^_^
Hamtaro menunduk tatkala Pak Abija menasehati dirinya. Sebenarnya lebih tepatnya Pak Pengurus Masjid itu menguraikan akibat dari kelalaian Hamtaro untuk mengedarkan kencleng (kotak sumbangan) pada pengajian rutin bulanan.
Pengajian itu diselenggarakan setiap malam kamis pada minggu pertama setiap bulan. Biasanya pada setiap pengajian akan didapatkan dana sekitar empat ratus ribu rupiah yang berasal dari peserta pengajian yang berdatangan dari kampung-kampung sekitarnya.
picasso-two seated children (search.it.online.fr)
Malam itu adalah giliran Hamtaro untuk mengurusi pengedaran kencleng. Sialnya dia lupa untuk mengedarkan kencleng-kencleng itu. Pasalnya Hamtaro asyik menyimak pengajian yang disajikan dengan slide infocus dengan gambar-gambar menarik. Sesuatu yang jarang dilakukan orang di kampungnya. Sementara petugas lain yang menjadi pasangannya, yaitu Si Dorki, tengah pergi ke rumah nenek buyutnya di luar kampung. Alhasil pada saat pengurus pengajian menagih kencleng, Si Hamtaro gelagapan. Dirinya benar-benar lupa untuk menunaikan tugasnya itu.
Akibatnya pada acara pengajian kali ini panitia tekor. Biasanya setiap pengajian, setelah dikurangi biaya sewa sound system dan sewa terpal akan didapat pemasukan bersih tiga ratus ribu rupiah. Uang itu diperlukan sebagai tambahan biaya perawatan masjid, bayar listrik, dan membantu anggota pengajian yang sakit atau terkena musibah. Tapi kali ini jangankan menambah biaya perawatan masjid, malahan panitia harus mengeluarkan uang untuk menutup biaya perlengkapan pengajian.
^_^
Hamtaro melangkah gontai keluar masjid. Dirinya merasa sangat bersalah. Walaupun akhirnya Pak Abija memaafkan dan memaklumi kelalaiannya, tapi Hamtaro masih merasa malu. Diam-diam dia bertekad akan mengganti uang yang batal masuk gara-gara kelalaian dirinya. Tapi kemana dia bisa mencari uang?. Ketrampilan nyaris tak ada. Belum lagi tubuhnya belum cukup besar untuk meyakinkan orang yang akan memberi kerja padanya.
Akhirnya Hamtaro ambil peluang kerja yang paling mungkin dia lakukan setelah pulang sekolah. Dia menjajakan tenaganya untuk membersihkan halaman rumah tetangga-tetangganya. Terutama para tetangga yang tidak punya tukang kebun atau anggota keluarga yang bisa diandalkan tenaganya untuk merawat halaman rumah.
Setiap hari sepulang sekolah didatanginya tetangga-tetangga rumahnya. Untungnya ada saja tetangga yang mau menggunakan jasa Hamtaro. Jika tetangga satu kampung tidak ada yang mau, Hamtaro menawarkan diri ke rumah-rumah di kampung tetangga.
Dalam sehari, Hamtaro mampu membersihkan satu atau dua halaman rumah saja. Itu-pun telah memakan waktu hingga sore hari menjelang maghrib. Dari setiap jerih payahnya itu, Hamtaro mendapat upah lima sampai sepuluh ribu rupiah, tergantung si empunya rumah. “Tak apalah hanya segini. Sedikit-demi sedikit lama-lama jadi bukit” begitulah pikiran Hamtaro.
Sampai di suatu hari Hamtaro menawarkan jasa pada seorang Ibu yang memiliki rumah berhalaman luas di pinggir kampung. Ibu itu sangat suka menanam tanaman hias yang kini telah memenuhi halaman rumahnya. Namun Si Ibu yang tinggal berdua bersama seorang pembantu perempuan itu nampaknya kuwalahan mengurusi halaman rumahnya yang luas. Ada beberapa jenis tanaman hias yang tumbuh merajalela di halaman rumah. Diantaranya adalah adalah tanaman kuping gajah yang jumlahnya mencapai ratusan tanaman, yang memenuhi sepanjang pinggiran tembok rumah.
