“Kalian mau kemana?” tanya Atika
“Aku dan Dini mau sekolah”
Atika tertegun mendengar jawaban Dyah. Sekolah bukanlah kata-kata baru baginya. Di belakang Balai Desa Brosot terdapat satu sekolah rakjat yang konon telah berdiri sejak jaman normal, saat pemerintahan Hindia Belanda masih berkuasa. Biasanya anak-anak yang lebih besar dari Atika yang bersekolah di sana.
Dulu Atika berpikir sekolah itu bukan untuk dirinya dan teman-temannya. Dikiranya sekolah hanya untuk anak-anak yang ingin belajar menyanyi dan suka baris berbaris. Karena sering dilihatnya anak-anak sekolah pada latihan baris berbaris di lapangan. Jika dia lewat di dekat sekolah sering terdengar mereka sedang menyanyi bersama-sama dengan suara keras. Dia sendiri tidak tahu arti lagu yang mereka nyanyikan.
More we are together, together, together
More we are together, the happier will be
(sumber: idesign.com)
“Apa kalian sekolah karena ingin belajar menyanyi?” tanya Atika pada kedua temannya
“Iyah, aku ingin bisa menyanyi seperti sepupuku yang sudah sekolah sejak setahun yang lalu. Dia hapal banyak sekali lagu yang bagus-bagus” jawab Dyah
Lalu Dyah bercerita bahwa Ayah dari sepupunya itulah yang menyuruhnya bersekolah. Sebenarnya Si Paman yang bekerja di Kantor Residen di Wates itu berniat mengantar Dyah mendaftar sekolah. Namun karena sejak minggu lalu terjadi banjir besar di sana, maka Paman harus menjaga rumahnya. Lagipula Paman pasti kesulitan mendapatkan Andong untuk membawanya ke sini. Terpaksalah Paman membatalkan niatnya untuk mengantar dirinya ke sekolah.
Untungnya sewaktu berkunjung ke rumah Dyah bulan lalu, Paman sempat membuat surat pengantar untuk dibawa Dyah saat pergi ke sekolah. Rupanya surat itu sengaja dibuat Paman untuk jaga-jaga jika dirinya berhalangan datang untuk menemani Dyah.
“Surat itu apa? Apa dia bisa bicara seperti manusia? ” tanya Atika dengan kening berkerut karena heran Paman Dyah bisa diwakili oleh sebuah benda bernama surat.
“Aku juga gak tahu. Katanya dia itu bisa bicara, tapi tidak terdengar suaranya dan anehnya orang yang diajak bicara bisa mengerti!” jawab Dyah sambil menunjukkan sepucuk surat yang terbungkus rapi dalam amplop
Atika tambah terheran-heran mendengar jawaban Dyah. Kertas itu tidak bisa bersuara tapi orang yang diajak bicara bisa mengerti?. Kok aneh yah?. Tiba-tiba saja Atika teringat pada ikan-ikan yang ada di kolamnya. Mereka juga tidak pernah bersuara, tetapi selalu kemana-mana bergerombol seperti sedang mengobrol. Mungkin surat itu berbicara seperti ikan, tidak terdengar suaranya tapi bisa dimengerti.
“Kata Paman kalau ingin bisa bicara dengan surat, kita harus sekolah” lanjut Dyah.
Mendengar penjelasan itu Atika jadi ingin ikut pergi ke sekolah. Ada apa saja di sana? Apa saja yang diajarkan sehingga mereka bisa bicara dengan surat?. Maka pagi itu Atika sambil bernyanyi-nyanyi riang membuntuti dua temannya berangkat ke sekolah.
Bebek adus kali
Kosokan sabun wangi
Bapak mundhut roti
Cah ayu diparingi
^_^
Ketika dua temannya masuk ke halaman sekolah, Atika tanpa ragu membuntuti di belakangnya. Saat keduanya masuk ke bangunan sekolah, Atika diam menunggu di luar. Semenit, dua menit, tiga menit hingga setengah jam mereka tidak juga keluar dari bangunan sekolah. Atika penasaran. Didekatinya pintu bangunan sekolah, lalu pelan-pelan dijulurkan kepalanya untuk melihat isi bangunan lewat pintu yang tidak tertutup.
Dilihatnya ruangan penuh dengan anak-anak yang sedikit lebih besar dari dirinya. Sebagian besar laki-laki, ada beberapa perempuan. Diantara mereka terdapat Dyah dan Dini yang duduk di bangku paling depan. Tangannya anak-anak itu terlipat rapi di atas meja, asyik mendengarkan seorang perempuan muda yang tengah bercerita. Cerita tentang Abunawas dan Raja Harun Al Rasyid. Satu tokoh dongeng favorit Atika yang sering didengarnya dari kakeknya bila beliau berkunjung ke rumah Atika.
Diam-diam Atika melangkahkan kaki memasuki ke ruangan. Kemudian berdiri di depan pintu sambil mendengarkan cerita perempuan muda itu. Tak terasa setengah jam berlalu kala perempuan itu selesai bercerita. Tiba-tiba pandangan matanya mengarah ke Atika.
Atika terkejut dipandangi oleh perempuan itu. Tapi kemudian dia tersenyum dan menganggukkan kepala tanda hormat pada orang yang lebih tua — seperti yang diajarkan ibunya. Perempuan itu mendekati Atika dan mulai bertanya
“Siapa namamu?”
“Atika Diandra Puspadewi”
“Berapa umurmu?”
Atika diam. Dia tidak tahu berapa umur dirinya. Tapi kata Ibunya dirinya dilahirkan pada tahun yang sama dengan Anggraini anak Pak Mantri. Kemarin Anggra mengundang dia dan teman-temannya untuk syukuran ulang tahunnya yang kelima. Jadi umurnya pasti juga lima tahun.
