Tips Sukses Bekerja dari Rumah

Setelah membaca tulisan Wagenugraha di PC Plus edisi 6 Juli 2010, saya jadi tertarik untuk membuat sinopsis tulisan beliau tentang kiat sukses bekerja dari rumah. Menurut Wagenugraha, banyak keuntungan yang diperoleh dari bekerja dari rumah. Diantaranya kita bisa lebih dekat dengan keluarga, hemat waktu karena kita terbebas dari kemacetan saat pergi & pulang dari kantor, dan hemat biaya sewa kantor.

Ahli kimia yang bekerja di Divisi QA sebuah pabrikan farmasi tersebut menjelaskan bahwa bekerja bukanlah soal tempat, tetapi merupakan suatu aktifitas. Jadi alih-alih dikaitkan dengan suatu lokasi, bekerja lebih tepat bila dikaitkan dengan produktifitas dan keseimbangan. Di negara maju konsep bekerja dari rumah telah mulai diterapkan. Perusahaan-perusahaan membuat sistem yang memungkinkan karyawan bekerja dari rumah pada sebagian hari kerjanya.

Untuk dapat sukses bekerja dari rumah, ada faktor-faktor pendukung yang perlu dipersiapkan. Beberapa diantaranya adalah perlunya motivasi yang kuat dan target yang jelas, infrastruktur komunikasi agar tetap bisa berhubungan dengan kantor, dan tentu saja perlu report harian yang jelas terhadap hasil kerja. Mental profesional yang berdisiplin terhadap jam kerja sangat diperlukan, karena pengawasan saat seseorang bekerja di rumah hampir tidak ada. Report rutin diperlukan sebagai pengganti pengawasan tersebut.

Faktor lain yang perlu disadari adalah bekerja dari rumah bukan berarti berlibur dan bisa bebas berinteraksi dengan keluarga. Buat seorang profesional yang memiliki anak balita, bukan berarti mereka bebas bermain seharian dengan anaknya, karena sama seperti saat bekerja di kantor, bekerja dari rumah juga dibatasi oleh tenggat waktu. Bila diperlakukan sebagai aktifitas sambilan dan sebentar-sebentar interupsi dengan anggota keluarga, maka bekerja dari rumah menjadi tidak efektif lagi.

Bekerja dari rumah juga tidak selalu berarti seseorang yang tadinya punya baby sitter menjadi tidak perlu bantuan mereka, karena tetap saja ada jam kerja yang terbatas dan perlu konsentrasi untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan. Baby sitter tetap dibutuhkan untuk menemani si kecil sementara dia bekerja. Sosialisasi tenang disiplin waktu ini diperlukan karena anggota keluarga atau seorang tamu bisa menyangka bisa mengajak ngobrol sang profesional selama dia berada di rumah.


Mungkin bekerja dari rumah dapat disamakan dengan dokter yang praktek di rumah. Si dokter punya ruang praktek yang terpisah dari ruang keluarga sehingga meminimalkan interupsi dari anggota keluarga. Kemudian selama dia bekerja, misalnya dari jam 17.00 hingga pukul 22.00 malam, anggota keluarga si dokter mengerti bahwa mereka tidak boleh mengganggu si dokter yang sedang melayani pasien.

Tanpa kesadaran seperti anggota keluarga dokter tersebut, bekerja dari rumah akan sulit mendapatkan hasil yang maksimal. Nah, buat teman-teman yang tertarik mengetahui lebih jauh tentang kiat-kiat ngantor dari rumah, bisa baca tulisan Wagenugraha di Tabloid PC Plus edisi 06 juli – 19 juli 2010. (undil – 2010)



tags: tips sukses bekerja dari rumah

Romo Wage dan Warung Penjual Minuman Keras



Pertamakalinya Romo Wage datang ke kota itu, masih banyak warung yang menyediakan minuman keras. Botol-botol arak terselip diantara deretan minuman ringan. Di warung-warung kecil di tengah kampung di pinggiran kota-pun dengan mudah dapat ditemui penjual minuman keras.


Tentu saja Romo Wage merasa jengah dengan pemandangan itu. Gerombolan anak SMP berjalan beriringan di tepi sawah sambil menenteng botol-botol arak sepulang sekolah adalah pemandangan biasa dan mudah ditemui. Kadang-kadang terjadi peristiwa penduduk meringkus sekelompok anak-anak SMA yang mabuk di gubuk pinggir kampung karena mereka mulai meneriaki orang-orang yang melintas di dekat gubuk. Semua itu membuat Romo Wage merasa perlu berbuat sesuatu.

Semuanya dimulai saat Romo Wage memberi kuliah shubuh di masjid pagi itu. Romo Wage mengatakan pada jamaah masjid bahwa hari itu dirinya akan memulai satu langkah kecil. Sejak shubuh itu, sebelum membeli sesuatu di warung, Romo Wage akan bertanya apakah di warung tersebut tersedia minuman keras. Bila ternyata terdapat minuman keras, maka Romo Wage membatalkan niatnya untuk belanja.

Begitulah selama berbulan-bulan Romo Wage melakukan hal yang sama setiapkali belanja ke warung yang berbeda. Romo Wage juga menceritakan tindakannya pada teman-teman bisnisnya maupun tetangga-tetangga dekatnya. Beberapa tetangga yang juga merasa khawatir setelah melihat beberapa anak muda terseret ke dunia hitam akibat kecanduan minuman keras, juga telah mulai tertarik melakukan hal yang sama. Mereka sepakat menolak belanja di warung yang masih menjual minuman keras.

Gerakan yang dipelopori Romo Wage itu semakin lama semakin banyak pengikutnya. Dari mulut ke mulut kabar tentang boikot terhadap warung-warung yang menjual minuman keras semakin berhembus kencang. Dari satu rapat RT ke rapat RT yang lain. Dari satu arisan ke arisan, tentu saja disertai bumbu berupa kisah-kisah nyata tentang malapetaka yang menimpa para pemabuk. Gerakan moral tersebut mendapat pengikut baru seiring semakin luasnya kekhawatiran para Ibu-ibu terhadap masa depan anak-anaknya bila bergaul dengan para pemabuk.

Para istri yang suaminya masih berjualan minuman keras tidak berani lagi ikut arisan, pertemuan RT atau acara keluarga karena selalu menjadi bulan-bulanan ibu-ibu lain yang jengkel karena mereka mencari untung dari hancurnya masa depan generasi muda atau malahan masa depan para suami yang kecanduan arak. Diam-diam gerakan itu menemukan bentuk efektifnya, dengan tercetusnya ide sanksi sosial berupa pengucilan terhadap para penjual arak.


Perlahan namun pasti warung-warung berpikir dua kali untuk menyediakan minuman keras karena penurunan pembeli mulai terasa. Bahkan banyak Ibu-ibu yang tidak puas dengan hanya tidak membeli, mereka juga menegur teman atau tetangga yang masih saja belanja ke tempat-tempat yang menyediakan minuman penghilang akal sehat itu. Akibatnya orang yang akan belanja ke tempat itu berpikir dua kali karena malas berdebat dengan ibu-ibu yang menegurnya

Kekuatan gerakan itu semakin menakutkan para penjual minuman keras setelah sebuah pasar swalayan besar yang tadinya laris dijubeli pembeli, tiba-tiba menjadi sepi setelah pemiliknya terang-terangan menghina gerakan boikot penjual minuman keras. Hanya seminggu setelah penghinaan itu spanduk-spanduk boikot terhadap swalayan tersebut telah tersebar di seluruh sudut kota. Spanduk-spanduk tersebut dibiayai sendiri oleh para ibu-ibu yang marah atas arogansi pemilik swalayan. Akibatnya orang enggan bertandang ke swalayan tersebut karena takut dianggap sebagai pendukung musuh masyarakat.

Penduduk yang menyewakan tanahnya untuk dijadikan toko atau warung-pun kini mulai menolak penyewa yang akan menjual minuman keras. Swalayan terbesar di kota juga terpaksa menurunkan minuman keras dari rak-rak swalayan setelah Haji Hasan, sang pemilik tanah, mengancam akan memutuskan kontrak sewa bila swalayan itu nekad menjual minuman keras. Pak Johny Renato, pemilik belasan kios di pasar juga tak ragu memutus kontrak beberapa penyewa yang ngotot menjual minuman keras, meskipun dia harus mengembalikan seluruh uang sewa kepada mereka.