Hamtaro tertegun melihat ratusan tanaman Kuping Gajah yang tumbuh subur sampai meluber dari batas-batas berupa batu-batu yang disusun rapi di sepanjang pinggiran tembok rumah tersebut. Daun-daun yang lebar dan hijau legam itu seakan berlomba menjuntai ke arah halaman rumah. Puluhan tanaman bahkan telah keluar dari tempatnya dan menancapkan akarnya beberapa jengkal dari tempat yang menjadi peruntukannya. Sebenarnya hal itu menunjukkan bahwa Si Ibu rajin menyiram dan memupuk tanaman hias miliknya – hanya saja beliau tidak punya waktu untuk merapikan.
Si Empunya rumah dengan ringkas menjelaskan tugas-tugas yang harus diselesaikan Hamtaro. Pertama dia harus merapikan ratusan Kuping Gajah itu, mencabut tanaman-tanaman yang telah keluar dari batasnya dan memotong daun-daun yang terlalu rimbun. Si Ibu minta disisakan barang 50-60 batang tanaman saja, selebihnya diminta untuk dicabut dan dibuang ke jugangan (lubang pembuangan sampah yang digali di tanah). Rupanya si empunya rumah merasa bahwa tanaman-tanaman yang tumbuh merajalela itu telah mengganggu keasrian rumahnya.
Dengan cepat pikiran Hamtaro bekerja. Jika dirinya dengan hati-hati mencabuti Kuping Gajah itu satu demi satu, terus menanamnya pada polybag (kantong plastik untuk menanam tanaman), maka tanaman-tanaman yang akan di buang tersebut bisa dijual pada orang-orang yang suka tanaman hias berdaun lebar. Terbayang dengan hasil penjualan itu masalah uang kencleng akan bisa teratasi. Wah, tiba-tiba saja pemecahan masalah yang telah berminggu-minggu membayangi dirinya akan segera didapatkan.
Kemudian Hamtaro meminta ijin pada Ibu Si Empunya rumah untuk menanam tanaman-tanaman itu dalam polybag, dan bukan membuangnya. Si Ibu mengerutkan keningnya sejenak, lalu tersenyum dan mengatakan bahwa dirinya tidak mempermasalahkan jika Hamtaro ingin memanfaatkan tanaman-tanaman itu.
Benda, Rinai dan Selasih, adalah tiga teman Hamtaro yang dengan senang hati membantu Hamtaro menanam tanaman-tanaman ke dalam polybag. Sementara Hamtaro sibuk mencabuti ratusan Kuping Gajah dengan hati-hati. Ada seratus polybag ukuran sedang yang dibeli dengan upah Hamtaro selama 2 minggu bekerja. Kini semuanya telah terisi oleh tanaman Kuping Gajah lengkap dengan tanah gembur yang banyak terdapat di halaman rumah.
Dengan mempergunakan gerobak dorong pinjaman dari Pak Tew, mereka berempat bergantian mengangkuti polybag yang telah ditanami Kuping Gajah ke halaman rumah Selasih yang tak seberapa luas.
Hari-hari berikutnya mereka menyambangi tetangga dekat maupun tetangga jauh untuk menawarkan Kuping Gajah-Kuping Gajah itu -- yang dijual seharga 5 ribu rupiah setiap batangnya. Sayangnya dalam seminggu hanya 10 batang tanaman yang terjual. Lainnya tidak ada yang mau beli. Ada banyak alasan yang diungkapkan orang yang tidak beli, diantaranya: tidak suka Kuping Gajah, tidak ada yang menyiram, lebih suka tanaman buah, dan halaman terlalu sempit untuk ditambah tanaman baru.
Jadilah Hamtaro dan ketiga temannya kecewa dengan kenyataan yang dihadapinya. Pastilah Hamtaro yang paling sedih. Bayangan pengganti uang kencleng kembali menjauh. Kini ada 90 buah tanaman Kuping Gajah yang belum terjual dan memenuhi halaman rumah Selasih. Tanaman-tanaman itu tak bisa berlama-lama dibiarkan di sana karena mengganggu aktifitas keluarga Selasih.