“Lima tahun Bu” jawab Atika dengan tangkas
“Panggil saja saya Ibu Guru” kata perempuan itu.
Kemudian Ibu Guru itu menyuruh Atika memegang telinga kiri dengan tangan kanannya dengan melewati bagian atas kepala. Ternyata tangan Atika belum cukup panjang untuk menyentuh telinga. Walaupun sudah dipaksakan, tak juga bisa menyentuh telinga. Tes sederhana ini biasa digunakan untuk mengetes kelayakan umur seorang anak untuk masuk sekolah. Namun hal itu nampaknya tidak dipermasalahkan oleh Ibu Guru. Perempuan dengan rambut berkepang dua itu malahan tersenyum, lalu bertanya pada Atika
“Kamu mau sekolah?”
“Mau Ibu Guru” jawab Atika dengan riang.
Ibu Guru mengambil sebuah buku besar, kemudian mengajukan serangkaian pertanyaan pada Atika.
“Kamu lahir tanggal berapa?”
Atika menggelengkan kepalanya. Tanggal dan tahun adalah dua hal yang tak pernah diperhatikan oleh dirinya. Dirinya hanya tahu jika Adik Bapak yang bekerja di Dinas Pengairan di kota sering berkata ada tanggal muda dan tanggal tua. Kalau tanggal muda berarti banyak uang, namun kalau tanggal tua berarti saatnya berhemat atau berhutang beras pada Ibu Atika.
“Tadi kamu bilang umurmu 5 tahun. Hmmm berarti kamu lahir tahun 1947. Tanggalnya...emmm 1 Januari saja biar mudah diingat. Nah, mulai sekarang Atika, kalau ada orang bertanya tentang tanggal lahirmu, jawabannya adalah 1 Januari 1947” kata Ibu Guru sambil tersenyum.
“Siapa nama Bapakmu?”
“Pak Harjo” jawab Atika karena dirinya ingat nama itulah yang dipakai tetangga-tetangganya untuk memanggil bapaknya. Ibunya memanggil Bapaknya dengan nama Mas Har. Tapi Atika berpikir kalau nama bapaknya tentu bukan Har saja, tapi Harjo. Dulu ada juga tetangganya yang memanggil dengan nama Harjo Blantik. Blantik adalah sebutan untuk tukang jual beli hewan seperti sapi dan kerbau. Karena bapaknya sudah lama tidak lagi jual beli hewan, maka Atika menganggap tambahan blantik itu juga ikut hilang. Jadi nama Bapaknya cukup Harjo saja.
“Siapa nama Ibumu”
Atika kaget. Dia tidak pernah tahu nama Ibunya. Yang dia tahu, tetangga-tetangganya memanggil ibunya dengan nama Bu Harjo. Tapi Atika ingat Bapaknya Dyah bernama Kardiman, lalu Ibunya dipanggil Bu Kardiman, istrinya Pak Mantri dipanggil Bu Mantri, jadi nama yang dimaksud Ibu Guru pastilah bukan nama yang itu. Pastilah ada nama lain yang dipakai ibunya.
Kemudian Atika mencoba mengingat-ingat nama panggilan Ibunya. Bapaknya selalu memanggil ibunya dengan panggilan Neng. Nenek memanggil Ibunya dengan Neng Fat.Pamannya memanggil dengan panggilan Mbak Fat. Sementara Bu Lilik tetangganya, memanggil dengan nama Mbak Fatim.
Atika berpikir keras mencari-cari nama Ibunya sampai akhirnya dia teringat cerita Pak Kyai. Guru yang mengajar di Langgar tempat Atika setiap hari belajar mengaji itu sering bercerita tentang kedermawanan Siti Fatimah, putri Nabi Muhammad. Yah, pastilah nama lengkap Ibunya adalah Siti Fatimah seperti nama putri Nabi. Kemudian Atika teringat seorang tamu pernah kebingungan sambil keliling-keliling kampung untuk mencari orang bernama Siti Fatimah, yang ternyata yang dimaksud si tamu adalah ibunya. Jadi tak salah lagi nama ibunya adalah Siti Fatimah.
“Bu Siti Fatimah” jawab Atika dengan mantap.
"Anak Pintar kamu" puji Bu Guru
“Nah Atika, mulai hari ini kamu bisa mulai sekolah. Datanglah ke sini setiap hari. Sekolah dimulai jam 7 pagi dan selesai jam 10 siang. Nanti setiap anak mendapat 1 buah buku dan 1 buah pensil. Setiap Jumat akan ada pembagian susu bantuan Unicef. Ada juga majalah-majalah bergambar kiriman dari luar negeri yang boleh dipinjam. Di sekolah kamu akan belajar membaca dan berhitung biar jadi anak pintar” kata Ibu Guru
‘Apakah saya diajari cara bicara dengan surat Bu Guru?
Ibu Guru tertawa geli mendengar pertanyaan Atika.
‘Yah, dengan belajar membaca dan menulis kamu bisa bicara dengan menggunakan surat” jawab Ibu Guru
Atika tertawa senang, dia membayangkan sebentar lagi dirinya bisa bicara dengan surat. Dia bertanya-tanya dalam hati, apakah setelah bisa bicara dengan surat, dirinya juga bisa mengerti cara ikan-ikan berbicara?. Ah, tapi itu tak penting bagi Atika. Yang penting sekarang dirinya telah bersekolah dan dia senang sekali punya banyak teman-teman baru (Undil –2010).
tags: cerpen, cerita pendek, cerita anak, cerita hari pertama masuk sekolah
0 komentar:
Post a Comment