Bagaimana Romo Wage Merubah Kebiasaan Kuliner Warga Jalan Komaruddin


Ketika tinggal sementara di rumah pamannya di Jalan Komarudin -- saat ngumpul-ngumpul dengan para pemuda -- Romo Wage sering mendengar mereka membicarakan tentang jajanan enak-enak yang baru saja mereka nikmati. 












Rata-rata mereka memiliki standar cita rasa yang sama.  Jadi saat seseorang mengatakan bahwa bakso anu enak, kemudian seorang yang lain mengatakan bakso ana yang enak, setelah lain hari mereka ramai-ramai mencoba rasa kedua bakso tersebut,  maka mereka akan sepakat bakso mana yang lebih enak.

Pembicaraan akan lebih seru klo ada jajanan yang baru buka di salah satu sudut kota. Si penemu jajanan itu akan dengan antusias menggambarkan rasa jajanan yang baru saja dicobanya. Dari mulai racikan bumbunya, hingga aksesories-aksesories penunjang makanan. 

Jika makanan itu berupa bakmi jawa, maka akan dinilai rasa kuahnya, lalu mienya dan ayamnya. Kemudian menyusul dinilai aksesories seperti perkedel, kerupuk, tambahan brutu dan uritan serta tak lupa minumannya. Dari hasil penilaian itu akan disimpulkan apakah bakmi jawa tersebut layak dicoba atau tidak. Pendeknya warga Jalan Komaruddin rata-rata memiliki bakat kuliner dan selera yang bagus tentang cita rasa makanan.

Romo Wage yang mengamati kebiasaan warga itu menjadi tertarik untuk mendorongnya ke arah yang lebih bermanfaat. Jalan Komaruddin adalah jalan utama yang sangat strategis di Jogja.  Jalan peninggalan Belanda ini bagus dan lebarnya sampai 10 meter sehingga kanan kirinya bisa dipakai untuk parkir. Udah gitu gampang dicapai, tidak terlalu ramai dan rumah-rumah penduduk rata-rata memiliki halaman depan yang lumayan luas.  

Yang terpikir di benak Romo Wage adalah merubah kebiasaan penduduk dari sekedar pecinta kuliner menjadi pelaku bisnis kuliner. Dengan bekal pengetahuan mereka tentang cita rasa makanan dan lokasi rumah-rumah penduduk yang strategis, maka tak ada alasan untuk tidak membuka bisnis kuliner. 

Saat Romo Wage mencetuskan ide tersebut di rapat warga, banyak pemuda yang terhenyak. Selama ini kebanyakan mereka membayangkan bekerja di toko atau di kantor setamat sekolah. Bagi yang sekolah sampai universitas tentu memimpikan kerja di Jakarta atau di luar negeri.

Yang tak kalah terhenyak adalah para orang tua yang selama ini ikut pontang-panting mencarikan pekerjaan bagi anak-anak mereka yang sudah lulus kuliah. Kebanyakan mereka serta merta mengatakan tidak ragu untuk memberikan modal pada anak-anaknya. Hitung-hitung sambil menunggu dapat kerja.

Tentu saja ada juga yang pesimis dengan ide Romo Wage. Penduduk Jalan Komaruddin tidak terbiasa menjadi wirausahawan kuliner. Sebagian besar para orang tua bekerja sebagai dosen, pegawai negeri, dan juga pemilik toko kelontong di sejumlah pasar. Sementara para anak muda banyak bekerja di bengkel, percetakan, usaha fotokopi dan pemilik counter handphone di mal.  Ide Romo Wage ini dengan cepat diterima oleh para anak muda, terutama yang sudah selesai sekolah tetapi belum mendapat pekerjaan.

Ada tiga puluh anak muda yang tertarik untuk berbisnis kuliner. Romo Wage yang mengumpulkan mereka di rumah pamannya segera saja memberi kursus kilat tentang bisnis kuliner kepada mereka. Kursusnya cuman 15 menit, karena menurut Romo Wage bisnis kecil bisa dipelajari sambil jalan. Isi kursusnya sederhana, bahwa mereka harus kerja keras, klo perlu mengurangi jam tidur dan harus berdisiplin membelanjakan uang. Habis itu Romo Wage membagi mereka menjadi enam kelompok, masing-masing diminta memilih makanan yang akan dijual.

