Alkisah seorang pemuda berkeinginan untuk memperbaiki kehidupannya dengan merantau ke sebuah kota bernama Kota Hukum. Pemuda tersebut berharap di Hukum kehidupannya akan lebih baik dari sebelumnya. Pesona Hukum yang terkenal sebagai sebuah kota yang adil dan sejahtera telah membuatnya benar-benar terpikat untuk pindah ke sana.
Pada suatu hari berangkatlah Si Pemuda menuju Hukum dengan membawa sejuta harapan. Dibayangkannya kehidupannya akan jauh lebih baik dibanding saat dirinya masih tinggal di kampung halaman. Impian itu sebentar lagi akan terwujud setelah dirinya sampai di Hukum. Setelah beberapa hari menempuh perjalanan akhirnya Si Pemuda sampai di pintu gerbang Hukum. Nampak seorang penjaga berdiri tegak mengawal pintu gerbang dengan menyandang senjata lengkap.
Saat si pemuda hendak melintasi pintu gerbang tiba-tiba Si Penjaga menahan langkahnya.
“Berhenti disitu!. Kamu tak boleh masuk!” seru Si Penjaga.
“Mengapakah saya tak boleh nak masuk?”
“Jangan banyak tanya! Pokoknya kamu tak boleh masuk!
‘Tapi saya datang dari jauh untuk tinggal di Kota Hukum. Apa alasanmu mencegahku masuk ke Hukum?
“Pokoknya tunggu saja disitu! Kamu gak boleh masuk!” kata Si Penjaga dengan dingin.
Akhirnya Si Pemuda menyerah dan duduk menunggu di muka Hukum. Sampai malam hari Si Penjaga tak kunjung mengijinkan dirinya untuk masuk ke dalam kota. Si Pemuda kemudian menginap di sana.
Begitu seterusnya hari demi hari si pemuda menunggu ijin dari Si Penjaga pintu yang tak kunjung diberikan. Bulan demi bulan, tahun demi tahun berlalu hingga Si Pemuda telah menjadi kakek-kakek -- ijin melintasi pintu gerbang belum juga di dapat. Sampai kemudian Si Pemuda telah benar-benar uzur. Menjelang ajalnya dia memberanikan diri bertanya kepada Si Penjaga.
“Aku selama ini tak pernah melihat seorang-pun melintasi pintu gerbang ini. Emangnya pintu ini diperuntukkan bagi siapa?”
“Pintu gerbang ini khusus untukmu. Bukan buat orang lain. Sayang kamu tak cukup berani untuk melintasi. Aku akan menutupnya hari ini!”
^_^
Kisah di atas diolah dari cerita Di Muka Hukum karya Franz Kafka (Bruno, 1998). Kisah tersebut menceritakan tentang seseorang yang gagal memanfaatkan kesempatan. Tentang para penunda waktu yang menganggap kesempatan diperuntukkan bagi orang lain dan bukan untuk dirinya. Padahal dengan bekal sedikit keberanian, kesempatan telah terbuka lebar baginya.
Si Pemuda adalah gambaran seseorang yang akan melakukan sesuatu tetapi terus ditunda-tunda karena seolah-olah ada seorang “penjaga pintu gerbang” yang mencegahnya memulai pekerjaan. Penjaga yang sebenarnya tak punya otoritas untuk mencegahnya.
Penjaga itu sebenarnya tidak ada. Dia hanyalah hambatan-hambatan dan risiko-risiko yang mencegah seseorang melakukan sesuatu. Kadangkala seseorang tak punya cukup keberanian melakukan sesuatu karena takut mengambil risiko dan terus menundanya. Padahal risiko itu sebenarnya biasa-biasa saja, tetapi dibesar-besarkannya di dalam benaknya. Rintangan-rintangan itu akan dapat dia atasi bila saja dia punya cukup keberanian.
Pada suatu hari berangkatlah Si Pemuda menuju Hukum dengan membawa sejuta harapan. Dibayangkannya kehidupannya akan jauh lebih baik dibanding saat dirinya masih tinggal di kampung halaman. Impian itu sebentar lagi akan terwujud setelah dirinya sampai di Hukum. Setelah beberapa hari menempuh perjalanan akhirnya Si Pemuda sampai di pintu gerbang Hukum. Nampak seorang penjaga berdiri tegak mengawal pintu gerbang dengan menyandang senjata lengkap.
Saat si pemuda hendak melintasi pintu gerbang tiba-tiba Si Penjaga menahan langkahnya.
“Berhenti disitu!. Kamu tak boleh masuk!” seru Si Penjaga.
“Mengapakah saya tak boleh nak masuk?”
“Jangan banyak tanya! Pokoknya kamu tak boleh masuk!
‘Tapi saya datang dari jauh untuk tinggal di Kota Hukum. Apa alasanmu mencegahku masuk ke Hukum?
“Pokoknya tunggu saja disitu! Kamu gak boleh masuk!” kata Si Penjaga dengan dingin.
Akhirnya Si Pemuda menyerah dan duduk menunggu di muka Hukum. Sampai malam hari Si Penjaga tak kunjung mengijinkan dirinya untuk masuk ke dalam kota. Si Pemuda kemudian menginap di sana.
Begitu seterusnya hari demi hari si pemuda menunggu ijin dari Si Penjaga pintu yang tak kunjung diberikan. Bulan demi bulan, tahun demi tahun berlalu hingga Si Pemuda telah menjadi kakek-kakek -- ijin melintasi pintu gerbang belum juga di dapat. Sampai kemudian Si Pemuda telah benar-benar uzur. Menjelang ajalnya dia memberanikan diri bertanya kepada Si Penjaga.
“Aku selama ini tak pernah melihat seorang-pun melintasi pintu gerbang ini. Emangnya pintu ini diperuntukkan bagi siapa?”
“Pintu gerbang ini khusus untukmu. Bukan buat orang lain. Sayang kamu tak cukup berani untuk melintasi. Aku akan menutupnya hari ini!”
^_^
Kisah di atas diolah dari cerita Di Muka Hukum karya Franz Kafka (Bruno, 1998). Kisah tersebut menceritakan tentang seseorang yang gagal memanfaatkan kesempatan. Tentang para penunda waktu yang menganggap kesempatan diperuntukkan bagi orang lain dan bukan untuk dirinya. Padahal dengan bekal sedikit keberanian, kesempatan telah terbuka lebar baginya.
Si Pemuda adalah gambaran seseorang yang akan melakukan sesuatu tetapi terus ditunda-tunda karena seolah-olah ada seorang “penjaga pintu gerbang” yang mencegahnya memulai pekerjaan. Penjaga yang sebenarnya tak punya otoritas untuk mencegahnya.
Penjaga itu sebenarnya tidak ada. Dia hanyalah hambatan-hambatan dan risiko-risiko yang mencegah seseorang melakukan sesuatu. Kadangkala seseorang tak punya cukup keberanian melakukan sesuatu karena takut mengambil risiko dan terus menundanya. Padahal risiko itu sebenarnya biasa-biasa saja, tetapi dibesar-besarkannya di dalam benaknya. Rintangan-rintangan itu akan dapat dia atasi bila saja dia punya cukup keberanian.
Referensi: Frank J. Bruno, 1998, Stop Procrastinating, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
0 komentar:
Post a Comment