Beberapa waktu lalu sekelompok orang Indonesia mengunjungi Israel yang katanya untuk membawa misi perdamaian, bukan kunjungan politis. Jadi menurut mereka kedatangan ke Israel adalah demi mempromosikan perdamaian. Pertanyaannya adalah bukan soal kunjungan yang bersifat politis atau membawa misi perdamaian! Pertanyaan besarnya adalah istilah perdamaian yang mereka gunakan!
Akar masalah konflik Palestina-Israel sangat mirip dengan akar konflik Indonesia vs Hindia Belanda tahun 1945 -- yaitu penjajahan. Benarkah kita perlu berdamai dengan penjajah? Sudah selayaknya-kah kita berdamai dengan orang yang merampas rumah kita? Bagaimana dengan nasib pengungsi Palestina yang kini tinggal di barak-barak pengungsian di luar negeri karena tanahnya dirampas Israel. Apakah mereka layak selamanya tinggal di barak pengungsi demi menyediakan pemukiman yang layak bagi orang-orang Israel? Opsi perdamaian dengan Israel harus dilihat dengan penuh kehati-hatian.
^_^
Jaman dulu waktu pelajaran sejarah di sekolah, saya gak begitu “ngeh” dengan istilah ekstrimis yang digunakan Pemerintahan Hindia Belanda untuk menyebut para pejuang kemerdekaan Indonesia. Juga label “Aksi Polisionil” untuk agresi militer mereka ke Jogja yang kemudian menangkap presiden dan wakil presiden. Waktu itu saya tidak begitu memperhatikan motivasi di balik penggunaan kata-kata tersebut.
Kini motivasi dibalik istilah ekstrimis dan aksi polisionil itu jadi sangat jelas setelah istilah sejenis digunakan rejim Israel untuk menyebut para pejuang kemerdekaan Palestina. Orang-orang Israel yang sebenarnya adalah para pendatang dari Eropa, Amerika dan belahan dunia lain yang merebut dan mengusir para penduduk asli Palestina -- tanpa tahu malu menyebut orang-orang yang kini terjajah itu sebagai kaum ekstrimis. Padahal wajar saja kan bila orang-orang terusir mengangkat senjata untuk merebut tanahnya kembali. Sewajar para pejuang kemerdekaan kita pasca proklamasi 1945 bertempur dengan gigih melawan Inggris di Surabaya yang kini diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Israel juga menyebut aksi militer ke kantong-kantong pengungsi Palestina sebagai aksi menjaga kemanan untuk mencegah serangan ke Israel, sama dengan istilah yang digunakan Hindia Belanda untuk menyebut serangan mereka terhadap Ibukota RI Yogyakarta yang disebut “aksi pak polisi” untuk mengembalikan ketertiban yang diganggu oleh para ekstrimis. Rupanya istilah yang digunakan para penjajah 60 tahun lalu masih sama dengan istilah yang digunakan penjajah masakini.
Perdamaian dengan Israel dengan cara berbagi tanah perlu dibandingkan dengan tindakan menyuruh para perintis kemerdekaan kita berbagi tanah dengan Pemerintah Hindia Belanda. Mengapa mereka dahulu tidak berbagi tanah saja?. Misalnya Jawa, Sumatera dan Madura untuk Indonesia dan pulau-pulau lain seperti Sulawesi, Kalimatan, Maluku dan Irian untuk Hindia Belanda.
Dengan pembagian itu tidak perlu ada peperangan, damai, damai, damai tidak perlu saling bunuh demi kemanusiaan. Tapi ternyata para perintis kemerdekaan menghendaki kedaulatan penuh atas semua wilayah nusantara. Kalimat populer yang digunakan para pejuang diantaranya adalah “merdeka atau mati” dan “kami cinta perdamaian tetapi lebih cinta kemerdekaan”. Artinya kemerdekaan seluruh wilayah lebih penting daripada perdamaian. Damai itu baik sepanjang mereka tidak merebut tanah kita.
Istilah perdamaian perlu dipertimbangkan ulang pada hubungan Israel–Palestina, karena Israel adalah orang asing yang merebut tanah pribumi. Mirip seseorang datang ke rumah kita, lalu merebut kamar tamu dan kamar makan. Apakah kita mau dibujuk oleh seorang pendamai untuk menyerahkan kedua kamar itu dengan alasan demi perdamaian dan menghindari pertikaian.
Bagaimana pula dengan nasib para pemilik tanah yang dihuni orang-orang Israel yang kini harus menjadi pengungsi yang tinggal di kamp-kamp pengungsian di dalam negeri Paletina maupun di negara lain seperti Lebanon dan Yordania. Haruskah kita tutup mata dan tutup telinga? Apakah mereka pantas dilupakan dan dipaksa selamanya tinggal barak pengungsi karena tanah-tanah mereka telah menjadi tempat bermukim orang-orang Israel ? Sebuah pertanyaan yang menuntut kebersihan hati dan ketulusan hati nurani untuk menjawabnya!