Efek bola salju penolakan terhadap minuman keras telah menyebabkan jumlah warung penjual minuman keras mulai menurun. Warung-warung mulai menolak kiriman botol-botol minuman keras dari para distributor walaupun keuntungannya menggiurkan. Namun Ibu-ibu belum puas, mereka ingin semakin banyak lagi warung yang menurunkan minuman keras dari rak-rak barang dagangan (undil, 27 Juni 2010)

Catatan: romo adalah panggilan untuk bapak dalam bahasa jawa

Gambar diambil dari: boston.com
(reaksi Djibril Cisse melihat temannya di kartu merah, piala dunia 2010 Afrika Selatan)

Benarkah Kita Butuh Sesuatu yang Spesial ?


klik gambar untuk melihat dalam ukuran lebih besar

Benarkah untuk dapat bermain tali dengan baik kita harus berkonsultasi dengan seorang profesional agar dibuatkan desain tali yang sesuai dengan karakteristik tubuh kita?. Benarkah main lompat tali serumit itu?. Bila pertanyaan itu ditanyakan seorang anak TK kepada kita, tentu kita akan menjawab tidak! Bahkan mungkin diiringi dengan tertawa geli melihat keluguan pertanyaan mereka.

Episode “Jump Rope” komik strip peanuts ini adalah salah satu episode terbaik yang pernah saya baca. Isinya kena banget dengan fenomena yang bisa kita temui sehari-hari. Terkadang seseorang menganggap dirinya atau sesuatu yang dikerjakannya begitu uniknya, sehingga tidak dapat ditangani dengan metode yang dipergunakan orang lain. Segala sesuatu dianggap harus dikustomisasi agar sesuai dengan kebutuhan spesifik si subyek, yang kemudian akan berujung menjadi rumitnya suatu urusan yang sebenarnya bersifat sederhana.

Di dunia kerja seseorang dapat dengan mudah mengatakan bahwa departemennya unik, beda dengan departemen lain, sehingga tidak dapat mempergunakan suatu software aplikasi yang sukses dipergunakan oleh departemen lain. Padahal sebenarnya departemen tersebut sama saja dengan departemen lain, dan juga merupakan departemen yang banyak terdapat di perusahaan lain.

Bisa saja seseorang atau sekelompok orang menolak untuk mengikuti aturan perusahaan, karena menganggap dirinya unik, dan punya tugas khusus. Sehingga sudah sewajarnya bila dia berada di luar aturan itu. Tentu saja sikap-sikap seperti itu akan menjadi halangan bagi keteraturan perusahaan.

Pada level antar perusahaan-pun perasaan unik itu dapat terjadi. Bisa saja satu perusahaan menganggap dirinya berbeda dengan perusahaan lain, sehingga menolak mentah-mentah tawaran untuk mengikuti suatu metode baru yang terbukti berhasil membuat kemajuan di banyak perusahaan lain.

Kasus-kasus menganggap sesuatu harus dicustomize agar sesuatu tersebut dapat berjalan lancar adalah salah satu tantangan yang harus diatasi untuk membuat perusahaan menjadi sederhana dan lincah. Caranya dengan cara membuka mata lebar-lebar dan memperluas wawasan.

Sesuatu yang sederhana tidak perlu dibuat komplek hanya karena kita menganggap diri kita, pekerjaan kita atau tugas yang kita hadapi adalah sesuatu yang lain daripada yang lain. Sebelum memutuskan bahwa kita membutuhkan “sesuatu yang khusus”, terlebih dahulu harus dipertimbangkan masak-masak. Benarkah sesuatu yang kita tangani beda dengan orang lain?.


Sesuatu yang sederhana bisa menjadi rumit bila kita menganggapnya rumit. Seperti halnya lompat tali yang sederhana bisa menjadi rumit karena kerumitan cara berpikir. Jika dilihat sekilas sepertinya proses perumitan tersebut sangat wajar dan masuk akal. Misalnya dalam kasus lompat tali, terasa wajar saja bila panjang tali harus disesuaikan dengan tinggi badan maupun panjang tangan si anak. Kemudian terasa tidak berlebihan bila ukuran pegangan tali harus disesuaikan dengan ukuran jari-jari tangan si anak.

Sepintas terlihat wajar, namun sebenarnya berlebihan karena terdapat titik tengah ukuran yang sesuai untuk semua anak. Ada ukuran yang bersifat universal, tidak perlu membuat satu ukuran tali untuk setiap anak. Pendeknya perbedaan-perbedaan kecil dapat diabaikan, agar sesuatu dapat segera dilakukan tanpa diperumit dengan segala macam kustomisasi (undil, 23 Juni 2010).

Tragedi Kuliner Dua Jalan

Adalah dua buah jalan membentang sejajar dari utara ke selatan yang berjarak 50 meter. Jalan tersebut bernama Jalan Mendung Utara dan Jalan Mendung Selatan yang terletak di pinggir kota. Alkisah setelah dibukanya jalan tembus menuju perumahan padat penduduk di kawasan selatan kota, kedua jalan tersebut tumbuh menjadi pusat kuliner.

Mula-mula ada satu dua tukang pecel lele yang mendirikan tenda di tepi jalan yang masih berupa lahan kosong. Berikutnya disusul oleh tukang sate ayam dan tukang nasi goreng. Tak lama kemudian muncul para pedagang lain dan penduduk sekitar yang berlomba-lomba membuka warung makanan.

Jalan Mendung Utara maupun Jalan Mendung Selatan dalam waktu singkat menjadi ramai pengunjung di sore dan malam hari. Penduduk perumahan di kawasan selatan kota senang menikmati makan malam di dua jalan tersebut karena dekat dengan rumah mereka dan ketrampilan para tukang warung dalam meracik cita rasa makanan tidak kalah dari restoran-restoran di jantung kota.

Warung-warung di kedua ruas jalan tersebut sama larisnya dan sama tingkat perkembangannya sampai tiga tahun kemudian. Namun menginjak tahun keempat mulai terasa perbedaan. Jalan Mendung Selatan semakin lama semakin dipadati pengunjung, sementara warung-warung di Jalan Mendung Utara makin hari makin sepi pengunjung. Bahkan beberapa warung mulai gulung tikar karena besar pengeluaran dibanding pemasukan.

Mengapa?

Rupanya ada hal yang membedakan dari sisi kenyamanan pengunjung. Hal itu berpangkal dari kepedulian Ketua RW dan para pemuda kampung di tepi Jalan Mendung Selatan terhadap kondisi warung-warung kuliner yang ada di sana. Sementara Ketua RW maupun pemuda kampung di Jalan Mendung Utara tidak begitu memperhatikan perkembangan wisata kuliner di wilayahnya.

Ruri Ernanda, Sang Ketua RW sangat peduli dengan kondisi warung-warung tenda di Jalan Mendung Selatan. Dia bekerjasama dengan pemuda kampung berusaha keras menjaga keteraturan dan kenyamanan Jalan Mendung Selatan. Melalui tangan Junsu, si Ketua Pemuda Kampung, pihak RW mengendalikan sepenuhnya hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan di jalan itu. Misalnya warung-warung dilarang keras menjual wine dan makanan haram lainnya. Sampah tidak boleh dibuang sembarangan. Harga-harga makanan harus terpampang dengan jelas dan bila terbukti ada pedagang menipu pengunjung maka dia akan diusir dari jalan itu.

Junsu juga melarang pengamen beroperasi di Jalan Mendung Selatan karena dianggap mengganggu pengunjung warung. Walaupun belakangan Junsu melonggarkan peraturan dengan menyediakan titik-titik tertentu untuk dipergunakan pengamen beraksi menghibur pengunjung, tetapi mereka tetap dilarang berkeliling dari warung ke warung. Junsu juga mengerahkan pemuda kampung untuk secara rutin mengawasi tempat itu sehingga para preman dan wanita malam segan beroperasi di Jalan Mendung Selatan. Hasilnya Jalan Mendung Selatan merupakan tempat makan malam yang nyaman bagi para pengunjungnya.

Ketua RW secara rutin mengadakan pengajian mingguan untuk membina mental pedagang dan terus menerus mensosialisasikan perlunya mereka ikut menjaga keamanan dan kebersihan tempat mereka berdagang. Tak boleh ada kegiatan maksiat di tempat mereka berdagang, karena pada akhirnya akan merugikan mereka semua. Baik Ketua RW maupun Ketua Pemuda secara terus menerus menegaskan bahwa warga kampung sama sekali tidak akan memberi toleransi bagi pedagang yang sengaja melanggar aturan yang telah disepakati bersama. 

Selama tahun pertama saja sudah delapan pedagang yang diusir dari Jalan Mendung Selatan karena ketahuan menjual wine secara sembunyi-sembunyi. Pedagang gak bener ini rata-rata pindah ke Jalan Mendung Utara yang tidak peduli dengan aktifitas negatif para penjual makanan.

Di Jalan Mendung Utara kondisinya sangat kontras. Di jalan itu Ketua RW maupun pemuda kampung permisif terhadap segala sesuatu yang dilakukan pedagang maupun pengunjung. Wine dijual dengan bebas sehingga setelah lewat jam 10 malam, di jalan tersebut sering ditemui sekelompok pemuda mabuk yang terkadang memicu perkelahian. Akibatnya pengunjung enggan datang setelah lewat jam 10 malam.

