Cerpen Sang Tetua Malang

Jaman dahulu kala di satu pelosok negeri yang desa-desanya menempati tepian sungai, seorang tetua desa diundang untuk memberi petuah pada acara syukuran yang diselenggarakan oleh tiga orang berbeda dari tiga desa tetangga yang berbeda. Namun acara mereka berlangsung pada waktu yang bersamaan.

Pengundang pertama adalah seorang pedagang kaya yang tinggal di sebuah desa di arah hilir sungai. Pedagang tersebut terkenal sangat dermawan, dan gemar membekali uang pada tamu-tamu acaranya. Sang Tetua desa yang diundang untuk memberikan nasehat ini dan itu, jamaknya akan mendapat ucapan terimakasih dalam jumlah lebih dari Si Pedagang.

Pengundang kedua adalah seorang juru masak dan pemilik kedai gulai terkenal di kota. Juru Masak ini terkenal dengan resep-resep ajaibnya yang hanya dikeluarkan pada saat-saat tertentu saja. Konon pada acara syukuran pernikahan putri tunggalnya ini, Sang Juru Masak akan mengerahkan seluruh kemampuan memasak untuk memanjakan lidah para tamu undangan. Sang Juru Masak juga terkenal karena suka membekali tamunya dengan aneka gulai, dan Si Tetua Desa lazimnya akan dibekali dengan berantang-rantang gulai setelah memberi sepatah dua patah kata selama acara.

Pengundang ketiga adalah seorang jauhari, ahli intan yang sangat tersohor kepiawaiannya dalam menaksir intan. Intan adalah batu yang elok warnanya, biasanya dipergunakan sebagai perhiasan. Kabarnya dia mengadakan pesta syukuran ini untuk merayakan keberhasilannya mendapatkan konsesi tambang intan di sebuah perbukitan tandus di luar pulau.

Alur-alur intan yang terpendam belasan meter di bawah bukit itu menjanjikan keuntungan berlipat-lipat dari modal yang dikeluarkan Sang Jauhari. Si Jauhari juga dikenal suka bermurah hati menghadiahkan intan pada orang-orang yang dihormatinya. Si Tetua sebagai tamu kehormatan sudah tentu akan dihadiahi beberapa biji intan pilihan dari jenis yang paling baik.

^_^

Peninglah kepala Si Tetua Desa dalam menentukan undangan siapa yang bakal dipenuhi. Jarak ketiga desa berjauhan, masing-masing harus ditempuh 2 jam mengayuh perahu menyusuri sungai. Bila dia berangkat selepas Isya, Sang Tetua baru akan sampai tujuan pada pukul 9 malam. Terlambat satu jam dari mulainya acara, tetapi masih ada dua jam lagi sampai acara selesai pukul 11 malam.

Alkisah Si Tetua sangat menggemari gulai ikan, seperti yang akan dihidangkan Si Juru Masak. Sudah lama dia tidak menemukan gulai ikan yang enak. Belakangan setelah tukang gulai ikan langganannya digantikan oleh anaknya, rasa gulainya tidak lagi nendang. Rasanya biasa-biasa saja seperti gulai buatan istri Si Tetua. Makanya dia memutuskan menghadiri undangan Si Juru Masak dengan harapan pulangnya akan mendapat pesangon berantang-rantang gulai ikan terbaik -- yang cukup untuk mengobati kerinduan terhadap gulai ikan selama beberapa hari.

Maka dikayuhnya sampan menuju arah hilir sungai, ke rumah Si Juru Masak. Namun di tengah perjalanan, Si Tetua teringat akan undangan Si Pedagang Kaya yang dermawan. Dirinya teringat, pada undangan tahun lalu, amplop ucapan terimakasih yang disodorkan Si Pedagang senilai penghasilan Si Tetua selama sebulan.

Dibayangkannya dengan uang tersebut dirinya bisa mengajak anak dan istrinya berkunjung ke rumah mertuanya di kota. Disamping itu dia bisa memanjakan dirinya dan anak-anaknya dengan berbelanja pantalon, sepatu dan ikat pinggang di toko-toko pakaian di pusat kota.

Terbayang dalam benaknya dua orang anaknya akan meloncat-loncat kegirangan saat diberitahu akan diajak pergi ke rumah kakeknya sambil berbelanja di toko pakaian. Wuufff, tiba-tiba saja Si Tetua Desa balik haluan, membelokkan sampannya ke arah hulu sungai, menuju rumah Si Pedagang Kaya.

