Ini ceritanya waktu Romo Wage Sholat Jumat di sebuah masjid saat sedang menengok saudaranya di sebuah kota. Waktu itu bisnis Romo Wage belum begitu maju, walaupun warung baksonya sudah mulai ada pelanggan setianya namun belum terbilang banyak. Sholat jumat belum dimulai. Kencleng masjid telah diedarkan, dan tiba di depan seorang pemuda yang duduk di samping Romo Wage.
Anak muda itu merogoh saku kemejanya, mengeluarkan uang seratus ribuan dan memasukkan ke dalam kencleng. Sekilas Romo Wage melirik orang itu dan terkejut. Tadi dilihatnya anak muda itu datang ke masjid sambil mendorong gerobak bakso. Tentu dia adalah seorang penjual bakso. Sama seperti dirinya, bahkan kemungkinan besar secara ekonomi dibawah dirinya. Tapi dia bisa memasukkan uang ke dalam kencleng, jauh lebih besar dari Romo Wage yang hanya memasukkan 20 ribu perak. Tiba-tiba Romo Wage merasa malu.
Sehabis jumatan Romo Wage menghampiri anak muda itu dan mengajaknya bercakap-cakap.
“Mas jualan baksonya laris?”
“Iya Pak, Alhamdulillah sekarang lagi laris. Mungkin karena udara dingin, anak-anak sekolah lagi suka makan bakso”
“Baksonya dibuat sendiri atau ambil dari orang?”
“Ambil dari orang Pak. Sehari paling saya 50 – 70 porsi, jadi saya pilih ambil dari pemilik warung bakso. Lebih irit dari sisi tenaga dan waktu”
Romo Wage tertegun, omzet warungnya tiga kali lipat anak muda ini dan harga jual baksonya pasti di atas harga jual anak muda ini yang pembelinya mayoritas anak-anak sekolah. Pasti keuntungan warungnya juga jauh di atas anak muda ini. Kemudian dengan hati-hati Romo Wage menanyakan mengapa anak muda itu memasukkan uang seratus ribu ke kencleng masjid, dan bukan uang yang lebih kecil. Apakah setiap hari dia memasukkan uang sebesar itu?.
“Emmm, tidak setiap hari saya memasukkan sebesar itu. Pada hari biasa paling saya masukkan antara lima sampai sepuluh ribu rupiah. Namun setiap hari saya sengaja menyisihkan lima belas ribu rupiah untuk kencleng jumatan. Yah, sudah menjadi tekad saya membantu masjid ini agar maju dan makmur, sehingga menjadi penjaga moral masyarakat sekitar. Masjid ini telah berjasa merubah wilayah ini dari tempat orang berjudi dan mabuk-mabukan menjadi masyarakat Islami yang penuh harga diri”.
“Gak ada anak muda di kampung sekitar masjid yang nongkrong gak karuan sembari melakukan hal yang negatif. Itu semua karena mereka telah dibangkitkan harga dirinya dan diajari aneka ketrampilan sehingga malu bila tidak bekerja. Mereka bangga dengan matapencahariannya walaupun sebagian dari mereka penghasilannya masih alakadarnya. Di sini juga gak ada satupun keluarga yang tidak membaca Quran setiap hari. Sekalipun saya bukan orang kaya, saya ingin menjadi bagian dari barisan orang-orang yang memperbaiki masyarakat melalui masjid ini”.
Anak muda itu merogoh saku kemejanya, mengeluarkan uang seratus ribuan dan memasukkan ke dalam kencleng. Sekilas Romo Wage melirik orang itu dan terkejut. Tadi dilihatnya anak muda itu datang ke masjid sambil mendorong gerobak bakso. Tentu dia adalah seorang penjual bakso. Sama seperti dirinya, bahkan kemungkinan besar secara ekonomi dibawah dirinya. Tapi dia bisa memasukkan uang ke dalam kencleng, jauh lebih besar dari Romo Wage yang hanya memasukkan 20 ribu perak. Tiba-tiba Romo Wage merasa malu.
Sehabis jumatan Romo Wage menghampiri anak muda itu dan mengajaknya bercakap-cakap.
“Mas jualan baksonya laris?”
“Iya Pak, Alhamdulillah sekarang lagi laris. Mungkin karena udara dingin, anak-anak sekolah lagi suka makan bakso”
“Baksonya dibuat sendiri atau ambil dari orang?”
“Ambil dari orang Pak. Sehari paling saya 50 – 70 porsi, jadi saya pilih ambil dari pemilik warung bakso. Lebih irit dari sisi tenaga dan waktu”
Romo Wage tertegun, omzet warungnya tiga kali lipat anak muda ini dan harga jual baksonya pasti di atas harga jual anak muda ini yang pembelinya mayoritas anak-anak sekolah. Pasti keuntungan warungnya juga jauh di atas anak muda ini. Kemudian dengan hati-hati Romo Wage menanyakan mengapa anak muda itu memasukkan uang seratus ribu ke kencleng masjid, dan bukan uang yang lebih kecil. Apakah setiap hari dia memasukkan uang sebesar itu?.
“Emmm, tidak setiap hari saya memasukkan sebesar itu. Pada hari biasa paling saya masukkan antara lima sampai sepuluh ribu rupiah. Namun setiap hari saya sengaja menyisihkan lima belas ribu rupiah untuk kencleng jumatan. Yah, sudah menjadi tekad saya membantu masjid ini agar maju dan makmur, sehingga menjadi penjaga moral masyarakat sekitar. Masjid ini telah berjasa merubah wilayah ini dari tempat orang berjudi dan mabuk-mabukan menjadi masyarakat Islami yang penuh harga diri”.
“Gak ada anak muda di kampung sekitar masjid yang nongkrong gak karuan sembari melakukan hal yang negatif. Itu semua karena mereka telah dibangkitkan harga dirinya dan diajari aneka ketrampilan sehingga malu bila tidak bekerja. Mereka bangga dengan matapencahariannya walaupun sebagian dari mereka penghasilannya masih alakadarnya. Di sini juga gak ada satupun keluarga yang tidak membaca Quran setiap hari. Sekalipun saya bukan orang kaya, saya ingin menjadi bagian dari barisan orang-orang yang memperbaiki masyarakat melalui masjid ini”.
Romo wage terdiam sejenak, kemudian tersenyum sambil menjabat tangan anak muda itu erat-erat. Dirinya merasa tergerak untuk meniru anak muda itu. Seratus ribu rupiah setiap jumat dan sepuluh ribu rupiah setiap hari tak lebih dari seperlima penghasilannya. Jumlah yang sangat murah untuk “membeli” surga. Dari penjaga penitipan sepatu di masjid, Romo Wage menjadi terharu setelah tahu bahwa anak muda itu setiap hari juga masih memberikan beberapa mangkok baksonya secara gratis kepada anak-anak penjual koran dan penyemir sepatu (undil 2010).
tags: cerpen, cerita pendek, rangkaian cerpen ramadhan
0 komentar:
Post a Comment