Cerpen Manajemen Delegasi: Siapakah yang Mendapatkan Kera?

Ini adalah cerita tentang big boss Romo Wage (romo= bapak dalam bahasa jawa) sewaktu masih muda. Waktu itu dia masih bekerja di sebuah pabrik makanan ringan di Jakarta. Belum memulai bisnis ini. Selaku big boss dia membawahi beberapa departemen.


Israel vs Umat Manusia (sumber foto: satrio arismunandar)

Ceritanya waktu itu Romo Wage selalu kehabisan waktu karena berkas pekerjaan yang bertumpuk-tumpuk memenuhi mejanya. Dokumen yang harus direview dan memo yang belum terjawab selalu menggunung di meja kerjanya. Bukan hanya memo dari atasannya, tetapi juga dokumen-dokumen kiriman bawahannya. Bahkan yang terakhir inilah yang paling banyak membanjiri meja kerjanya.

Adalah hal rutin bila Romo Wage bertemu dengan bawahannya akan ditanya oleh mereka.

Dokumen yang kemarin saya kirim dah selesai belum Pak?”

atau

“Masalah mesin yang rusak, laporannya sudah ke meja Bapak dari hari Senin. Kalau boleh tahu, Bapak sudah memutuskan apa yang harus kita lakukan?

atau

“Masalah ruangan yang harus direnovasi itu Pak. Jadinya kita mau renovasi bulan ini atau bulan depan?

atau
“Kemasan baru yang akan kita pakai katalognya sudah 2 minggu di meja Bapak. Jadi kita mau pilih yang mana?”

Tentu saja Romo Wage hanya tersenyum kecut mendengar pertanyaan mereka. Pekerjaan itu tak mungkin dia garap dalam waktu bersamaan. Harus diselesaikan satu persatu. Itu artinya kerja ekstra.



Alkisah karena pekerjaan yang bertimbun itu, terpaksalah Romo Wage sering berlembur ria di akhir pekan. Termasuk lembur di sebuah long weekend – satu lembur yang membuatnya geregetan karena ada sebuah peristiwa yang dilihatnya. Peristiwa yang memaksanya merubah semua pandangannya tentang cara kerja yang selama ini ditempuhnya.

Sebenarnya peristiwa itu sederhana saja. Hanya sekelompok orang yang hendak kamping ke pegunungan sejuk di luar kota. Kebetulan mereka berkumpul di lapangan tenis, tepat di bawah gedung tempat Romo Wage yang sedang lembur. Jendela ruang kerja Romo Wage menghadap ke lapangan tenis sehingga Romo Wage dapat dengan jelas melihat mereka. Ada belasan orang menyandang ransel dengan tertawa dan bercanda ria bersama keluarganya menunggu kedatangan bis kecil yang lalu membawa mereka menghirup udara segar di luar kota.

Peristiwa itu tidak berarti apa-apa seandainya mereka bukan manajer-manajer bawahan Romo Wage. Berhubung mereka adalah para manajer yang pekerjaannya menumpuk di meja Romo Wage -- jadilah peristiwa itu sebuah masalah besar. Romo Wage heran dengan dirinya sendiri. Bagaimana bisa dirinya mengerjakan setumpuk “PR”, sementara para pemilik asli “PR” malahan pada berwisataria ke luar kota. Bagaimana bisa beban pekerjaan mereka telah beralih menjadi bergelantungan di pundaknya. Tiba-tiba saja Romo Wage merasa hidupnya begitu menyedihkan.

^_^

Api amarah membakar Romo Wage. Ini tidak bisa dibiarkan! Mereka bersenang-senang sementara aku dikeram di ruang kerja untuk menyelesaikan pekerjaan yang seharusnya mereka bereskan. Waktuku habis untuk berpikir dan mengambil keputusan yang seharusnya menjadi tanggung jawab mereka. Mereka tidak pernah mengambil keputusan penting. Semuanya ada di tanganku dan semuanya menjadi tanggung jawabku. Mereka datang kepadaku membawa masalah tanpa menawarkan solusi!.

Mereka datang untuk bicara tentang mesin rusak, tentang ruangan yang harus direnovasi, tentang konflik antara jadwal-jadwal produksi dengan jadwal maintenance, lalu memintaku untuk membereskan semuanya. Bahkan mereka menaruh setumpuk katalog alat untuk memintaku memilihkan yang terbaik buat mereka. Huh! Aku benar-benar merasa dilimpahi tugas-tugas yang seharusnya mereka selesaikan!