Akar masalah konflik Palestina-Israel sangat mirip dengan akar konflik Indonesia vs Hindia Belanda tahun 1945 -- yaitu penjajahan. Benarkah kita perlu berdamai dengan penjajah? Sudah selayaknya-kah kita berdamai dengan orang yang merampas rumah kita? Bagaimana dengan nasib pengungsi Palestina yang kini tinggal di barak-barak pengungsian di luar negeri karena tanahnya dirampas Israel. Apakah mereka layak selamanya tinggal di barak pengungsi demi menyediakan pemukiman yang layak bagi orang-orang Israel? Opsi perdamaian dengan Israel harus dilihat dengan penuh kehati-hatian.
^_^
Jaman dulu waktu pelajaran sejarah di sekolah, saya gak begitu “ngeh” dengan istilah ekstrimis yang digunakan Pemerintahan Hindia Belanda untuk menyebut para pejuang kemerdekaan Indonesia. Juga label “Aksi Polisionil” untuk agresi militer mereka ke Jogja yang kemudian menangkap presiden dan wakil presiden. Waktu itu saya tidak begitu memperhatikan motivasi di balik penggunaan kata-kata tersebut.
Kini motivasi dibalik istilah ekstrimis dan aksi polisionil itu jadi sangat jelas setelah istilah sejenis digunakan rejim Israel untuk menyebut para pejuang kemerdekaan Palestina. Orang-orang Israel yang sebenarnya adalah para pendatang dari Eropa, Amerika dan belahan dunia lain yang merebut dan mengusir para penduduk asli Palestina -- tanpa tahu malu menyebut orang-orang yang kini terjajah itu sebagai kaum ekstrimis. Padahal wajar saja kan bila orang-orang terusir mengangkat senjata untuk merebut tanahnya kembali. Sewajar para pejuang kemerdekaan kita pasca proklamasi 1945 bertempur dengan gigih melawan Inggris di Surabaya yang kini diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Israel juga menyebut aksi militer ke kantong-kantong pengungsi Palestina sebagai aksi menjaga kemanan untuk mencegah serangan ke Israel, sama dengan istilah yang digunakan Hindia Belanda untuk menyebut serangan mereka terhadap Ibukota RI Yogyakarta yang disebut “aksi pak polisi” untuk mengembalikan ketertiban yang diganggu oleh para ekstrimis. Rupanya istilah yang digunakan para penjajah 60 tahun lalu masih sama dengan istilah yang digunakan penjajah masakini.
Perdamaian dengan Israel dengan cara berbagi tanah perlu dibandingkan dengan tindakan menyuruh para perintis kemerdekaan kita berbagi tanah dengan Pemerintah Hindia Belanda. Mengapa mereka dahulu tidak berbagi tanah saja?. Misalnya Jawa, Sumatera dan Madura untuk Indonesia dan pulau-pulau lain seperti Sulawesi, Kalimatan, Maluku dan Irian untuk Hindia Belanda.
Dengan pembagian itu tidak perlu ada peperangan, damai, damai, damai tidak perlu saling bunuh demi kemanusiaan. Tapi ternyata para perintis kemerdekaan menghendaki kedaulatan penuh atas semua wilayah nusantara. Kalimat populer yang digunakan para pejuang diantaranya adalah “merdeka atau mati” dan “kami cinta perdamaian tetapi lebih cinta kemerdekaan”. Artinya kemerdekaan seluruh wilayah lebih penting daripada perdamaian. Damai itu baik sepanjang mereka tidak merebut tanah kita.
Istilah perdamaian perlu dipertimbangkan ulang pada hubungan Israel–Palestina, karena Israel adalah orang asing yang merebut tanah pribumi. Mirip seseorang datang ke rumah kita, lalu merebut kamar tamu dan kamar makan. Apakah kita mau dibujuk oleh seorang pendamai untuk menyerahkan kedua kamar itu dengan alasan demi perdamaian dan menghindari pertikaian.
Bagaimana pula dengan nasib para pemilik tanah yang dihuni orang-orang Israel yang kini harus menjadi pengungsi yang tinggal di kamp-kamp pengungsian di dalam negeri Paletina maupun di negara lain seperti Lebanon dan Yordania. Haruskah kita tutup mata dan tutup telinga? Apakah mereka pantas dilupakan dan dipaksa selamanya tinggal barak pengungsi karena tanah-tanah mereka telah menjadi tempat bermukim orang-orang Israel ? Sebuah pertanyaan yang menuntut kebersihan hati dan ketulusan hati nurani untuk menjawabnya!
0 komentar:
Post a Comment