CRM 197: Vaksin Baru Pencegah Difteri

Penyakit Difteri tidak langsung disebabkan oleh serangan bakteri, tetapi disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh bakteri yang masuk ke dalam tubuh. Sebenarnya sifat asli bakteri penyebab penyakit Difteri (C. diphtheriae) tidak menghasilkan toksin, namun sifatnya berubah setelah terinfeksi oleh bakteriophage tertentu.

Bakteriophage adalah virus yang mampu menginfeksi bakteri dan terkadang menyisipkan gen-gennya ke dalam kromosom bakteri sehingga merubah sifat-sifat bakteri yang terinfeksi. Sifat bakteri C. diphtheriae yang tidak berbahaya bagi manusia & tidak menghasilkan toksin berubah menjadi strain yang berbahaya bagi manusia & menghasilkan toksin setelah terinfeksi bakteriophage famili Corynebacteriophage yang mampu menggabungkan gen-nya ke dalam kromosom C. diphtheriae. Corynebacteriophage menyisipkan gen penghasil toksin ke dalam kromosom C. diphtheriae sehingga merubahnya menjadi bakteri penyebab penyakit.

Pada tahun 1972 Uchida dan Pappenheimer untuk pertamakalinya menemukan isolat bakteriophage yang mengkode protein-non toksik – CRM 197 - yang secara imunologi tidak dapat dibedakan dari toksin difteri.

Belakangan diketahui bahwa protein non-toksik tersebut sangat ideal bila digunakan sebagai vaksin melawan difteri. Beberapa kelebihan CRM 197 dibanding vaksin difteri konvensional adalah (1) Secara alami dia bersifat non toksik sehingga tidak membutuhkan detoksifikasi dengan formalin. Dengan demikian dia dapat dimurnikan langsung dari supernatan kultur dan terhindar dari crosslinking dengan pepton seperti yang terjadi pada saat perlakuan formalin pada toksin difteri konvensional. (2) Tidak ada problem penanganan toksin dalam volume besar (3) Tidak ada problem toksoid kembali toksis (reversion to toxicity).

Disamping kelebihan tersebut terdapat kelemahan yang menyebabkan CRM 197 tidak dikembangkan menjadi vaksin baru. Dua kelemahan utamanya adalah (1) Imunogenisitasnya tidak sebaik toksoid difteri konvensional (2) Hasil panen pada kultur cair hanya 5-20 Lf/ml, sangat kecil dibanding toksin yang diperoleh dengan fermentasi konvensional strain PW8 hypertoxinogenic yaitu sekitar 150-250 Lf/ml.

Imunogenisitas rendah kemungkinan disebabkan toksin tidak dapat mengikat NAD+; juga karena molekul itu lebih peka terhadap protease sehingga berpeluang terdegradasi sebelum merangsang terbentuknya antibodi yang kuat pada tubuh. Problem itu dapat dipecahkan dengan adanya penemuan bahwa perlakuan formalin terhadap CRM 197 (yang telah dimurnikan) dapat menstabilkan molekul dan menyebabkan molekul mampu menginduksi antibodi tubuh hingga mencapai protektif level (kadar antibodi yang cukup untuk melindungi tubuh dari serangan penyakit). Perlu dicatat bahwa perlakuan formaldehid pada CRM 197 hanya dibutuhkan untuk stabilisasi molekul dan bukan untuk tujuan detoksifikasi seperti pada toksin difteri.

Problem hasil panen yang kecil juga dapat dipecahkan dengan penelitian proses penggabungan corynephage ke dalam kromosom bakteri. Ternyata strain PW8 hypertoxinogenic yang digunakan untuk produksi difteri konvensional mengandung 2 phage lysogenic. Hal itu adalah salah satu penyebab produksi toksin yang tinggi, yaitu keberadaan 2 gen tox (bukan hanya 1 gen tox).