Saat mereka bertanya tentang pekerjaan mereka yang ada di mejaku – itu sama saja mereka sedang mengecek progress kerjaku! Mereka memberi supervisi pada diriku! Uhhhhhh! Sebeeeel!




Lalu Romo Wage ingat peristiwa minggu-minggu yang telah lalu. Manajer mesin pemasak roti datang kepadanya dengan keluhan suhu yang tidak stabil. Lalu memintanya memberi nasehat apa yang harus dilakukan. Menunda produksi atau membiarkan pemasakan roti dilakukan dengan suhu tidak stabil. Dia datang membawa seorang teknisi yang kemudian ditinggalkannya untuk berunding dengan Romo Wage tentang pemecahan masalah mesin tersebut. Kemudian si teknisi meninggalkan lima macam proporsal kerja yang harus dipilih Romo Wage untuk mengatasi kerusakan mesin.

Romo Wage juga ingat manajer ruangan produksi yang tiba-tiba mengundangnya meeting untuk diberi setumpuk opsi tentang ruang produksi yang harus direnovasi. Harus direnovasi bulan ini atau bulan depan?. Selama renovasi, proses produksi akan dialihkan kemana? Bagaimana dengan mesin-mesin yang ada di dalamnya, perlu dipindahkan atau cukup dibungkus plastik saja? Segudang pilihan-pilihan bersifat teknis tiba-tiba saja disodorkan kepadanya, seolah-olah Romo Wage adalah pakar dalam hal renovasi ruangan. Itu artinya Romo harus menghabiskan waktu beberapa lama untuk mempelajari berkas-berkas yang disodorkan kepadanya.

Belum lagi tentang asistennya yang selalu bertanya siapa saja yang harus diundang meeting ?; dokumen ini boleh nggak diberikan pada pembeli?; Meeting dilakukan di ruangan mana?; Hiks! pertanyaan detail mulai dari isi minutes meeting, sampai siapa yang harus menemani klien makan siang selalu ditanyakan pada dirinya. Pantas saja waktunya habis untuk mengambil keputusan tentang hal-hal yang remeh temeh.

Sekarang Romo Wage bertekad mengakhiri semuanya. Hari Senin dia akan mengembalikan semua pekerjaan itu kepada pemilik aslinya. Mereka harus belajar bertanggung jawab. Mereka harus belajar mengambil keputusan. Bila mereka datang pada Romo Wage, mereka hanya boleh melaporkan keputusan yang telah diambil serta alasan pengambilan keputusan. Mereka tidak boleh datang untuk meminta Romo Wage mengambil keputusan. Jangan biarkan tanggung jawab yang seharusnya bergelantungan di pundak mereka, beralih ke pundak Romo Wage.

^_^

Senin pagi Sang Big Boss menjalankan rencananya. Dimulai dengan memanggil manajer mesin pamasak roti. Pertama dibicarakannya tentang waktu yang habis untuk mengambil keputusan teknis yang seharusnya bisa diatasi oleh para manajer. Kemudian dia mulai bicara tentang masalah mesin-mesin pemasak roti yang seharusnya bisa diselesaikan sendiri oleh si manajer.

Dikembalikannya berkas-berkas dokumen yang pernah diberikan oleh teknisi bawaan si manajer yang berisi pilihan berbagai macam metode perbaikan. Juga tentang keputusan apakah melanjutkan produksi atau menunda hingga perbaikan selesai. Semua diserahkan pada si manajer untuk menyelesaikannya. Romo Wage menyatakan dirinya menunggu laporan dari si manajer dan tidak mau lagi diganggu dengan hal-hal teknis seperti itu.

Setelah mendelegasikan pekerjaan tersebut, Romo Wage merasa lega. Terbayang dalam benaknya setelah semua pekerjaan-pekerjaan itu dikembalikan ke tuannya, maka dirinya akan kembali punya waktu di akhir pekan bersama keluarga. Sudah saatnya pekerjaan-pekerjaan itu bergelantungan di pundak para manajer, dan bukannya kongkow-kongkow di pundak Romo Wage.

^_^

Namun ternyata kelegaan itu hanya berlangsung sesaat. Tiba-tiba saja Romo Wage merasa khawatir. Ada keraguan yang menyelimuti dirinya.

