Kampung Pengundang Ular (2)

Kampung Para Pengundang Ular : Renaissance

Sepeninggal Ketua Kampung untuk berkelana seantero pelosok
negeri, para penduduk berkumpul untuk memilih pemimpin
baru. Seperti yang terjadi sebelumnya, ada dua kelompok kuat
yang bersaing dalam memperebutkan posisi Ketua Kampung.
Kelompok pendukung kebebasan ular untuk memasuki
kampung melawan kelompok penentangnya. Minggu-minggu
menjelang pemilihan terjadilah perang urat syaraf yang sangat
sengit.













Kelompok penentang ular membeberkan puluhan bukti-
bukti yang menunjukkan bahwa telah jatuh puluhan korban
tewas akibat keganasan ular dan mengatakan sudah saatnya
untuk mengusir ular dari rumah-rumah penduduk. Kelompok
pendukung ular dengan gigih memberi bukti keluarga-keluarga
yang hidup damai bersama ular-ular, bahkan mendapat
penghasilan tambahan dari para wisatawan luar kampung yang
gemar menonton atraksi-atraksi yang disuguhkan para ular.

Hanya satu hari menjelang pemilihan terjadi tiga kehebohan
besar yang mempengaruhi hasil pemilihan. Kehebohan pertama
adalah dibelinya seekor ular sanca yang ditemukan seorang
perempuan tua oleh pedagang kaya dari ibukota
dengan harga setara sekilo emas murni 24 karat. Kehebohan
kedua adalah digagalkannya perampokan di rumah
salah seorang terkaya di kampung ---karena si perampok
berteriak-teriak ketakutan--- akibat membuka lemari yang
disangka berisi perhiasan ternyata berisi belasan ekor cobra.

Peristiwa ketiga adalah dipujinya klub muda-mudi pengundang
ular sebagai klub muda-mudi teladan oleh seorang pembesar
negeri karena sukses memberantas hama tikus secara alami
tanpa racun kimia. Segera saja ketiga peristiwa itu menjadi
primadona kampanye para pendukung ular. Hasilnya-pun
nyata. Mereka sukses mengkanvaskan para penentang ular
dalam pemungutan suara.

^_^

“Hari ini kita berkumpul di halaman balai kampung untuk
merayakan kemenangan kaum pendukung kebebasan. Manusia
adalah makhluk cerdas. Dengan kemampuan otaknya manusia
bebas menentukan mana yang dianggap baik dan mana yang
buruk. Sesuatu akan baik bila kita anggap baik dan menjadi
buruk bila kita anggap buruk. Kita tidak butuh siapa-siapa.
Kita adalah makhluk tiada tara. Yang kita butuhkan adalah
kebebasan untuk menentukan pilihan. Kita adalah para pecinta
ular. Muda-mudi kita adalah para pecandu ular. Biarlah mereka
mengisi masa muda mereka dalam pelukan ular-ular yang
berbisa sekalipun. Mereka akan aman-aman saja sepanjang
mereka telah kita bekali dengan pengetahuan tentang ular dan
kiat menangkal bahaya bisa ular” kata Ketua Kampung baru
pada saat pidato pelantikan yang dibanjiri para pendukungnya.

“Saya tidak keberatan dengan teman-teman kita yang tidak
suka dengan ular. Namun saya harap mereka tidak
mengganggu pergaulan kita dengan ular-ular kelangenan.
Mereka boleh tidak setuju, tapi mereka tidak punya hak sama
sekali untuk mengusik kita. Bahwa anak-anak mereka juga
terancam oleh kehadiran para ular---sudah menjadi tugas
mereka untuk mengajari anak-anak mereka bermain ular
dengan aman. Ajari anakmu bermain ular. Jangan coba-coba
usir ular keluar kampung. Jangan ganggu kesenangan kami”
teriak Ketua Kampung yang baru menutup pidato
pelantikannya yang disambut tepuk tangan meriah para
pendukungnya.

