Romo Gatu dan Penduduk Desa yang Mendadak Berkecukupan


Saat Romo Gatu datang di desa Kebon Agung, kebanyakan masyarakat di sana masih merasa dirinya miskin dan terbelakang dibanding orang-orang kota. Mereka juga minder kepada orang-orang desa yang merantau ke kota. Banyak juga pemuda Kebon Agung yang merantau ke kota menjadi  tukang bangunan, buruh pabrik hingga membuka warung kakilima.

Saat pulang ke kampung rata-rata para perantau membawa motor keluaran terbaru dan tak lupa menggenggam smartphone sehingga mengundang decak kagum tetangga-tetangganya. Kaum muda banyak yang kemudian tertarik merantau ke kota sehingga beberapa kebun dan sawah milik warga desa mulai terlantar karena tidak ada yang menggarap.

Namun kini semua sudah berubah drastis. Warga desa tidak lagi merasa dirinya lebih miskin dibanding orang-orang kota. Mereka tidak lagi merasa terbelakang dibanding rekan-rekan mereka yang merantau ke kota.  Mereka merasa hidup mereka berkecukupan dan bahkan layak disebut kaya. Itu semua karena Romo Gatu berhasil merubah cara pandang mereka tentang kekayaan. Tentang hal-hal yang dibutuhkan dan cara membedakan dengan hal-hal yang diinginkan.

Lewat pengajian mingguan tafsir Al Quran yang diasuhnya, Romo Gatu selalu berusaha menumbuhkan kesadaran bahwa penduduk desa ini adalah orang-orang yang berkecukupan, cukup maju dan tidak perlu minder dengan warga kota. Mereka tidak perlu mengikuti gaya hidup teman-teman mereka yang pindah ke kota yang memiliki begitu banyak barang-barang untuk melengkapi hidup mereka. Cukuplah dengan apa yang ada.  Mereka tidak miskin jika tidak mengukur diri dengan kepemilikan barang-barang seperti orang kota.

Semua penduduk desa Kebon Agung memiliki rumah, memiliki kebun, memiliki sawah, memiliki kendaraan walaupun mungkin hanya berupa sepeda onthel. Mereka juga cukup makan karena lumbung-lumbung padi mereka bahkan bisa untuk makan selama dua tahun. Sayur mayur, telur, daging ayam, dan ikan bisa diambil dari kebun mereka.

Pakaian murah bisa mereka dapatkan di pasar desa, demikian juga sepatu, dan alat-alat rumah tangga. Meja kursi juga bisa dibeli dengan harga murah di pasar. Jika uangnya mepet para tukang kayu juga dengan senang hati membuat meja dan kursi dengan bahan kayu dari pepohonan yang ada di kebun penduduk. Jadi tak ada yang perlu  diresahkan tentang pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

Romo Gatu sering membanding-bandingkan penduduk desa dengan teman-teman mereka yang merantau ke kota. Walaupun pada saat pulang mereka membawa motor, ternyata di kota mereka belum memiliki rumah alias masih mengontrak. Ada satu dua yang memiliki rumah itu-pun mereka harus mencicil pembayarannya selama sepuluh tahun.   Mungkin mereka memiliki tv flat dan AC, tapi penduduk desa cukup puas dengan tv tabung dan angin semilir yang tak kalah sejuk dari AC.  Jika dilihat dari sisi kecukupan kebutuhan perumahan, maka para perantau itu lebih miskin dibanding para penduduk desa.


Penduduk desa punya banyak waktu luang setelah mereka bekerja di sawah. Karena mereka bekerja  sampai tengah hari saja. Sisanya bisa dipergunakan untuk belajar ketrampilan lain atau bermain-main dengan anak-anak mereka. Sementara para perantau baru pulang ke kontrakan mereka di kota di sore atau malam hari. Tak banyak waktu yang bisa mereka dapatkan untuk mengembangkan diri ataupun bermain bersama anak-anak mereka. Belum lagi bila dilihat dari ukuran rumah, penduduk desa memiliki rumah yang lega dengan sirkulasi udara yang nyaman, sementara teman-teman mereka di kota harus berdesakan pada rumah-rumah petak yang kurang ventilasi.   

Soal hiburan dan olah raga penduduk desa Kebon Agung tidaklah kurang. Di belakang balai desa terdapat lapangan badminton, lapangan basket dan lapangan volley.  Sementara di depan balai desa terdapat lapangan bola secara bergiliran dipergunakan oleh anak-anak,pemuda dan para orang tua. Hiburan musik seperti kasidahan dan keroncong dapat dengan mudah diundang ke balai desa. 