Si Tetua mengayuh sampannya dengan sekuat tenaga karena melawan arus sungai. Apalagi dia merasa telah membuang waktu setengah jam untuk menuju rumah Juru Masak, dan kini dia paling lambat dua setengah jam harus bisa mencapai rumah Si Pedagang Kaya. Bayangan anak-anaknya yang akan bersorak-sorak gembira membuat kayuhan dayungnya tidak terasa berat walaupun melawan arus sungai yang sangat deras. Gambaran kegembiraan buah hatinya itu membuat sampan terasa ringan dikayuh menuju rumah Si Pedagang Kaya.

Namun saat di tengah perjalanan Si Tetua Desa teringat akan keinginan anak sulungnya untuk bersekolah di kota. Sekolah di desanya hanya sampai tingkat sekolah rakyat. Untuk dapat sekolah lanjutan, dia harus mengirim anaknya ke kota. Pastilah butuh biaya yang tidak sedikit.

Tiba-tiba Si Tetua ingat undangan dari Tukang Jauhari. Ahli intan yang kenal baik dengan dirinya ini terkenal akan kedermawanannya. Apalagi dia baru saja menemukan sumber intan di luar pulau. Dibayangkannya Si Jauhari akan membekali dirinya dengan satu kantung berisi beberapa biji intan yang sangat berharga. Kelak intan-intan itu bisa dia gunakan untuk membiayai sekolah anaknya.



Amplop uang dari Si Pedagang tiba-tiba menjadi tidak menarik lagi. Uang itu hanya cukup untuk membuat dirinya dan keluarganya bersenang-senang selama satu minggu di kota. Setelah itu dia tidak punya uang lagi. Urusan biaya sekolah Si Sulung belum akan terpecahkan. Setelah mengingat hal-hal tersebut dan menimbang untung-rugi dari setiap pilihan, tiba-tiba saja Si Tetua berubah pikiran. Dia membelokkan perahunya menuju anak sungai. Rumah Si Jauhari berada di ujung anak sungai. Si Tetua Desa berharap dirinya dapat mencapai rumah Si Jauhari sebelum acara selesai.

^_^

Ketika sampan mencapai ujung anak sungai yang berakhir di sebuah danau kecil, Tetua desa memperlambat sampannya. Didekatinya rumah Si Jauhari yang menjorok jauh ke darat. Namun didapatinya rumah tersebut telah sepi. Ada satu dua orang sedang beberes tikar yang masih dipenuhi piring-piring bekas makan malam. Tidak terlihat lagi tamu-tamu undangan berada di sana. Lampu-lampu minyak yang berjajar di halaman luar telah dipadamkan. Rupanya acara syukuran sudah usai. Alhasil Si Tetua cepat-cepat balik haluan menuju rumah Pedagang Kaya di arah hulu sungai.

Seperti yang terjadi pada rumah Jauhari, acara di tempat Si Pedagang Kaya juga telah usai. Lampu-lampu telah dipadamkan. Tikar-tikar sudah digulung. Tinggal tersisa beberapa orang duduk-duduk di muka rumah sambil mengobrol. Nampaknya mereka adalah beberapa orang upahan si pedagang yang akan menginap di teras rumah sambil menunggu pagi tiba. Pupus sudah harapan mendapat amplop dari Si Pedagang. Kini harapan satu-satunya Si Tetua tinggal acara si Juru Masak.

^_^

Waktu telah lewat tengah malam tatkala sampan Si Tetua sampai di rumah Si Juru Masak. Seperti di rumah Si Pedagang Kaya, tikar-tikar telah digulung dan lampu-lampu minyak di halaman telah dimatikan. Bahkan dilihatnya para pembantu Si Juru Masak telah bergelimpangan tidur di anak rumah.

Mata Si Tetua sembab. Tak satu-pun dari ketiga harapannya yang terpenuhi. Dirinya benar-benar telah kehilangan tiga kesempatan sekaligus. Pelan-pelan dikayuhnya sampan kembali ke rumah. Kepalanya tertunduk lesu, matanya menatap nanar riak-riak air di sekeliling perahunya. Tiba-tiba dia merasa bahwa sebuah pilihan yang paling tepat sekalipun --- bila diambil pada saat yang telah terlambat --- menjadi tidak ada artinya (undil – 17 Agustus 2009, diilhami kisah Lebai Malang).






0 komentar:

Post a Comment