^_^

Tak sampai satu bulan setelah pelantikan Ketua Kampung yang
baru—korban-korban kembali berjatuhan. Kali ini kebanyakan
adalah muda mudi yang coba-coba bermain dengan ular.
Disangkanya dengan sedikit pengetahuan tentang ular mereka
akan aman bermain dengan hewan berbisa tersebut. Pada
kenyataannya belasan anak muda menjadi korban. Sebagian
mati, sebagian yang lain terkapar di rumah sakit .
Namun setiapkali diadakan pemungutan suara untuk
menentukan nasib para ular, kelompok penentang ular selalu
kalah. Para pendukung ular memiliki kelompok-kelompok
kesenian ular yang rajin keliling kampung untuk menghibur
penduduk dengan gratis sehingga mereka mendapat simpati
yang luas.

^_^

Sepuluh tahun berlalu, keganasan ular semakin menjadi-jadi
namun kegilaan sebagian penduduk terhadap ular juga semakin
menjadi-jadi. Korban keganasan ular sudah dianggap biasa.
Sebagian penduduk sudah menganggapnya sebagai resiko biasa
yang dihadapi semua orang dalam kehidupan. Berita remaja
terkapar karena dipatuk ular sudah tidak menarik lagi. Para
penentang yang teriak-teriak meminta ular diusir keluar
kampung dianggap orang kuno yang tidak tahu bahwa
kebebasan adalah pangkal kemajuan. Kemarahan para
penentang sudah meluap-luap sampai ke ubun-ubun. Namun
mereka harus gigit jari karena selalu kalah populer dibanding
para pendukung kebebasan ular yang sangat canggih dalam
meraih simpati penduduk.

^_^

Menginjak tahun kesebelas tiba-tiba munculah seorang tua
yang rambutnya panjang dan jenggotnya juga panjang hampir
menyentuh tanah. Puisi yang diteriakkannyalah yang membuat
penduduk kampung mengerti bahwa Ketua Kampung Lama
mereka telah kembali. Rupanya selama sepuluh tahun
berkelana dia tidak pernah mencukur rambut dan jenggot
hingga menjadi sangat panjang.

Barangsiapa mengundang ular ke dalam rumah
untuk memangsa tikus-tikus pemakan beras,
dia juga harus rela bila si ular menggigit mati anaknya.
Karena anak suka bermain dan
ular suka menggigit bila dipermainkan.
Itu adalah sifat alami kedua makhluk ciptaan Tuhan.


Puisi itu diteriakkan tiap satu jam sekali oleh Ketua Kampung
Lama di halaman balai kampung. Malamnya para penentang
ular berduyun-duyun mendatangi Kepala Kampung Lama
untuk mengadukan merajalelanya ular sepeninggal dirinya.

Tergerak oleh nasib kampungnya yang dicengkeram dunia
ular---justru pada saat dirinya mengajarkan bahaya ular ke
seluruh penjuru negeri. Ditambah kesadaran bahwa tindakan
nyata jauh lebih berarti dari sekedar kata-kata--- Kepala
Kampung Lama bersedia memimpin kampanye untuk
menentang ular. Malam itu juga disuruhnya semua penentang
ular membuat pentungan dari batang bambu. Diperintahkan
juga mereka membuat obor-obor dan mengumpulkan garam.
Tidak lupa mereka diminta mempersiapkan panah-panah api.

Pagi harinya Ketua Kampung Lama yang telah mencukur
gundul rambutnya ---mengumpulkan seluruh penduduk
penentang ular yang juga telah mencukur gundul rambut
mereka--- di alun-alun kampung. Mereka membawa semua
perlengkapan yang telah dipersiapkan malam harinya.
Jumlah penentang ternyata jauh lebih besar dibanding para
pendukung ular.

“Hari ini kita berkumpul ditempat ini sebagai kaum pecinta
kebenaran. Kebenaran adalah kebenaran yang tidak akan
berubah menjadi kesesatan setelah seribu tahun sekalipun. Hari
ini adalah saatnya para ksatria gagah berani pembawa risalah
kebenaran untuk menghancurkan kesesatan” Ketua Kampung
Lama memulai pidatonya.

Sejenak kemudian terdengar gemuruh suara para penentang
ular berteriak-teriak mendukung pidatonya pemimpinnya.