Sampah yang bertebaran karena tidak ada yang merasa perlu menyediakan tempat sampah dan juga parkir semrawut yang sering membuat pengunjung jengkel karena tidak bisa mengeluarkan mobil yang terhalang mobil lain. Belum lagi pengamen yang berdatangan dalam jumlah luar biasa banyak. Dalam sekali duduk untuk makan, seorang pengunjung bisa didatangi kelompok pengamen yang berbeda sebanyak 10 kali, saking banyaknya pengamen. Sebagian pengunjung yang merasa terganggu enggan balik lagi untuk makan.

Sementara para pengamen di Jalan Mendung Selatan karena hanya boleh mengamen secara bergiliran di lokasi tertentu maka mereka tidak mengganggu pengunjung. Para pengamen mau tidak mau berusaha keras menarik perhatian pengunjung agar mampir ke tempat pengamenan agar mendapatkan uang. Akibatnya mereka melakukan berbagai macam cara, dari mulai membawa peralatan musik lengkap dari drum, gitar, biola & saxophon sampai melakukan atraksi-atraksi akrobatik untuk menarik orang datang. Tentu saja hal itu membuat para pengamen di Jalan Mendung Selatan benar-benar berusaha keras menyuguhkan perfoma sebaik mungkin untuk menghibur pengunjung.

Ternyata kepedulian Ketua RW dan para pemuda kampung membuat Jalan Mendung Selatan relatif bebas dari gangguan dan membuat para pengunjung merasa nyaman untuk datang hingga larut malam. Hal itulah yang membuat wisata kuliner di Jalan Mendung Selatan dapat bertahan dan terus berkembang.

Perkembangan pesat itu membuat banyak lapangan kerja tersedia bagi penduduk, baik sebagai pemilik warung, tukang masak, penjaga warung, pemasok bahan-bahan yang dibutuhkan warung hingga bisnis rumah kontrakan untuk pekerja warung. Tentu saja semua manfaat itu membuat penduduk kampung semakin sadar untuk terus mengawal Jalan Mendung Selatan agar tetap aman dan nyaman bagi pengunjung (undil – juni 2010)

Puisi Ulang Tahun: Tujuan Pasti

Saat tiba waktumu
Mengapa tak bertanya pada dirimu
Kemanakah kaki akan melangkah?
Di daratan mana kapalmu akan berlabuh?
Jangan mau jadi sampan tak berdayung
Terombang-ambing di pelayaran tak berujung
Aku sangat yakin pada dirimu teman
Tujuan hidupmu tentu telah kau tancapkan
Tegas dan pasti layaknya manusia sejati
Selamat ulang tahun teman
Doaku untuk masa depanmu


Puisi Isyarat untukmu Kulukis di Langit Malam




Kulukis isyarat di langit malam
Besar dan Gagah
Jelas dan Nyata
Berbahan bintang-bintang
yang terang benderang
di atas tabir gelap malam
Berharap dirimu
nun jauh disana melihat
Lalu mengerti



Gambar diambil dari physics.unlfv.edu

Romo Wage berdebat dengan tukang presentasi




Romo Wage kesal bukan kepalang dengan tampilnya kembali Pak Wagu dengan konsep-konsepnya tentang pengelolaan sampah di kampungnya. Tidak tanggung-tanggung, Pak Wagu membawa infocus sendiri dari rumahnya untuk melakukan presentasi di ruang pertemuan milik kampung ini.


Pak Wagu sukses memukau para hadirin dengan presentasi yang berapi-api plus gambar-gambar menarik yang entah diambil dari mana. Konsep pengumpulan sampah di satu tempat untuk diolah dan didaur ulang itu benar-benar nampak realistis dan mudah diterapkan. Sayangnya semua konsep itu sudah disampaikan Pak Wagu sejak tiga tahun lalu.

Sebenarnya Romo Wage tidak keberatan dengan segala usul Pak Wagu, andai saja usul itu selanjutnya diterapkan. Entah sudah berapakali Pak Wagu melakukan presentasi tentang konsep pengelolaan sampah terpadu. Dari hari ke hari presentasi semakin menarik dan semakin membuat orang-orang terkesan.

Tapi sayangnya selama 3 tahun ini tak pernah nampak ada kemajuan. Yang ada hanyalah pembentukan tim peninjau yang tak juga nampak hasilnya. Sementara dengan semakin padatnya penduduk kampung, membuat orang mulai susah mencari tempat pembuangan sampah. Aroma busuk khas tumpukan sampah organik yang terlambat diangkut mulai mengganggu lingkungan sekitar. Belum lagi tikus-tikus raksasa dekil yang berbondong-bondong datang untuk berpesta pora di atas tumpukan sampah itu.

Tim peninjau sebenarnya bertugas untuk mencari lokasi yang paling tepat untuk mendirikan tempat pengelolaan sampah – tapi tak juga ketemu lokasi yang diinginkan. Yang terjadi adalah mereka berdebat tentang lokasi tempat pembuangan sampah yang ideal – dan setelah ketemu tempatnya harga sewanya terlalu mahal untuk dipikul dari hasil iuran penduduk kampung. Alhasil sampah di kampung tetap saja mengandalkan tukang sampah yang jumlahnya sangat terbatas dan hanya mampu mengangkut sampah dalam jumlah terbatas.

Nah di akhir presentasinya kali ini Pak Wagu kembali mengusulkan pembentukan Tim Peninjau dengan komposisi personel baru untuk menentukan lokasi pengolahan sampah terpadu. Namun kali ini Pak Wagu menambahkan dengan perlunya dibentuknya tim-tim lain untuk mendukung Tim Peninjau. Perlu ada Tim Perlengkapan untuk menentukan desain pengolahan sampah dan memilih alat-alat yang kelak akan dibeli.

Kemudian perlu Tim Operasional untuk membuat prosedur cara pengolahan sampah yag paling cocok diterapkan di kampung. Kemudian perlu Tim Lobby untuk melobby pemerintahan desa dan pemilik usaha atau toko-toko yang mau memberikan bantuan untuk mewujudkan tempat pengolahan sampah terpadu yang untuk bangunannya saja membutuhkan ratusan juta rupiah.

Diharapkan tim-tim tersebut setelah terbentuk segera melakukan meeting untuk selanjutnya kembali memberi presentasi pada warga kampung tentang konsep-konsep pengolahan sampah yang akan mereka ajukan.

Romo Wage benar-benar kesal dengan usulan pembentukan tim baru itu. Akhirnya dia tidak tahan lagi untuk terus berdiam diri. Segera setelah Pak Wagu selesai berpresentasi dan mendapatkan tepuk tangan meriah dari para warga kampung – Romo Wage bergegas mengacungkan tangan untuk minta waktu bicara.

“Saudara-saudara sekalian. Saya sangat menghargai semua konsep Pak Wagu tentang pengelolaan sampah terpadu. Sungguh sebuah ide brilian yang mungkin belum pernah ada satu orang-pun di daerah kita yang pernah melakukannya” kata Romo Wage

Hadirin bertepuk tangan dengan riuh pertanda setuju banget dengan pujian Romo Wage.

“Namun Bapak-bapak sekalian, usulan Pak Wagu baru bisa kita terapkan setelah semua tim itu sukses bekerja. Sedangkan tim yang pernah kita bentuk tiga tahun lalu saja belum bisa menghasilkan apa-apa. Dana ratusan juta yang kita butuhkan untuk membuat tempat pengolahan sampah terpadu itu – belum tentu dapat kita kumpulkan dalam jangka waktu lima tahun. Jadi intinya saya sangat mendukung presentasi Pak Wagu, tapi sebagai rencana jangka panjang kita. Untuk jangka pendek saya rasa perlu ada tindakan lain yang lebih aplikatif”

Hadirin tampak mulai ribut. Sebagian besar tampak menggeleng-geleng tidak setuju, sedang ada sebagian kecil yang mengangguk-angguk tanda setuju.


“Saya punya usulan sederhana saja untuk mengolah sampah. Pertama kita pisahkan sampah organik untuk diolah di lubang biopori yang akan kita buat di rumah masing-masing. Kemudian sampah berupa bungkus makanan yang terbuat dari plastik bisa kita kumpulkan ke rumah Pak Catur Wibisono yang sehari-hari berwirusaha sebagai pembuat aneka kerajinan tangan. Saya rasa beliau dalam waktu singkat dapat belajar membuat barang-barang dari bungkus plastik bekas itu. Dengan cara itu sampah yang harus diangkut tukang sampah jumlahnya jauh berkurang, sehingga tidak lagi menumpuk di depan rumah kita” kata Romo Wage

Hadirin nampak mulai tertarik dengan kata-kata Romo Wage. Sebagian mulai bertanya-tanya tentang lubang biopori, baik itu cara pembuatan maupun manfaatnya. Setelah dijelaskan oleh Romo Wage, nampaknya mereka mulai tertarik untuk mencobanya di rumah. Pak Catur Wibisono juga nampak setuju dengan usulan Romo Wage tentang pemanfaatan plastik bungkus bekas, sambil bercerita bahwa dirinya pernah mendapat kursus dari dinas tenaga kerja tentang cara membuat tas, dompet, karpet dan aneka barang dari plastik bekas kemasan makanan.