Penelitian tersebut juga menghasilkan isolat strain C7 yang mengandung dua phage yang mengkode CRM 197 yang tergabung secara stabil dalam kromosom. Keberadaan 2 phage pada strain baru ini menyebabkan strain C7 mampu menghasilkan panen 60 Lf/ml dalam labu, dan percobaan awal di fermentor menghasilkan 25 – 30 Lf/ml. Selanjutnya optimasi kondisi fermentasi di fermentor berhasil meningkatkan panen menjadi 80 – 90 Lf /ml CRM 197. Dengan nilai panen sebesar itu membuat CRM 197 cukup layak untuk diproduksi pada skala industri.

Dengan preparasi khusus, strain C7 (B197) M1 ditumbuhkan pada fermentor dengan medium semisintetik CY. Setelah kultur berumur 36 jam, bakteri mencapai optical density 20 (590 nm), dan supernatan mengandung sekitar 90 Lf/ml CRM 197. Kemudian bakteri dipisahkan dengan sentrifugasi dan CRM 197 yang terdapat pada supernatan dipekatkan dengan diafiltrasi atau diendapkan dengan ammonium sulfat. Selanjutnya CRM 197 pekat dimurnikan dengan kromatografi DEAE-selulose dan mampu menghasilkan kemurnian diatas 95%. Proses stabilisasi dengan formaldehid dilakukan dengan mengencerkan larutan menjadi 100 Lf/ml dalam 67 mM buffer fosfat, pH 7,8, kandungan lysin 25 mM dan formaldehid 0,7%. Proses ini menghasilkan kemurnian hampir mencapai 100%.

^_^

Saat ini telah dikembangkan produksi skala industri vaksin difteri dengan CRM 197. Biaya produksinya mampu bersaing dengan produksi toksoid difteri konvensional, sehingga tidak ada lagi rintangan dalam mengembangkan vaksin CRM 197.

Trial vaksin baru itu telah dilakukan dengan menggunakan 4 ug dan 8 ug CRM 197/dosis pada vaksin difteri dan tetanus untuk dewasa, dan menunjukkan hasil yang aman dan efektif merangsang imunitas terhadap difteri. Penggunaan CRM 197 untuk vaksin bayi masih dalam taraf pengembangan, karena kendatipun telah dilakukan stabilisasi dengan formalin ternyata potensi vaksin CRM 197 masih lebih rendah dibanding toksoid difteri. Hal itu mungkin disebabkan oleh perbedaan konformasi CRM 197 dengan konformasi wild-tipe toksin, sehingga masih perlu dikembangkan CRM baru dengan imunogenisitas yang lebih baik (diterjemahkan oleh Undil).


Sumber:
Rappuoli Nino, New and Improved Vaccines Against Diphtheria and Tetanus, dalam New Generation Vaccines /edited by Myron M. Levine (et al.) 2nd ed., rev. and expanded, 1997, Marcel Dekker Inc, New York.

Catatan:

Imunogenisitas Vaksin
Kemampuan vaksin menghasilkan kekebalan terhadap penyakit di dalam tubuh.

Supernatan
Pada proses sentrifugasi, supernatan adalah istilah untuk cairan jernih yang berada diatas endapan yang terbentuk di dasar tabung sentrifuge.

Lf/ml
Lf/ml adalah satuan yang menunjukkan kadar toksin. Nilai 1 Lf setara dengan 2.5 ug toksin difteri.

Fermentor
Fermentor adalah reaktor biologi, sebuah tangki/wadah yang biasa digunakan untuk menumbuhkan mikrobia. Kondisi pertumbuhan mikrobia di dalam fermentor dapat diatur sesuai yang dibutuhkan (mis. pengaturan suhu, pH, tekanan, & aerasi).


1 comment:

  1. vaksin ini efektif nggak, kalo diberikan pada pasien yang baru sembuh dari difteri (sebagai pencegahan serangan difteri berulang)?

    ReplyDelete