^_^
Akhirnya keempat anak itu memutuskan untuk menanam semua tanaman hias di halaman masjid. Ditambah dengan pakis, lidah mertua, krokot dan tanaman-tanaman lain -- hasil pembersihan dari halaman rumah Si Ibu-- yang saat ini masih teronggok di dekat sumur Selasih, mereka berempat setiap sore mulai menghias halaman masjid dengan menanam tanaman-tanaman hias tersebut. Kebetulan beberapa hari ini Hamtaro juga tidak mendapat job untuk membersihkan halaman rumah orang — sehingga mereka berempat dapat menghabiskan waktu untuk mendekor halaman masjid.
Hari kedua mereka menghias masjid dengan tanaman hias, tiba-tiba Benda teringat oleh mobil penjual tanaman hias yang pada sore hari suka melintas di jalan raya dekat masjid. Barangkali saja Bapak itu mau membeli Kuping Gajah dalam polybag. Jadilah mulai hari kedua mereka bergiliran berjaga di jalan raya dekat masjid untuk menghentikan mobil penjual tanaman hias.
Pada hari kelima seorang laki-laki membawa mobil bak yang mampir untuk Sholat Ashar di masjid. Sehabis sholat lelaki itu memperhatikan anak-anak yang sedang sibuk menanam Kuping Gajah. Matanya nampak berbinar-binar menatap tanaman yang daunnya lebar dan berwarna hijau legam itu. Kemudian dia mendekati Hamtaro dan teman-temannya.
Setelah ngobrol sana-sini Si Bapak menawarkan diri untuk membeli Kuping Gajah yang tersisa. Ternyata Bapak itu adalah penjual tanaman hias yang selama ini sering lewat di jalan raya dekat masjid. Rupanya pada sore hari mobilnya jarang diisi tanaman hias. Pantas Si Rinai yang sedang berjaga di pinggir jalan tidak menyadari bahwa mobil itu adalah mobil penjual tanaman hias.
Kata Si Bapak dirinya jarang melihat Kuping Gajah yang daunnya bisa selebar itu dan warnanya hijau kelam. Disanggupinya untuk membeli seharga sepuluh ribu rupiah sebatang. Hamtaro berteriak kegirangan. Masih ada lima puluh batang tanaman di rumah Selasih. Itu artinya dirinya akan bisa mendapatkan pengganti uang kencleng dari hasil penjualan tanaman.
Keempat anak itu sempat berdebat seru tentang tanaman Kuping Gajah yang terlanjur mereka tanam di halaman masjid. Sebagian ingin mencabutinya dan menjualnya pada orang itu. Sebagian yang lain menolak karena dengan lima puluh batang di rumah Selasih telah cukup untuk mengganti uang kencleng.
Hamtaro-lah yang paling ngotot untuk tidak mencabuti tanaman itu, karena dilihatnya halaman masjid menjadi sangat indah setelah dihiasi dengan tanaman hias. Setelah beberapa lama berdebat, diputuskan untuk membiarkan Kuping Gajah yang telah tertanam di halaman masjid. Lagipula mereka telah mendapat pujian dari beberapa pengunjung masjid karena keindahan yang muncul dari tanaman-tanaman itu. Malu-kan kalau tiba-tiba tanaman-tanaman itu menghilang karena dicabuti untuk dijual.
^_^
Hamtaro dan ketiga temannya melambaikan tangan ketika mobil Bapak penjual tanaman hias pergi meninggalkan halaman rumah Selasih sambil membawa lima puluh batang tanaman Kuping Gajah. Keempat anak itu berpandang-pandangan sambil tersenyum. Lima ratus ribu rupiah uang hasil penjualan tanaman hias itu cukup untuk mengganti uang kencleng. Hamtaro-lah yang paling senang. Ingin rasanya dirinya terbang secepatnya ke rumah Pak Abija untuk menyerahkan uang pangganti kencleng. Rasanya sangat puas dirinya berhasil mengatasi masalah dengan jerih payah sendiri dibantu teman-temannya (undil –2010).
tags: cerita sinetron tanpa shooting, cerita anak, cerpen, cerita pendek
0 komentar:
Post a Comment