“Saya punya lima buah bor biopori di rumah saya. Siapa diantara Bapak-bapak yang mau saya ajari dan kemudian mengajari tetangga-tetangga yang lain untuk membuat lubang biopori?” tanya Romo Wage

Beberapa orang mengacungkan tangan pertanda bersedia menjadi sukarelawan yang akan mengajarkan cara pembuatan lubang biopori. Saat Romo Wage menawarkan siapa yang mau menjadi sukarelawan yang setiap minggu mengambil sampah plastik kemasan makanan dari rumah-rumah penduduk, beberapa pemuda anggota remaja masjid mengacungkan tangan. Maka Romo Wage merasa puas dengan tanggapan penduduk.

“Nah Bapak-bapak rencana jangka pendek kita untuk mengolah sampah sudah siap. Mulai besok pagi saya harapkan Bapak-bapak mulai mengingatkan seluruh anggota keluarga untuk memisahkan sampah plastik kemasan makanan untuk diambil pertugas setiap minggu. Terus Bapak-bapak bisa menghubungi para sukarelawan untuk mengajarkan cara membuat biopori di rumah. Saya rasa kalau Bapak-bapak mau membuat lubang biopori, masalah sampah organik yang berbau busuk akan segera kita atasi dalam sebulan mendatang” kata Romo Wage dengan lugas.

^_^

Persis dengan perkiraan Romo Wage, dalam jangka waktu sebulan masalah sampah organik telah teratasi dengan pembuatan belasan lubang biopori di setiap rumah penduduk. Sampah-sampah plastik bekas kemasan makanan diolah menjadi aneka barang kerajinan oleh Pak Catur Wibisono dengan melibatkan pemuda-pemuda kampung. Sampah-sampah lain tetap diambil secara rutin oleh tukang sampah, dan meskipun kadangkala baru diambil setelah beberapa hari tidak menimbulkan bau busuk karena sampah organiknya telah pisahkan untuk diolah di lubang biopori.

Usulan Pak Wagu tentang pembuatan tempat pengolahan sampah terpadu-pun dengan cepat dilupakan oleh penduduk kampung seiring lenyapnya bau-bauan sampah setelah adanya lubang biopori (Undil – Mei 2010).

Catatan: Romo adalah panggilan untuk bapak dalam bahasa jawa

Menolong Korban Banjir dengan Biopori

Menolong korban banjir dapat dilakukan dengan cara seketika, yaitu cepat dan manfaatnya dirasakan saat itu juga, dengan cara menggalang dana, mengumpulkan bahan makanan & pakaian, menyediakan obat-obatan dan kemudian melakukan bakti sosial berupa pembagian logistik dan melakukan pengobatan massal. Dapat juga ditambah dengan pengerahan orang secara besar-besaran untuk membantu melakukan pembersihan bekas-bekas banjir dan memperbaiki fasilitas-fasilitas umum yang mengalami kerusakan.


Menolong korban banjir dengan cara preventive akan memberi manfaat jangka panjang

Kegiatan-kegiatan di atas perlu dilakukan untuk memberikan pertolongan pertama pada korban banjir dan mencegah mereka mengalami penurunan kualitas hidup yang drastis, bisa berupa kekurangan makanan, tidak ada tempat berteduh ataupun jatuh sakit tanpa ada yang mengobati. Nampaknya kegiatan- sosial seperti diatas sudah banyak dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat umum baik secara individu ataupun melalui organisasi dan perusahaan.

Cara lain menolong korban banjir adalah cara preventive, yang manfaatnya tidak cepat dirasakan tetapi akan dirasakan terus menerus dalam jangka waktu lama. Cara preventive meminimalisir kemungkinan mereka terkena banjir lagi di tahun-tahun berikutnya. Namun nampaknya kegiatan preventif ini belum begitu populer dilakukan, sehingga perlu upaya lebih untuk memperkenalkan kepada masyarakat. Bentuk dari upaya-upaya preventif ini sebenarnya sudah diketahui oleh masyarakat luas.

Kegiatan seperti penghijauan, membuang sampah pada tempatnya, memperbaiki saluran air dan membuat sumur resapan adalah hal-hal yang bisa dilakukan untuk menolong korban banjir yang manfaatnya memang tidak akan dirasakan saat itu juga, tetapi akan berdampak jangka panjang, yaitu mencegah mereka mengalami kebanjiran untuk kesekian kalinya.

Salah satu cara paling sederhana, murah dan dapat dilakukan siapa saja untuk menolong korban banjir adalah membuat lubang biopori. Biopori akan membantu terjadinya penyerapan air hujan ke dalam tanah sehingga mengurangi peluang terjadinya genangan air yang akan menyebabkan banjir. Biopori adalah sebuah lubang vertikal di tanah, dengan diameter lubang sekitar 10 cm dan kedalaman sekitar satu meter. Ada alat khusus untuk membuat biopori, yaitu berupa sebuah bor terbuat dari besi yang berguna untuk mempermudah kita membuat lubang vertikal di atas tanah.


Lubang biopori diisi sampah-sampah organik seperti sisa-sisa sampah dapur, daun-daun kering , potongan rumput dan sisa makanan. Sampah organik tersebut berfungsi sebagai bahan makanan bagi organisme penghuni biopori. Dengan adanya bahan-bahan organik tersebut akan terdapat organisme-organisme yang tinggal dan membuat terowongan-terowongan di dinding biopori sehingga bila terdapat air hujan akan segera terserap ke dalam tanah lewat terowongan tersebut.

Fungsi biopori mirip dengan sumur resapan, yaitu membantu air hujan meresap ke dalam tanah. Pada saat terjadi hujan, air akan lebih cepat meresap ke dalam tanah melalui lorong-lorong yang terdapat di lubang-lubang biopori. Biopori dalam jumlah optimal akan mempercepat proses peresapan air di suatu lokasi, sehingga genangan air yang akan mengakibakan banjir dapat dicegah. Setidaknya keberadaan biopori dapat mengurangi volume air yang tidak terserap ke dalam tanah sehingga peluang terjadinya banjir dapat diperkecil.

Tentu saja biopori bukan saja dibuat di lokasi banjir, karena bisa jadi banjir berasal dari daerah lain yang lokasinya lebih tinggi. Biopori perlu juga di buat di daerah-daerah yang tidak pernah banjir, untuk mencegah wilayah itu mengirimkan air hujan ke wilayah lain, misalnya melalui sungai sehingga memicu terjadinya luapan air sungai di tempat lain.

Barangkali perlu semacam contoh sekumpulan biopori di sebuah lokasi untuk menjadi tempat belajar bagi masyarakat yang ingin tahu lebih banyak tentang biopori. Nah, di lokasi tersebut orang dapat melihat, mengamati dan belajar membuat biopori untuk kemudian diterapkan di lingkungan masing-masing.

Dengan cara itu diharapkan akan semakin banyak orang yang membuat biopori di rumahnya sehingga akan semakin banyak air yang terserap ke tanah di kala hujan. Ujung-ujungnya frekuensi banjir berkurang. Yah, biopori adalah salah satu langkah sederhana untuk membantu korban banjir yang memiliki manfaat jangka panjang . Senangnya bila ada perusahaan yang menyediakan lahannya sebagai tempat percontohan pembuatan biopori! (undil-2010)

Gambar diambil dari: boston/bigpicture

Cerpen Sang Kancil dan Batu Besar di Tengah Jalan

Gempa dahsyat yang melanda Hutan Gungliwangliwung telah menyebabkan sebuah batu besar bergeser dan menggelinding dari puncak bukit lalu jatuh nyungsep tepat di tengah jalan sempit yang membelah hutan. Akibatnya binatang-binatang kesulitan melewati jalan itu, sehingga mereka harus menempuh jalan memutar saat berpergian.

Maka diadakanlah pertemuan besar yang dihadiri oleh seluruh binatang penghuni hutan -- kecuali Sang Kancil yang sedang melakukan penelitian di sebuah gua yang terletak nun jauh di ujung utara hutan. Alhasil tanpa kehadiran Sang Kancil yang bijaksana -- dalam pertemuan itu hanya binatang besar-besar seperti Gajah, Banteng, Singa dan Elang yang berani angkat bicara untuk memecahkan masalah batu besar. Binatang-binatang kecil memilih berdiam diri karena merasa masalah tersebut terlalu besar buat mereka.


Sang Kancil Sedang Melakukan Riset Kombinasi Warna
(sumber: animalpicturesarchive.com)


Baik Gajah, Banteng, maupun Singa mengusulkan cara yang sama untuk menyingkirkan batu besar. Yaitu dengan membuat tali-tali yang kuat lalu diikat erat-erat pada batu besar tersebut. Para binatang besar itu akan menariknya hingga batu besar tersingkir dari jalan raya.

Elang mengusulkan batu besar dimasukkan ke dalam jala raksasa, lalu mereka akan membawanya terbang dan membuangnya ke jurang. Namun usulan Elang sulit diterima, karena para binatang tidak tahu bagaimana cara memasukkan batu besar ke dalam jala. Maka usulan mempergunakan tali temalilah yang diterima.

