baik tidak sama dengan benar. Kk bisakah kau jelaskan padaku apa tujuan penciptaan manusia, trus apa pula fitrahnya? Kan Kk baru jelaskan fitrahnya bantal...teruskan dong...hehe request.... :P (aryanty@gmail.com)

    ReplyDelete