Ketua Kampung Lama meneruskan kata-katanya :
“Api adalah api. Api adalah panas. Biarpun seribu kali sehari
mereka bilang api adalah dingin dan dilakukan selama seribu
tahun. Api tidak akan berubah menjadi dingin. Ular berbisa itu
berbahaya bila berada dirumah kita. Biarpun seribu kali sehari
mereka bilang bahwa ular-ular yang berkeliaran di kamar tidur,
di dapur, di lumbung padi tidak berbahaya – bisa ular tetap
berbahaya. Biar seribu tahun mereka bilang ular tidak
berbahaya bagi anak-anak kita --- ular tetap akan berbahaya
bagi anak-anak kita. Kebenaran adalah kebenaran. Kebenaran
harus diperjuangkan dan bukan diputuskan lewat pemungutan suara”

Mendadak Ketua Kampung Lama berhenti berpidato dan menangis
terisak-isak teringat anaknya yang tewas 10 tahun silam. Setelah
terdiam beberapa lama tiba-tiba dia berdiri diatas meja dan berteriak
dengan lantang :

“Kebebasan sejati adalah kebebasan dari perbudakan
nafsu. Kebebasan sejati adalah membebaskan diri dari
keinginan untuk selalu bersenang-senang. Kebebasan adalah
keberanian untuk menerima kenyataan bahwa ular-ular berbisa
akan membahayakan masa depan anak cucu kita. Kebebasan
adalah keberanian untuk melihat masa depan tanpa terhalang
kesenangan sesaat. Mereka telah dibutakan hatinya dari
kenyataan. Mereka berpancaindera normal namun
sesungguhnya telah buta dan tuli tidak mampu melihat
kenyataan ratusan korban keganasan ular. Nafsu telah
membuat hati mereka gelap pekat kehilangan cahaya. Hati
mereka telah mengeras seperti batu”.

Kemudian Ketua Kampung Lama memberi isyarat penentang
ular untuk bergerak.

“Hari ini nasib anak-anak kita dipertaruhkan. Mari kita
hancurkan sarang-sarang ular di dalam kampung. Kita usir
semua ular dari sekeliling kita. Kita bunuh semua ular yang
tidak mau pergi. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung.
Kita hancurkan siapa saja yang menghalangi misi kita”

Ratusan penentang ular segera bergerak. Sarang-sarang ular
dibongkar. Lubang-lubang yang penuh ular diasapi dengan
bantuan obor. Garam-garam ditaburkan. Akibatnya ular-ular
ketakutan dan berlomba-lomba meninggalkan kampung.
Belasan ular yang mencoba melawan tewas digebuk dengan
batang-batang bambu. Ular-ular yang bersembunyi di rumah
para pendukung ular juga dipaksa keluar dan diusir
meninggalkan kawasan perumahan penduduk. Para pendukung
ular tidak mampu berbuat apa-apa. Jumlah mereka
yang sedikit ditambah panah-panah yang dibawa para
penentang ular telah menciutkan nyali mereka. Sementara
penduduk biasa yang cenderung ikut pada kelompok yang kuat
--- telah berpaling dari mereka. Kini mereka berbalik menjadi
para penentang ular.

^_^

Sebulan setelah peristiwa itu kampung praktis telah bersih dari
ular. Mungkin ada satu dua orang yang secara sembunyi-
sembunyi mengundang para ular. Namun mereka tidak akan
berani terang-terangan. Apalagi mengajak anak-anak muda
untuk bermain-main dengan ular. Tak terdengar lagi remaja
yang mati digigit ular. Bapak-bapak kembali dengan tenang
menyiangi kebunnya dari alang-alang. Ibu-ibu tak perlu
khawatir digigit ular saat mengambil padi dari lumbung. Para
orang tua tidak perlu terus-menerus mengawasi anaknya agar
tidak bermain–main dengan ular. Ketentraman dan kedamaian
menyelimuti kampung yang telah kembali menemukan jati diri
sejatinya itu. Kepala Kampung Lama-pun mendapat julukan
baru, yaitu Ksatria Gundul Pembebas Kampung dari Para
Pengundang Ular.

jl. makmur bandung


0 komentar:

Post a Comment