Namun sebelum Sang Monyet -- yang menggantikan Sang Kancil memimpin rapat umum penghuni hutan -- mengetukkan palu tanda keputusan telah diambil, majulah seekor kelinci menyampaikan usulan:

“Teman-teman sekalian, dari tadi kita hanya bicara kekuatan saja untuk mengatasi masalah kita. Lihatlah baik-baik, batu besar itu melintang di tengah jalan yang diapit dinding-dinding bukit yang terjal. Tampaknya kekuatan otot saja tidak akan cukup untuk menyingkirkannya!. Saya rasa kita butuh ilmu pengetahuan untuk memecahkan masalah kita!” kata Kelinci.

Namun usulan itu nampaknya tidak disetujui oleh Monyet sebagai pemimpin rapat.

“Ooh, maksudmu kita butuh ilmu pengetahuan Sang Kancil untuk mengatasi masalah ini!?. Wah-wah gimana yah? Nampaknya tanpa kehadiran pemimpin kita, masalah ini akan dengan mudah kita atasi kok! Saya rasa kekuatan otot saja sudah cukup. Tidak perlu teori-teori yang muluk-muluk. Nggak perlulah kebijakan yang tinggi-tinggi untuk mengatasi masalah sederhana ini. Cukup dengan bantuan tenaga Singa atau Gajah, masalah dengan sendirinya akan teratasi” jawab Monyet

Kemudian Singa sebagai binatang besar juga nampak tidak senang dengan usulan Kelinci. Mantan raja hutan ini merasa Sang Kancil yang tubuhnya kecil itu tidak akan mampu mengatasi masalah yang butuh kekuatan besar ini.

“Nggak perlulah kita tunggu Sang Kancil. Beliau itu walaupun cerdas, tapi tubuhnya kecil. Jadi takkan mampu menyingkirkan batu sebesar itu! Ini adalah masalah yang butuh tenaga besar. Bukan masalah yang bisa diatasi para kutu buku!” kata Singa dengan kesal.

Seekor Gajah besar menyeruak diantara kerumunan lalu nimbrung ikut ngomong.

“Yah betul-betul-betul! Ini urusan binatang besar-besar seperti kami. Biarlah beliau menyelesaikan penelitiannya yang kelak akan berguna bagi kita semua. Lagipula Sang Kancil hanya belajar soal mengangkat beban berat dari buku-buku. Kami yang sering praktek langsung mengangkut batang-batang pohon raksasa tentu lebih berpengalaman dibanding beliau. Jadi lebih baik masalah ini diserahkan pada kami saja tanpa melibatkan Sang Kancil” kata Si Gajah besar yang tubuhnya bau durian karena habis melalap habis puluhan buah durian dari satu pohon durian raksasa yang telah berusia puluhan tahun.

Terdengar suara kawanan gajah yang riuh rendah sahut menyahut menanggapi kata-kata Si Gajah bau durian. Ada yang setuju dan ada pula yang menentang. Nampaknya di antara kawanan Gajah ini banyak terdapat fans berat Sang Kancil yang tidak terima idolanya diabaikan dalam masalah ini.

Setelah suara-suara para Gajah reda, tiba-tiba muncul Burung Gagak yang terbang dan hinggap di depan Monyet. Sejurus kemudian burung itu berteriak lantang dengan suaranya yang parau:

“Gaook! Gaook!.....bedul, bedul, bedul kata Bang Gajah!. Bedul sekali teman-teman! Sang Kancil yang bijak hanya tahu teori saja dalam hal mengangkat beban berat. Pemimpin kita yang cerdas itu hanya tahu rumus-rumus saja, tidak pernah praktek mengangkut beban berat dengan tangannya sendiri. Walaupun secara rumus fisika beliau tahu cara menyingkirkan batu besar, tapi di lapangan beliau pasti kebingungan karena antara teori di dalam buku-buku dengan kenyataan di lapangan jelas berbeda. Bisa-bisa beliau malahan jadi stres melihat kenyataan di lapangan lho..... hehehehe Gaook!, Gaook! ” kata Burung Gagak menutup pembicaraannya dengan tertawa terkekeh kekeh menertawakan usulan Kelinci.

Alhasil terjadilah pertengkaran hebat antara binatang yang menginginkan segera mengambil tindakan dengan yang ingin melibatkan Sang Kancil. Sampai akhirnya Monyet yang memimpin rapat umum memutuskan mengambil jalan tengah.

Diam-diam Monyet khawatir para fans berat Sang Kancil akan mengadukan bahwa dirinya telah mengabaikan Sang Kancil dalam pengambilan keputusan penting ini. Bisa-bisa dirinya kena marah dan diberhentikan dari kedudukan sebagai sekretaris hutan. Alamat dirinya bakalan jadi pekerja di kebun pisang milik Pak Gorila lagi dirinya. Secara Monyet sudah bosan manjat-manjat pohon pisang setiap hari!.

Jalan tengah yang diambil Monyet yang ingin cari selamat adalah melaksanakan usulan binatang besar untuk membuat tali temali yang akan dipergunakan untuk menarik batu besar. Bersamaan dengan itu Monyet mengutus Menthok untuk menjemput Sang Kancil.

Tentu saja Monyet memilih si Menthok! Secara dia sudah memperhitungkan bahwa dengan kelambanan gerakan Menthok, maka paling cepat Sang Kancil akan tiba di sini dalam waktu satu minggu. Waktu yang dipandang cukup oleh Monyet untuk proses penyingkiran batu besar oleh binatang-binatang besar. Jadi dirinya akan dapat membuktikan pada Kelinci dan para fans berat Sang Kancil lainnya bahwa tanpa kebijaksanaan Sang Kancil-pun masalah dapat teratasi.

Sementara itu Sang Kancil, si binatang paling bijak sehutan raya itu masih asyik di dalam Gua Selarong untuk melakukan penelitian resep-resep yang terdiri atas ramuan daun-daunan dan batu-batuan untuk mendapatkan kombinasi warna tertentu yang tahan terpaan panas dan hujan. Kombinasi warna-warna itu sangat diperlukan untuk membuat bermacam-macam penanda dan rambu penunjuk jalan di dalam hutan agar para binatang tidak tersesat. Dia masih akan meneliti selama satu minggu lagi andai saja Menthok tidak menjemputnya.

^_^

Bersamaan dengan keberangkatan Menthok menjemput Sang Kancil, para penghuni hutan bekerja keras memintal tali temali yang kuat. Tali temali tersebut kemudian diikatkan pada batu besar. Setelah tali terikat kuat, lalu binatang-binatang besar seperti Gajah, Singa, Gorilla dan Banteng secara beramai-ramai menarik tali itu agar batu besar dapat tersingkir dari tengah jalan.

Namun berkali-kali tali temali tersebut putus saat ditarik. Semakin kuat para binatang besar menarik tali, maka semakin cepat putuslah tali-tali itu. Bahan tali-pun telah berkali-kali diganti dengan bermacam-macam serat, namun tetap saja putus. Mulai dari rumput-rumputan, batang pisang, batang tebu, enceng gondok, tali rami hingga rotan, semuanya telah dicoba dan semuanya putus saat dipergunakan menarik batu besar.

Korban-korban mulai berjatuhan. Saat tali putus, ada saja binatang besar yang kepalanya terantuk tanah, kakinya terkilir atau tangannya patah. Singa yang gagah-pun nampak meringis-ringis kesakitan saat kakinya patah.

Sampai di hari ke-enam telah puluhan Gajah, Singa dan Banteng perkasa yang cedera, sedangkan batu besar tidak bergeser sedikitpun dari tempatnya. Akhirnya binatang-binatang besar itu menyerah kalah dan duduk-duduk kleleran di seputar batu besar sambil menunggu kedatangan pemimpin mereka yang rajin menuntut ilmu, yaitu Sang Kancil.

Monyet yang tadinya optimis mampu memecahkan masalah tanpa ilmu pengetahuan Sang Kancil-pun akhirnya tertunduk malu, mengakui bahwa ilmunya sangat kurang untuk mengatasi masalah besar seperti ini. Diam-daim dia mengakui kebenaran kata-kata Kelinci, bahwa kekuatan saja tidak akan cukup untuk mengatasi masalah ini.

^_^

Untunglah pada hari ketujuh muncullah Sang Kancil sambil diiringi Menthok yang berjalan megal-megol di sampingnya. Kancil nampak terkejut melihat belasan binatang besar yang tergolek terluka di sekitar batu besar. Kepalanya menggeleng-geleng tanda tidak setuju melihat tali-tali putus yang masih terikat pada batu besar.

Setelah diperiksanya binatang-binatang yang terluka, Sang Kancil mendiktekan ramuan-ramuan yang harus dibuat oleh Kuda untuk mengobati binatang-binatang besar yang terluka. Baru setelah itu Sang Kancil mendekati batu besar itu dan mengamatinya sejenak.

