Raja Baru di Pesta Pernikahan

“Hei jangan cepat-cepat atuh! Pasang cincinnya agak lama dikit dong! Pelan-pelan, berhenti dulu sebentar agar bisa di ambil gambar oleh fotografer!”

“Stop-stop, maskawin jangan langsung dikasihin dong! Tangannya jangan langsung ditarik! Tahan sebentar, biar bisa di foto dulu”

^_^

Kemudian siang harinya ketika acara resepsi telah dimulai, hadirin telah berduyun-duyun antri untuk memberi ucapan selamat kepada pengantin yang telah duduk di pelaminan. Ups nanti dulu! Ternyata para tamu undangan belum bisa memberi ucapan selamat karena pelaminan dijadikan ajang foto-foto para keluarga dekat.

“Mohon maaf hadirin belum bisa memberi ucapan selamat pada pengantin karena masih akan dilakukan acara pemotretan dengan keluarga besar pengantin” kata pembawa acara.

Diawali acara foto-foto dengan orang tua pihak perempuan, dilanjutkan foto bersama dengan orang tua mempelai pria, terus foto-foto dengan keluarga besar mempelai wanita, dengan keluarga besar mempelai pria, dilanjutkan foto-foto dengan masing-masing keluarga para paman, keluarga para sepupu, keluarga saudara kandung, dan habislah waktu lebih dari satu jam untuk sesi fotografi. Belum lagi bila ada tamu istimewa atau dari tempat jauh, antrian undangan yang hendak memberi selamat dihentikan sejenak untuk memberi kesempatan tamu istimewa berpose bersama pengantin.

Kalau kita amati belakangan ini kadang-kadang muncul raja baru di acara pernikahan sebagai pesaing sang pengantin. Maksud saya bukan fotografer, tetapi sesi pemotretan. Sesi pemotretan telah naik daun menjadi tokoh penting dalam acara pernikahan. Bahkan dia bisa mendikte penganten untuk memperlambat berbagai macam adegan agar memberi kesempatan fotografer mengambil gambar. Sesi pemotretan telah menjadi bagian integral dari upacara pernikahan dan bukan lagi sebagai dokumentasi. Ibarat penulis sejarah dia telah mendikte para pelaku sejarah untuk berbuat ini dan itu agar sejarah dapat dihiasi dengan gambar-gambar yang menarik.

Sesi pengambilan foto bukan lagi mencari-cari momen penting, tetapi juga telah mendiktekan momen untuk di foto. Dia telah membuat pasangan pengantin dan para undangan yang terhormat menjadi model fotografi dan bukan lagi berfungsi sekedar sebagai peliput acara. Seperti halnya para model, posisi pengantin dan tamu undangan diatur agar terlihat menarik saat di foto. Yah kini photo session telah menjadi raja baru di pernikahan.

^_^

Semua berawal dari kebutuhan akan kenangan. Kebutuhan untuk kenang-kenangan di masa depan. Untuk bahan nostalgia bagi sepasang pengantin lawas. Untuk bahan cerita anak cucu. Untuk diceritakan pada para cicit 30 tahun yang akan datang tentang jalannya acara dan siapa saja yang datang di acara pernikahan. Sebuah cerita tentang salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah hidup manusia.

Emang siy, bila sepasang pengantin punya kenangan berupa foto dan keping film DVD pernikahan -- mereka dapat menikmati gambar perkawinan berkali-kali -- dibanding upacara pernikahan yang hanya satu hari dinikmati. Hanya saja perlukah sesi pemotretan itu menjadi aktor utama dalam pernikahan? Apakah tidak lebih baik dia berfungsi seperti wartawan yang meliput sebuah acara? Dia meliput saja dan tidak mendikte pengantin, hadirin atau terlalu banyak menyelang-nyelang acara sehingga acara resepsi pernikahan terasa nyaman bagi pengantin maupun tamu undangan.

Bolehlah mereka mengatur posisi & gaya pada saat pemotretan dan menyelang acara asal sedikit saja — bukan sering banget – agar pemotretan tidak berubah menjadi acara utama yang menggusur acara lainnya. Dapat juga pemotretan diatur sebelum tamu undangan hadir atau seusai acara resepsi saat tidak ada lagi tamu yang antri untuk memberi ucapan selamat (fotonya dengan siapa? hihihi!). Walaupun demikian-- adalah hak mereka untuk tidak sependapat dan tetap memperlakukan sesi fotografi dengan sangat serius, sekalipun akan menyita waktu acara pernikahan. Bagaimanapun juga merekalah si empunya acara (Undil-07).

0 komentar:

Post a Comment