Men and Train’s Sliding Doors



Shinichi Kudo buru-buru naik ke Kereta Turangga karena waktu telah menunjukkan pukul 18.25, lima menit sebelum jadwal kereta berangkat ke Jogja. Di luar dugaan hanya satu baris di deretan depan Shinichi, seorang temannya juga tengah perjalanan mudik ke rumahnya di belahan timur pulau Jawa.

Setelah beberapa lama kereta berjalan Shinichi menyapa temannya yang sedang asyik membaca The 7 Habbits-nya Covey, buku yang pernah dibacanya sekian tahun silam saat masih kuliah. Segera saja mereka terlibat dalam obrolan yang seru mulai dari kereta yang sering dinaiki, tempat kost, perubahan-perubahan yang terjadi selama ini, cerita saat masing-masing masih kuliah hingga cerita saat main ke Bogor beberapa tahun yang lalu.


Sambil mengobrol Shinichi mengamati pintu geser kereta api yang memisahkan antar gerbong. Pintu otomatis itu telah rusak, sehingga penumpang yang hendak melintas ke gerbong berikutnya atau hendak ke kamar kecil harus membuka dan menutupnya secara manual. Pintu itu perlu ditutup karena sambungan antar gerbong bersuara sangat gaduh sehingga sangat mengganggu penumpang yang berada di dalam gerbong. Ditambah lagi ruang itu sering digunakan sebagai smoking area, sehingga jika pintu tidak ditutup, asap rokok akan menerjang masuk ke ruang gerbong penumpang yang ber-AC. Namun tidak semua penumpang yang melewati pintu menutup kembali pintu itu. Akibatnya suara gaduh dari gesekan sambungan sesekali masuk ke ruang penumpang.

Mengapa tidak semua penumpang menutup kembali pintu geser kereta api?

Setidaknya hal itu berkaitan dengan tiga tipe orang yang melewati pintu kereta. Tiga tipe orang yang mengingatkan Shinichi pada tiga tipe manager yang memimpin sebuah unit perusahaan.


Orang yang menutup pintu adalah orang yang sadar bahwa suara-suara gaduh dari sambungan kereta akan mengganggu penumpang dalam gerbong. Dia sadar betul bahwa orang naik kereta bukan hanya butuh sampai ke tempat tujuan dengan selamat, tetapi juga butuh kenyamanan dan ketentraman. Penumpang tipe ini mewakili manajer tipe-1, yaitu manajer yang menyadari bahwa unit yang dipimpinnya bukan hanya bertujuan mengejar tercapainya target, tetapi juga memperhatikan kenyamanan para pekerjanya.

Manajer tipe-1 sangat memperhatikan perkembangan skill, kompetensi, karir dan juga penghasilan pekerjanya. Dia tidak ragu-ragu bernegosiasi dengan dewan direksi untuk kemajuan bawahannya sebagai kompensasi kenaikan target yang dituntut perusahaan.


Penumpang tipe-2 adalah penumpang yang tahu bahwa suara gemuruh akan mengganggu penumpang lain namun dia tidak tergerak untuk menutup pintu. Penyebabnya adalah antara pengetahuan dan tindakan ada sebuah jarak. Mungkin penumpang itu menganggap suara gemuruh adalah gangguan yang wajar bagi orang yang sedang dalam perjalanan. Atau buat dia suara gemuruh tidak mengganggu sehingga pintu tidak perlu ditutup. Atau dia beranggapan bahwa menutup pintu adalah tugas para petugas kereta api dan dirinya terlepas dari tanggung jawab itu.


Penumpang tipe ini mewakili manajer tipe-2, yaitu manajer yang menyadari bahwa kebutuhan unit perusahaan bukan hanya tercapainya target produksi. Namun dia beranggapan bahwa hal-hal seperti skill, kompetensi, karir dan penghasilan karyawan diluar tanggung jawabnya. Atau dia tidak menyadari bahwa dirinya bisa mengambil peran kunci dalam perkembangan skil, dan kompetensi karyawan dengan melibatkan karyawan pada berbagai pekerjaan penting dan memberi pelatihan. Atau dia tidak “ngeh” bahwa dirinya bisa mengembangkan karir dan penghasilan keryawan dengan membangun sistem yang mendukung semua karyawan untuk maju tanpa tergantung pada sistem yang dibangun perusahaan. Terutama bila sistem perusahaan belum berkembang dengan baik.


Penumpang tipe-3 tidak menutup pintu kereta karena dia tidak tahu bahwa suara gemuruh yang masuk ke gerbong penumpang berasal dari pintu yang tidak tertutup. Penumpang tipe ini membutuhkan papan peringatan bahwa pintu harus ditutup kembali. Manajer tipe-3 membutuhkan bimbingan agar menyadari bahwa kebutuhan sebuah unit usaha bukan hanya tercapainya target tetapi juga perkembangan karyawannya.

Manajer tipe ini hanya tahu bahwa urusannya sebagai manajer adalah mencapai target yang telah ditetapkan perusahaan, tanpa tahu bahwa perkembangan anak buahnya adalah juga urusannya sebagai seorang manajer.


^_^

Di dalam sebuah perusahaan yang telah memiliki sistem penggajian, pelatihan dan pengembangan karir yang bagus mungkin perbedaan antara manajer tipe-1 , tipe-2 dan tipe-3 tidak begitu kelihatan. Namun pada perusahaan yang belum membangun sistem yang baik, perbedaan antara manajer tipe-1 dengan tipe-2 & 3 akan sangat mencolok. Akan terbentuk “jurang yang dalam” antara perkembangan kompetensi, karir dan penghasilan para pekerja dibawah manajer tipe-1 dengan para pekerja dibawah manajer tipe-2 & 3.

Pekerja dibawah manajer tipe-1 akan menikmati karir dan penghasilan yang lebih baik sebagai akibat ketrampilan manajer tipe-1 dalam membangun sistem karir dan renumerasi yang baik di unitnya. Sementara unit-unit lain yang semata-mata “bergantung” pada sistem perusahaan akan “tertinggal di landasan”.


Cepat atau lambat hal itu akan menumbuhkan iklim ketidakpuasan terhadap manajer tipe-2 dan 3 yang akan menggerogoti wibawa mereka. Pada gilirannya ketidakpuasan juga akan merambat kepada pucuk pimpinan perusahaan yang dianggap tidak adil dalam memperlakukan karyawan. Selanjutnya secara alami hal itu akan menimbulkan demotivasi pada unit-unit yang dipimpin manajer tipe-1 dan tipe-2 yang berujung pada kinerja perusahaan yang perlahan-lahan akan menurun. Solusi ideal adalah dengan membangun sistem pelatihan, pengembangan karir dan penggajian yang baik di perusahaan. Solusi pragmatis adalah dengan mengembangkan kemampuan para manajer (nae)


2 comments:

  1. hehhehh... kalo di Indonesia mah gak perlu geser2 pintu di KA lagi, lha pintunya udah gak ada :P

    menarik banget deskripsinya

    ReplyDelete
  2. yg turangga ini msh ada dong walo ada yg macet

    ReplyDelete