Diperintahkannya Monyet untuk mengumpulkan kembali binatang-binatang hutan. Kemudian Sang Kancil memimpin langsung pertemuan. Tanpa banyak kata-kata Sang Kancil langsung memerintahkan para binatang kecil seperti kelinci, tikus dan berang-berang untuk menggali lubang yang dalam & lebar di samping batu besar.

Setelah lubang besar siap, kemudian tanah di bawah batu besar secara pelan-pelan di keruk oleh Kelinci. Disusul para Gajah menyemburkan air di tanah sekeliling batu besar itu hingga pelan-pelan batu besar terguling ke dalam lubang besar. Setelah batu besar secara keseluruhan masuk ke dalam lubang besar, dengan cekatan para Banteng menutup lagi lubang tersebut dengan tanah. Kini batu besar telah lenyap dari tengah jalan.

Para binatang sangat terkagum-kagum dengan kebijaksanaan Sang Kancil. Ternyata kata-kata yang mengatakan bahwa teori-teori Sang Kancil hanya dapat diterapkan di buku-buku saja -- tidak terbukti. Hanya butuh beberapa jam bagi Sang Kancil untuk memecahkan masalah yang tidak mampu dipecahkan oleh para binatang besar selama satu minggu. Para binatang hutan merasa sangat beruntung memiliki teman Sang Kancil yang gemar meneliti untuk mendapatkan ilmu-ilmu baru. Berkat kebijaksanaan Sang Kancil kini para binatang hutan dapat kembali leluasa melintasi jalan raya yang membelah hutan (undil-2010).

Catatan: Cerpen ini diilhami cerita “Bagaimana Petani Membuang Batu” karya Leo Tolstoy, seorang sastrawan besar Rusia.

tags: cerita anak, cernak, cerpen, cerita pendek, dongeng sang kancil, serita manajemen, cerita psikologi

Hari Pertama Atika Pergi ke Sekolah

Atika heran melihat teman-temannya pagi ini berdandan rapi. Dyah dan Dini, keduanya memakai pita warna-warni di rambutnya. Dua anak perempuan itu juga memakai rok dari katun yang dihiasi renda-renda di bawahnya. Dyah bahkan memakai sepatu bisbos warna merah yang biasanya hanya dikenakan bila diajak ayahnya ke kota untuk melihat pasar malam Sekaten.

“Kalian mau kemana?” tanya Atika

“Aku dan Dini mau sekolah”

Atika tertegun mendengar jawaban Dyah. Sekolah bukanlah kata-kata baru baginya. Di belakang Balai Desa Brosot terdapat satu sekolah rakjat yang konon telah berdiri sejak jaman normal, saat pemerintahan Hindia Belanda masih berkuasa. Biasanya anak-anak yang lebih besar dari Atika yang bersekolah di sana. 

Dulu Atika berpikir sekolah itu bukan untuk dirinya dan teman-temannya. Dikiranya sekolah hanya untuk anak-anak yang ingin belajar menyanyi dan suka baris berbaris. Karena sering dilihatnya anak-anak sekolah pada latihan baris berbaris di lapangan. Jika dia lewat di dekat sekolah sering terdengar mereka sedang menyanyi bersama-sama dengan suara keras. Dia sendiri tidak tahu arti lagu yang mereka nyanyikan.

More we are together, together, together
More we are together, the happier will be




(sumber: idesign.com)



“Apa kalian sekolah karena ingin belajar menyanyi?” tanya Atika pada kedua temannya

“Iyah, aku ingin bisa menyanyi seperti sepupuku yang sudah sekolah sejak setahun yang lalu. Dia hapal banyak sekali lagu yang bagus-bagus” jawab Dyah

Lalu Dyah bercerita bahwa Ayah dari sepupunya itulah yang menyuruhnya bersekolah. Sebenarnya Si Paman yang bekerja di Kantor Residen di Wates itu berniat mengantar Dyah mendaftar sekolah. Namun karena sejak minggu lalu terjadi banjir besar di sana, maka Paman harus menjaga rumahnya. Lagipula Paman pasti kesulitan mendapatkan Andong  untuk membawanya ke sini. Terpaksalah Paman membatalkan niatnya untuk mengantar dirinya ke sekolah.

Untungnya sewaktu berkunjung ke rumah Dyah bulan lalu, Paman sempat membuat surat pengantar untuk dibawa Dyah saat pergi ke sekolah. Rupanya surat itu sengaja dibuat Paman untuk jaga-jaga jika dirinya berhalangan datang untuk menemani Dyah.


“Surat itu apa? Apa dia bisa bicara seperti manusia? ” tanya Atika dengan kening berkerut karena heran Paman Dyah bisa diwakili oleh sebuah benda bernama surat.

“Aku juga gak tahu. Katanya dia itu bisa bicara, tapi tidak terdengar suaranya dan anehnya orang yang diajak bicara bisa mengerti!” jawab Dyah sambil menunjukkan sepucuk surat yang terbungkus rapi dalam amplop

Atika tambah terheran-heran mendengar jawaban Dyah. Kertas itu tidak bisa bersuara tapi orang yang diajak bicara bisa mengerti?. Kok aneh yah?. Tiba-tiba saja Atika teringat pada ikan-ikan yang ada di kolamnya. Mereka juga tidak pernah bersuara, tetapi selalu kemana-mana bergerombol seperti sedang mengobrol. Mungkin surat itu berbicara seperti ikan, tidak terdengar suaranya tapi bisa dimengerti.


“Kata Paman kalau ingin bisa bicara dengan surat, kita harus sekolah” lanjut Dyah.

Mendengar penjelasan itu Atika jadi ingin ikut pergi ke sekolah. Ada apa saja di sana? Apa saja yang diajarkan sehingga mereka bisa bicara dengan surat?. Maka pagi itu Atika sambil bernyanyi-nyanyi riang membuntuti dua temannya berangkat ke sekolah.

Bebek adus kali
Kosokan sabun wangi
Bapak mundhut roti
Cah ayu diparingi

^_^

Ketika dua temannya masuk ke halaman sekolah, Atika tanpa ragu membuntuti di belakangnya. Saat keduanya masuk ke bangunan sekolah, Atika diam menunggu di luar. Semenit, dua menit, tiga menit hingga setengah jam mereka tidak juga keluar dari bangunan sekolah. Atika penasaran. Didekatinya pintu bangunan sekolah, lalu pelan-pelan dijulurkan kepalanya untuk melihat isi bangunan lewat pintu yang tidak tertutup.

Dilihatnya ruangan penuh dengan anak-anak yang sedikit lebih besar dari dirinya. Sebagian besar laki-laki, ada beberapa perempuan. Diantara mereka terdapat Dyah dan Dini yang duduk di bangku paling depan. Tangannya anak-anak itu terlipat rapi di atas meja, asyik mendengarkan seorang perempuan muda yang tengah bercerita. Cerita tentang Abunawas dan Raja Harun Al Rasyid. Satu tokoh dongeng favorit Atika yang sering didengarnya dari kakeknya bila beliau berkunjung ke rumah Atika.

Diam-diam Atika melangkahkan kaki memasuki ke ruangan. Kemudian berdiri di depan pintu sambil mendengarkan cerita perempuan muda itu. Tak terasa setengah jam berlalu kala perempuan itu selesai bercerita. Tiba-tiba pandangan matanya mengarah ke Atika.

Atika terkejut dipandangi oleh perempuan itu. Tapi kemudian dia tersenyum dan menganggukkan kepala tanda hormat pada orang yang lebih tua — seperti yang diajarkan ibunya. Perempuan itu mendekati Atika dan mulai bertanya

“Siapa namamu?”

“Atika Diandra Puspadewi”

“Berapa umurmu?”

Atika diam. Dia tidak tahu berapa umur dirinya. Tapi kata Ibunya dirinya dilahirkan pada tahun yang sama dengan Anggraini anak Pak Mantri. Kemarin Anggra mengundang dia dan teman-temannya untuk syukuran ulang tahunnya yang kelima. Jadi umurnya pasti juga lima tahun.

“Lima tahun Bu” jawab Atika dengan tangkas

“Panggil saja saya Ibu Guru” kata perempuan itu.

Kemudian Ibu Guru itu menyuruh Atika memegang telinga kiri dengan tangan kanannya dengan melewati bagian atas kepala. Ternyata tangan Atika belum cukup panjang untuk menyentuh telinga. Walaupun sudah dipaksakan, tak juga bisa menyentuh telinga. Tes sederhana ini biasa digunakan untuk mengetes kelayakan umur seorang anak untuk masuk sekolah. Namun hal itu nampaknya tidak dipermasalahkan oleh Ibu Guru. Perempuan dengan rambut berkepang dua itu malahan tersenyum, lalu bertanya pada Atika

“Kamu mau sekolah?”

“Mau Ibu Guru” jawab Atika dengan riang.

Ibu Guru mengambil sebuah buku besar, kemudian mengajukan serangkaian pertanyaan pada Atika.

