Hampir semua cucu-cucu yang datang ke rumah nenek
menanyakan nasib sumur itu. Apa gerangan yang terjadi dengan sumur itu sekarang?
Apakah dia masih bisa dipakai?. Pertanyaan standar yang diajukan mereka saat
datang ke rumah ini.
Sebenarnya bagiku sumur itu adalah sumur biasa saja,
seperti sumur di rumahku dan sumur-sumur lain yang ada di kampung ini. Sebuah
sumur berdiameter satu setengah meter, dengan dinding setinggi satu meter dari
permukaan tanah, tidak dilengkapi atap dan kedalaman sumur kurang dari delapan
meter. Air sumur diambil dengan tali
timba biasa berwarna hitam dan timba berupa ember yang terbuat dari seng.
Persis sama dengan sumur-sumur tetangga.
Barangkali yang istimewa dari sumur itu dibanding sumur
tetangga adalah dia dikelilingi oleh tembok bercat putih setinggi dua meter sehingga cukup
terlindung dari pandangan mata orang yang ada di halaman belakang rumah nenek.
Maklumlah seperti rumah-rumah lain di kampung kami, tidak lazim seseorang
memasang pagar yang tinggi di halaman belakang rumah, sehingga para tetangga
leluasa berjalan hilir mudik melewati halaman rumah nenek.
Jika cucu-cucu
pada berkunjung ke rumah nenek, maka sumur itu salah satu tujuan favorit
mereka. Di dalam sumur itu terdapat
tujuh ekor gurami, masing-masing milik salah seorang cucu. Entah bagaimana
mereka bisa mengenali gurami miliknya, dan berteriak-teriak kegirangan saat
melihatnya berada di dalam sumur. Lalu mereka memberi makan gurami itu dengan
daun pepaya yang segera saja dilahap oleh para ikan yang rakus itu.
Acara yang paling ditunggu oleh sepupu-sepupuku itu
adalah acara mandi, baik pagi ataupun sore hari. Pada jam-jam mandi tersebut
telah berada di sana Paman Bong, seorang laki-laki berusia tigapuluh tahun yang
biasa membawakan kain batik dagangan nenek ke pasar atau mengganti
genting rumah yang bocor. Paman Bong sudah hapal dengan kesukaan anak-anak
kota tersebut. Mereka senang sekali diguyur air sedingin es langsung dari ember
sumur. Biasanya mereka berteriak-teriak kegirangan saat air mengguyur
tubuh-tubuh mereka.
Ada-ada saja aksi mereka saat diguyur air. Ada yang posisi berdiri tegak sambil kedua tangan
diacungkan ke atas seperti menyambut hujan, ada yang merangkak menirukan sapi,
ada juga yang duduk meringkuk seperti kucing lagi dimandiin. Apapun posisinya, mereka
selalu berteriak kencang sekali merayakan air yang mengguyur tubuh-tubuh
mereka.
Aku sendiri tidak berminat mengikuti acara mandi itu
karena telah kualami ratusan kali saat aku belum sekolah. Bapakku selalu
memandikan aku dengan cara persis seperti itu, karena hanya dengan cara itulah aku
mau dimandikan tanpa rewel. Beda benar
dengan sepupu-sepupuku yang tak pernah mengalaminya. Bagi mereka mandi di sumur ini adalah acara
wajib saat berkunjung ke rumah nenek. Mengalahkan acara lainnya seperti pergi ke pantai, melihat-lihat hewan yang didagangkan di pasar
desa atau melihat-lihat pemandangan indah di bukit kecil di sebelah kampung sambil makan jagung bakar.
Namun kemudian nenek pindah dari rumahnya untuk tinggal
bersama bibi paling bungsu yang baru beberapa bulan melahirkan bayi. Sejak
saat itu rumah hanya dihuni oleh Mbok Mah dan suaminya, pembantu yang lebih
dari 25 tahun tinggal bersama nenek. Lambat laun karena sudah ada sumur pompa,
sumur timba itu jarang sekali dipakai, sampai akhirnya diputuskan untuk
ditimbun kembali karena akan dibangun gazebo di halaman belakang rumah nenek
(Undil 2012)
0 komentar:
Post a Comment