Yah, kini Romo Wage benar-benar merasa khawatir dengan langkah yang telah diambilnya. Dia telah meyerahkan sepenuhnya nasib mesin pemasak roti kepada si manajer. Kini dia bertanya-tanya dalam hati. Apakah si manajer mampu mengatasi permasalahan tersebut? Mampukan dia mengambil keputusan yang tepat tentang metode perbaikan yang harus ditempuh? Apakah dia cukup berpengalaman untuk memutuskan melanjutkan produksi atau menunda hingga perbaikan selesai?

Bagaimana bila dia salah mengambil keputusan? Bukankah keputusan tersebut sangat penting?. Keputusan yang sangat menentukan kualitas produk dan akhirnya akan berujung pada reputasi perusahaan? Bila salah dalam mengambil keputusan, imbasnya akan sampai ke diri Romo Wage? Ufff tiba-tiba Romo Wage merasa menyesal telah mengalihkan pengambilan keputusan sepenting itu kepada bawahannya.

Yang terbayang di benak Romo Wage adalah dirinya belum cukup menguji kemampuan manajer mesin pamasak roti itu. Dirinya juga merasa belum cukup banyak menurunkan ilmu kepada dia. Intinya dia meragukan bahwa si manajer cukup kompeten untuk mengambil keputusan sebesar itu.

DI sisi lain Romo Wage juga merasa dirinya tiba-tiba menjadi tidak berdaya. Kalau keputusan sebesar itu bisa diambil oleh anak buahnya, lalu apa peran dirinya? Apakah dirinya hanya menjadi penonton atas hal-hal yang terjadi di unit besar yang menjadi tanggung jawabnya, sementara mereka dengan bebas akan mengambil keputusan.

Tiba-tiba Romo Wage merasa reputasinya terancam. Jika semuanya dilakukan oleh mereka, lalu apakah guna dirinya sebagai seorang big boss? Apakah dirinya masih akan dihargai oleh bawahannya kalau mereka datang hanya untuk melapor dan bukan untuk bertanya?

Apakah dirinya cukup hebat untuk dihargai sebagai seseorang yang mendengarkan laporan dan bukannya sebagai seorang pengambil keputusan. Ragu atas semua itu membuat Romo Wage membatalkan niatnya untuk mengundang manajer-manajer lainnya. Tiba-tiba dirinya merasa ragu untuk mengalihkan pengambilan keputusan kepada mereka.

^_^

Beberapa tahun kemudian barulah Romo Wage menyadari apa yang terjadi pada dirinya saat itu. Dia terlalu menyederhanakan persoalan. Romo Wage telah mencampur adukkan dua hal yang berbeda. Pendelegasian tugas kepada para bawahan adalah satu hal dan rasa keterancaman dirinya adalah hal yang lain.

Untuk mengatasi masalah pendelegasian wewenang, Romo Wage harus meluangkan waktu yang cukup untuk membimbing bawahannya hingga siap mengambil keputusan sendiri. Untuk beberapa kasus dia harus rela pendelegasian berakibat kualitas pekerjaan menurun –- tetapi tidak boleh tidak -- harus dilakukan demi mengurangi beban kerjanya yang semakin melimpah.

Untuk masalah keterancaman, yaitu merasa dirinya kurang berharga bila keputusan penting diambil oleh bawahannya maka Romo Wage harus belajar banyak tentang rahmat Tuhan. Allah melimpahkan nikmat yang cukup banyak untuk memenuhi kebutuhan semua orang. Jadi peran bawahan yang meningkat bukan berarti ancaman terhadap eksistensi Romo Wage. Justru adalah kesempatan bagi dirinya untuk bergerak menangani hal-hal yang lebih penting daripada sekedar mengatasi masalah rutin sehari-hari. Romo Wage bisa berkonsentrasi untuk melakukan inovasi dan mengembangkan unit kerja yang dipimpinnya karena “kera-kera” pekerjaan rutin telah betah bergelantungan di pundak para manajer bawahannya (undil Februari 2009)


Bacaan:
-Manajemen Waktu: Siapakah yang Mendapatkan Kera? oleh William Oncken dan Donald L. Wass Penjelasan oleh Stephen R. Covey
- Menyediakan Waktu untuk Para Gorila, Stephen R. Covey

Kedua artikel tersebut terdapat dalam buku:
A Usmara, 2003, Mengelola Diri, Amara Book, Yogyakarta


0 komentar:

Post a Comment