Seminggu kemudian anak-anak muda itu telah memutuskan makanan yang akan dijual, ada enam jenis makanan sesuai dengan jumlah kelompok, yaitu Bakso Malang, Batagor, Rawon, Sushi, Bakmi Godhog dan Surabi. Modal bukan masalah buat mereka karena rata-rata orang tua mereka mampu menyediakan modal yang dibutuhkan. Tinggal masalah cara memasaknya. Walaupun mereka jago menilai makanan, mereka tidak berpengalaman dalam meracik makanan. Karenanya Romo Wage sengaja mengundang ekspert untuk masing-masing makanan.

Untuk Bakso Malang, Romo Wage mengundang temannya dari Malang yang sudah terbiasa mengajari orang membuat Bakso. Kelompok yang akan menjual Batagor diperkenalkan oleh Romo Wage dengan temannya dari Bandung yang memiliki warung Batagor yang laris di Bandung.

Demikian juga dengan pembuatan Bakmi Godhog akan langsung diajari oleh suhunya bakmi dari Gunung Kidul, Rawon oleh Empu Rawon dari Ponorogo, Surabi oleh Tukang Surabi dari Solo dan pembuatan Sushi akan diajari oleh teman Romo Wage yang menjadi koki di hotel bintang lima di Bali. Semua ahli meracik makanan itu disewa Romo Wage selama dua minggu. Seminggu untuk mengajari meracik makanan dan seminggu lagi untuk mendampingi berjualan makanan.

Selama tujuh hari para anak muda itu belajar membuat makanan di rumahnya. Dan mulai hari kedelapan hingga keempat belas  mereka langsung praktek membuat makanan yang hasilnya langsung dijual di cafe-cafe tenda yang dibangun di depan rumah mereka. Awalnya finishing pembumbuan masih dilakukan oleh para expert, namun setelah hari ketujuh para expert tinggal mengawasi saja sambil memberi petunjuk bila bumbu-bumbu yang ditambahkan kurang pas.


Begitulah awalnya anak-anak muda di Jalan Komaruddin membuka cafe di depan rumah mereka.  Hanya lima cafe pada mulanya yang menjual Bakso Malang, Batagor, Rawon, Bakmi Godhog,  Sushi, dan Surabi. Discount 50% diberlakukan selama seminggu untuk menarik pembeli. Selanjutnya malam-malam di Jalan Komaruddin menjadi hidup dengan munculnya cafe-cafe itu walaupun pengunjungnya belum banyak.  Namun berkat cita rasa makanan yang bagus para warganya, maka lambat laun masakan-masakan di Cafe Jalan Komaruddin makin enak dan makin dikenal oleh warga kota.  Jumlah Cafe pun lambat laun bertambah. Warga yang sebelumnya kurang tertarik, menjadi tertarik untuk menjual jajanan di depan rumah mereka.  

^_^

Jika dahulu para anak muda di Jalan Komaruddin suka meceritakan pengalaman kuliner mereka di warung di seantero Jogja, kini mereka tidak sekedar menceritakan tetapi juga mencoba resep-resep baru makanan untuk dijual di cafenya. Sekalipun mereka sudah memiliki cafe, warga Jalan Komaruddin tidak berhenti melakukan wisata kuliner di warung-warung lain.

Jika tahun-tahun lalu wisata kuliner hanya dilakukan di Jogja dan sekitarnya, kini mereka merambah Bandung, Jakarta, Cirebon, Semarang, Surabaya dan kota-kota lain di Pulau Jawa. Bahkan jika ada sanak saudara atau teman pergi ke kota yang terkenal wisata kulinernya mereka tidak lupa berpesan untuk membawa oleh-oleh makanan untuk dijajaki dijual sebagai menu baru di Jogja (Undil-2012).

gambar diambil dari guardian

0 komentar:

Post a Comment