Jika ingin menunggang kuda tinggal bilang ke Pak Blantik yang punya belasan ekor kuda yang bisa dipinjam dengan gratis. Bahkan dalam waktu dekat Pak Kepala Desa akan mengadakan lomba memanah sambil menunggang kuda untuk memeriahkan festival muharram. Jika masih kurang masih ada perahu karet milik Pak Ujang yang bisa dipergunakan bermain arung jeram di sungai. Jadi tak ada alasan untuk merasa kekurangan hiburan bagi warganya.

Salah satu perubahan penting yang dilakukan Romo Gatu adalah menghidupkan jiwa gotong royong warga desa. Bila sebelumnya rumah-rumah tembok hanya dimiliki oleh penduduk desa yang berpunya atau yang keluarganya ada yang merantau ke kota, kini hampir semua rumah penduduk sudah berdinding tembok. Pasalnya Romo Gatu berhasil mengajak setiap warga untuk menyisihkan waktu untuk menyumbang tenaga jika ada tetangga yang punya hajad membangun rumah.

Dulu membangun rumah di Kebon Agung perlu biaya yang besar. Penduduk yang punya hajad harus membeli batu bata, pasir, semen,  kayu dan membayar tukang dengan tarif sama dengan di kota. Romo Gatu mengajarkan penduduk untuk mandiri menyediakan semua kebutuhan itu. Semuanya telah tersedia di sekitar mereka.  Batu bata bisa dibuat sendiri dengan bantuan tetangga-tetangganya. Demikian juga genting cukup dicetak sendiri. Tempat pembakaran batu  bata dan genting banyak terdapat di kebun-kebun penduduk yang merupakan peninggalan orang tua mereka jaman dahulu. 

Kebutuhan bambu dan kayu bisa dipenuhi dari pepohonan yang banyak tumbuh di tepian sungai yang mengalir tak jauh dari desa. Pasir juga bisa diangkut langsung dari sungai itu. Semuanya  gratis karena tinggal ambil saja dan tak perlu membayar buruh karena dikerjakan bersama-sama tetangga.

Romo Gatu mengajarkan penduduk untuk meluangkan waktu dua jam sehari saat ada tetangga yang sedang membangun rumah. Selama dua jam itu mereka membantu mencetak batu bata, membuat genting, menebang kayu, mengangkut pasir dari sungai hingga menjadi tukang bangunan yang membangun rumah. Tentu saja tidak susah mencari tukang kayu dan tukang bangunan yang mengajari mengerjakan semua itu karena banyak petani yang memiliki keahlian pertukangan. Dalam dua bulan sebuah rumah baru dapat dibangun.  Berkat kerja gotong royong itu biaya membangun rumah menjadi sangat murah sehingga semua penduduk kampung mampu merehab rumahnya menjadi rumah permanen.

Romo Gatu juga mengajarkan penduduk untuk tidak menjual bambu dalam keadaan utuh keluar kampung karena akan segera habis sementara mereka butuh bambu sepanjang tahun. Mereka diajak memanfaatkan pohon-pohon bambu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.  Dari mulai membuat meja, kursi, tangga, hingga peralatan dapur.  Demikian juga untuk membuat peralatan angkut seperti gerobak, keseran dan keranjang semuanya mampu dibuat sendiri oleh para penduduk dengan bahan-bahan bambu dari kebun mereka.

Berkat semua keahlian itu penduduk mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari secara mandiri. Mereka tidak butuh banyak uang untuk bertahan hidup karena semua kebutuhan telah tercukupi dari sumber daya yang ada di desa.  Untuk urusan kesehatan Romo Gatu mengajarkan iuran mingguan yang disetor setiapkali pengajian di rumah Romo Gatu. Dengan iuran itulah penduduk desa membayar biaya bila ada salah satu warganya yang sakit.  Bila sakitnya agak parah dan perlu biaya yang besar maka penduduk  ramai-ramai menyumbang lagi sesuai kemampuan mereka masing-masing.

Hidup berkecukupan dengan cara sederhana itu telah membuat kepercayaan diri warga desa menjadi meningkat pesat. Kini mereka merasa tak kalah kaya dari para penduduk kota. Mereka akan tertawa saja sambil menggelengkan kepala takala dibujuk para calo tanah untuk menjual sawahnya dengan iming-iming Kawasaki Ninja seri terbaru.  

Romo Gatu telah membukakan mata mereka tentang beda antara hal-hal yang diinginkan dan dibutuhkan. Mereka tak akan lagi mengorbankan kebutuhan hanya untuk keinginan.  Pemuda-pemuda yang ada di desa tak lagi tertarik pergi ke kota. Mereka lebih suka mengembangkan ketrampilan di desa mereka agar dapat memanfaatkan sumber daya di desa secara lebih baik (Undil-2012)

0 komentar:

Post a Comment