“Kamu lahir tanggal berapa?”

Atika menggelengkan kepalanya. Tanggal dan tahun adalah dua hal yang tak pernah diperhatikan oleh dirinya. Dirinya hanya tahu jika Adik Bapak yang bekerja di Dinas Pengairan di kota sering berkata ada tanggal muda dan tanggal tua. Kalau tanggal muda berarti banyak uang, namun kalau tanggal tua berarti saatnya berhemat atau berhutang beras pada Ibu Atika.

“Tadi kamu bilang umurmu 5 tahun. Hmmm berarti kamu lahir tahun 1947. Tanggalnya...emmm 1 Januari saja biar mudah diingat. Nah, mulai sekarang Atika, kalau ada orang bertanya tentang tanggal lahirmu, jawabannya adalah 1 Januari 1947” kata Ibu Guru sambil tersenyum.

“Siapa nama Bapakmu?”

“Pak Harjo” jawab Atika karena dirinya ingat nama itulah yang dipakai tetangga-tetangganya untuk memanggil bapaknya. Ibunya memanggil Bapaknya dengan nama Mas Har. Tapi Atika berpikir kalau nama bapaknya tentu bukan Har saja, tapi Harjo. Dulu ada juga tetangganya yang memanggil dengan nama Harjo Blantik. Blantik adalah sebutan untuk tukang jual beli hewan seperti sapi dan kerbau. Karena bapaknya sudah lama tidak lagi jual beli hewan, maka Atika menganggap tambahan blantik itu juga ikut hilang. Jadi nama Bapaknya cukup Harjo saja.

“Siapa nama Ibumu”

Atika kaget. Dia tidak pernah tahu nama Ibunya. Yang dia tahu, tetangga-tetangganya memanggil ibunya dengan nama Bu Harjo. Tapi Atika ingat Bapaknya Dyah bernama Kardiman, lalu Ibunya dipanggil Bu Kardiman, istrinya Pak Mantri dipanggil Bu Mantri, jadi nama yang dimaksud Ibu Guru pastilah bukan nama yang itu. Pastilah ada nama lain yang dipakai ibunya.

Kemudian Atika mencoba mengingat-ingat nama panggilan Ibunya. Bapaknya selalu memanggil ibunya dengan panggilan Neng. Nenek memanggil Ibunya dengan Neng Fat.Pamannya memanggil dengan panggilan Mbak Fat. Sementara Bu Lilik tetangganya, memanggil dengan nama Mbak Fatim.

Cerpen Kisah Perjalanan Amara dan Eyang

Amara Hilda terheran-heran ketika Eyang Putri (nenek) justru mengajaknya ke kebun saat dirinya minta diantar ke pasar untuk membeli jajanan. Tangan kanan Eyang memegang galah bambu, sementara tangan kirinya menuntun tangan gadis kecil berusia 5 tahun itu. Ada belasan pohon pisang yang berbaris rapi di sisi kanan kebun. Perempuan itu dengan cekatan bergerak mendekati satu pohon pisang yang buahnya nampak mulai menguning.

Eyang mempergunakan galah bambu untuk mengunduh pisang. Ujung bambu yang runcing itu ditusuk-tusukkan ke bagian atas batang pisang, tepat di bawah untaian buah yang satu dua telah berubah menjadi kuning. Tak berapa lama kemudian pohon pisang mulai merunduk, dan perlahan-lahan condong ke bawah hingga buahnya menyentuh tanah.


picassos-girl-with-dove
(paintingsilove.com)

Dengan gesit Eyang memotong tandan pisang dengan pisau yang tajam berkilat. Beberapa sisir pisang yang telah dipotong itu lalu dimasukkan ke dalam wadah anyaman bambu.

Berikutnya Eyang mengajak Amara melihat petarangan Si Blorok, nama ayam kampung betina peliharaan Eyang. Petarangan adalah tempat khusus yang disediakan Eyang untuk tempat bertelur ayam-ayamnya. Dihitungnya telur-telur yang ada di petarangan Si Blorok, ada 8 butir. Eyang mengambil 5 butir dan menyisakan 3 butir.

Eyang beralih ke petarangan Si Putih dan mengambil 4 butir telur. Pada petarangan Si Brintik, Eyang mengambil 6 butir telur. Dengan hati-hati telur-telur itu ditempatkan pada tempat telur berbentuk persegi dengan lekukan-lekukan yang masing-masing berukuran satu telur pada posisi berdiri.

“Kita jual pisang dan telur, nanti uangnya kita belikan barang-barang yang kau inginkan!” kata Eyang pada Amara

Amara mengangguk tanda setuju. Baru pertamakali ini dirinya membeli sesuatu dengan terlebih dahulu menjual sesuatu untuk mendapatkan uang. Heran dan senang berkecamuk dalam hatinya. Bagaimana rasanya yah mendapatkan uang dari menjual sesuatu?. Sebentar lagi dirinya bakal merasakannya.

^_^

Mereka berdua berjalan beriringan menuju ke pasar. Eyang membawa pisang dan telur pada satu keranjang besar dari anyaman bambu yang ditenteng dengan tangan. Sementara Amara mendorong roda dorong mini yang berisi dua sisir pisang.


Eyang telah berkata pada Amara untuk belajar mendapatkan uang dengan tangannya sendiri. Amara-pun telah setuju dengan hati berbunga-bunga membayangkan akan mendapatkan uang dengan kerja sendiri. Makanya dia tidak mengeluh saat harus mendorong roda kecil bermuatan pisang menuju ke pasar.

Seorang tukang cukur menyapa Eyang tatkala mereka lewat di depan kiosnya. Amara dengan riang menceritakan bahwa dirinya sedang mencari uang untuk beli makanan kecil. Si Tukang Cukur tertawa senang mendengar kata-kata Amara yang penuh semangat. Katanya kelak bila cucunya telah seumuran Amara, akan dilatihnya mencari uang dengan sekali-kali membantunya membawakan bedak & handuk di kiosnya.

Seorang tukang sepatu menyapa Cucu dan Nenek itu kala mereka lewat di depannya. Eyang balas menyapa sambil menceritakan tentang Amara yang baru pertamakali akan menjual sesuatu ke pasar. Wajah tukang sepatu tampak terkejut, tapi kemudian tertawa melihat dua sisir pisang di roda dorong Amara. “Wah-wah semoga pisangnya cepat laku di pasar yah!” katanya sambil menepuk-nepuk kepala Amara. Gadis kecil yang bersekolah di TK itu tersenyum dan mengatakan bahwa dirinya akan menjual dua sisir pisang untuk mendapatkan uang buat jajan.

Ketika melintas di hadapan nenek tua yang berjualan beberapa buah pot tanah liat, Eyang berhenti sebentar. Dia duduk di depan nenek tua itu sambil bercakap-cakap. Sesaat kemudian Eyang mengeluarkan satu sisir pisang & dua butir telur, lalu mengulurkan pada nenek tua itu. Wajah nenek tua yang tadinya murung tiba-tiba berseri-seri sambil berkali-kali mengucapkan terimakasih pada Eyang.

Amara kaget, kenapa pisang dan telur yang akan dijual malahan diberikan pada nenek tua itu. Tapi Eyang tersenyum sambil menggandeng Amara meninggalkan tempat itu.

Sambil berjalan Eyang menjelaskan bahwa nenek tua itu telah berjalan sejauh 10 km sambil menggendong 5 buah pot bunga dari tempat pembuatannya. Pot-pot yang dia jual belum tentu laku dibeli orang, jadi Eyang memutuskan untuk memberikan pisang dan telur buat makan si nenek selama menunggu dagangannya. Nanti sepulang dari pasar, jika masih tersisa uang, Eyang juga bermaksud membeli dua buah pot yang dijual seharga 5 ribu rupiah itu.

Amara yang sebelumnya mau marah, berubah jadi sedih. Diam-diam air matanya menetes karena terharu atas kerja keras yang harus dilakukan nenek tua demi mendapatkan makanan. “Andai dia punya kebun pisang atau punya ternak ayam tentu tidak perlu berjalan jauh untuk mendapatkan uang” kata Amara dalam hati.

Berikutnya mereka melewati seorang penjual pakaian dan perlengkapan sehari-hari yang memajang dagangannya pada sebuah mobil pickup terbuka. “Sepuluh ribu tiga, sepuluh ribu tiga” teriak orang itu sambil mengacung-acungkan handuk pada orang-orang yang melintas di dekatnya. Beberapa orang nampak tertarik lalu melihat-lihat dagangan orang itu. Amara tampak juga tertarik lalu berbisik pada Eyang. “Yangti, murah banget handuknya. Ntar kita beli yah!”

Namun Eyang tersenyum lalu mengatakan bahwa sesuatu yang berharga murah tetap merupakan pemborosan bila Amara membelinya saat tidak membutuhkan. “Jangan lihat harganya mahal atau murah, tapi lihatlah apakah kita membutuhkan” katanya

Amara mengangguk-angguk tanda setuju. Dirinya memiliki lebih dari lima buah handuk. Jadi tidak butuh handuk baru lagi. Lebih baik uangnya buat keperluan yang lain saja.

Saat lewat di depan tukang ikan hias, terdengar teriakan-teriakannya menawarkan beberapa ikan koki mungil dalam plastik. Amara tersenyum karena teringat ada banyak ikan koki besar di kolam depan rumah nenek. Dirinya tidak membutuhkan ikan-ikan itu, tapi dia tertawa senang melihat ikan-ikan kecil yang lucu itu. Tangannya menepuk-nepuk plastik ikan dengan riangnya sampai-sampai si Tukang Ikan tertawa geli melihatnya.

^_^

Akhirnya sampailah mereka di pasar. Eyang mengajak Amara ke Tukang Pisang yang berada di pojok utara pasar. Satu demi satu pisang dikeluarkan dari tasnya. Disusul dua sisir pisang dari roda dorong Amara di berikan ke Tukang Pisang. Ada 9 sisir pisang yang ditawarkan kepada pedagang itu. Si Tukang Pisang nampak mengamat-amati pisang-pisang tersebut, sejenak kemudian dia menyebutkan harga untuk ke-9 sisir pisang.

Eyang nampak belum setuju dengan harga yang ditawarkan Tukang Pisang. Setelah tawar menawar sejenak, akhirnya mereka sepakat dengan harga pisang delapan ribu rupiah satu sisirnya. Berarti untuk 9 sisir pisang Amara dan Eyang mendapatkan uang 72 ribu rupiah.

Setelah itu Eyang mengajak Amara ke Tukang Jamu untuk menjual telur. Satu telur ayam kampung langsung dihargai 1500 rupiah oleh tukang jamu, sehingga dari 12 telur yang dibawa, mereka mendapatkan 18 ribu rupiah. Dengan demikian sekarang mereka berdua punya uang 90 ribu rupiah dari penjualan pisang dan telur. Eyang tampak berseri-seri sambil mengucapkan Alhamdulillah atas rizki yang dikaruniakan Allah pada mereka berdua.

Sejenak kemudian Amara telah diantar Eyang ke tukang jualan jajanan pasar. Namun kali ini Amara tidak bermaksud membeli banyak-banyak seperti biasanya. Dia berhitung dari dua sisir pisang yang dibawanya dia hanya mendapat 16 ribu rupiah. Jadi dia bermaksud membeli jajanan kurang dari jumlah itu.

Amara memilih dengan hati-hati makanan yang akan dibelinya. Tiap kali dia berhenti dan menghitung jumlahnya. Dibandingkannya dengan uang yang dihasilkannya. Setelah beberapa lama Amara telah membeli wajit, cenil, tiwul, gatot, kue pukis, grontol jagung dan gethuk. Semua makanan yang diinginkannya telah dibeli. Uang yang dikeluarkan tak lebih dari 10 ribu rupiah. Eyang tersenyum geli melihat tingkah laku Amara. Setelah Amara selesai berbelanja, Eyang membeli tambahan beberapa gethuk dan kue-kue untuk dimakan ramai-ramai di rumah.

Kemudian Eyang menggandeng Amara pergi ke tukang sayur untuk membeli sayur-sayuran, tempe, tahu dan satu butir kelapa yang telah diparut. Lalu mendatangi Tukang Beras untuk membeli ketan hitam dan kacang hijau untuk sarapan besok pagi.

Ketika berjalan di dekat seorang berkakinya lumpuh -- yang sedang duduk menunggui dagangan berupa sandal-sandal yang terbuat dari kayu -- Eyang menghampiri orang itu. Sesaat kemudian dipanggilnya Amara untuk mencoba sandal kecil dari kayu. Amara tampak gembira sekali mendapatkan sandal kayu yang telah dilukis warna-warni itu. Diam-diam dirinya tahu bahwa Eyang bermaksud menolong orang yang menjual sandal kayu itu. Dia membayangkan teman-teman orang itu di kampung pastilah menunggu dengan harap-harap cemas atas hasil penjualan sandal-sandal kayu buatan mereka.

Saat melewati masjid kecil yang terletak di sisi barat pasar, Eyang memanggil seorang kuli angkut dan menyuruh kuli itu untuk mencuci karpet masjid sambil mengulurkan uang 20 ribu rupiah. Si kuli tampak senang dan dengan cekatan mengeluarkan dua karpet dari dalam masjid dan mencucinya di sumur umum tak jauh dari masjid. Amara bermaksud ikut orang itu mencuci karpet, namun dilarang oleh Eyang karena bajunya nanti basah. Jadi Amara hanya mengamati orang itu mencuci karpet dengan mempergunakan sebuah sikat besar hingga nampak bersih, lalu menjemurnya.

Dalam perjalanan pulang Eyang mampir ke rumah seorang sahabatnya yang tinggal di selatan pasar, sambil membawa satu bungkus gethuk sebagai oleh-oleh. Sahabat Eyang itu berkata pada Amara bahwa mereka berdua telah bersahabat sejak kecil. Mereka pernah sama-sama merantau kala sekolah SGA di Jogja dan kini berkumpul kembali di kampung halaman. Belakangan ini mereka berdua tengah berencana membuat tempat penitipan bayi dengan biaya murah di pasar. Tujuannya untuk melayani padagang-pedagang kecil yang memiliki bayi, agar bayi mereka tetap ada yang memperhatikan pada saat ibunya sibuk berdagang.

Lima belas menit kemudian mereka berpamitan pada Ibu tua yang baik hati itu dan melanjutkan perjalanan pulang. Eyang menyempatkan diri mampir ke nenek tua pedagang pot bunga untuk membeli dua buah pot seharga 10 ribu rupiah. Rencananya Eyang akan mempergunakan pot itu untuk memindahkan cabe rawit yang ditanam di kebun belakang. “Biar lebih mudah dipetik bila di taruh di dekat dapur” kata Eyang pada Amara. Nenek tua penjual pot nampak berseri-seri melihat dagangannya dibeli.

Amara menggamit tangan Eyang, sambil minta Eyang memberikan lima ribu rupiah sisa uang penjualan dua sisir pisang untuk membeli satu buah pot bunga. Amara ingin mengambil beberapa melati yang wangi dari kebun belakang untuk ditanam di dalam pot itu. Si nenek tua tampak bahagia sekali melihat Amara membeli satu buah potnya yang tersisa. Dia bercerita bahwa beberapa saat yang lalu ada seorang Bapak yang membeli dua buah potnya, sehingga kini lima buah pot semuanya telah laku terjual. Hari ini dia bisa pulang cepat karena dagangannya telah laku semua

Amara terharu sampai meneteskan air mata melihat kegembiraan di wajah nenek itu. Baru disadari bahwa dirinya jauh lebih beruntung dibanding si Nenek tua yang sudah lanjut usia masih harus bekerja keras untuk mendapatkan uang. Sementara dirinya dapat hidup berkecukupan tanpa perlu berkerja. Amara juga takjub, bahwa sedikit saja bantuan dari dirinya sudah cukup untuk membuat nenek tua itu nampak bahagia sekali.

Amara dan Eyang melanjutkan perjalanan pulang ke rumah. Liburan kali ini benar-benar liburan yang istimewa buat Amara. Dirinya mendapatkan banyak pengalaman baru, mulai dari bagaimana mendapatkan uang, cara membelanjakan uang dan mempergunakan uang untuk menolong orang lain. “Kapan lagi yah aku bisa liburan sehebat ini?” kata Amara Hilda dalam hati (undil – 2010)

tags: contoh cerpen, contoh cerita pendek, cerita anak, cerpen



Cerpen Sang Kancil dan Gurita Raksasa

Sore hari ketika Sang Kancil sedang asyik masyuk berjalan-jalan seorang diri di tepi Pantai Samas yang curam. Hari ini dia merasa perlu mempelajari jenis-jenis rumput yang tumbuh di tepi pantai. Mungkin suatu saat rerumputan pantai bisa dijadikan bahan makanan kala persediaan makanan di hutan menipis.

Tatkala Sang Kancil tengah mengamati rerumputan berwarna merah, mendadak terdengar suara keras menggelegar memanggil-manggil namanya. “Hai, Sang Kancil, aku ingin nasehat darimu.........!!!”.



Gurita dan anaknya 


Kancil kaget mendengar suara keras dari arah laut. Dilongokkan kepalanya mencari-cari arah suara, dilihatnya seekor gurita raksasa bertepuk tangan agak jauh dari pantai. Delapan lengan Gurita itu bergantian menunjuk-nunjuk serentetan batu karang yang berjajar menjorok ke arah laut dan menyuruh Kancil berjalan menuju dirinya.

Dengan hati-hati Kancil melangkahkan kaki menuruni tebing pantai dan melompat ke batu karang tersebut. Tak berapa lama kemudian langkah Sang Kancil berhenti di ujung deretan batu karang, tepat di hadapan Gurita raksasa.