Membela Pembunuh Sadis dengan Point of View

Berita Pertama
Anak bungsu yang masih balita itu dengan lugunya tertawa-tawa kala diturunkan dari gendongannya. Satu persatu anaknya yang masih kecil-kecil dipeluk. Kemudian istrinya yang lalu pingsan dipelukannya. Demikian juga adik-adiknya tak kuasa menahan air mata kala melepas lelaki tinggi besar itu ke panggung hukuman mati. Ibunya yang semua rambutnya telah memutih tampak menatapnya sayu dengan kepala bersandar di bahu suaminya. Air matanya telah habis untuk menangisi nasib tragis anaknya.

Setelah semua usaha keluarga untuk mendapat pengampunan dari pengadilan ditolak – lelaki itu harus dipancung. Ratusan perempuan yang datang berbondong-bondong dari kampungnya tampak menangis sambil melambai-lambaikan kain hitam tanda berduka cita.

“Jangan berhenti berjuang membela teman-teman saya di penjara. Jadikan saya sebagai korban terakhir pembalasan dendam mereka” teriaknya lantang. Sesaat kemudian orang itu digiring algojo ke papan penjepit leher untuk dipancung. Jerit tangisan ratusan orang mengiringi kepergiannya. Jerit tangis yang tak sanggup mengubah keputusan hukuman mati -- yang entah untuk apa buru-buru dilakukan pada orang gagah itu.


^_^


Berita Kedua
Tanpa basa-basi si lelaki tinggi besar menebaskan parangnya sekuat tenaga ke ubun-ubun anak kepala kampung yang belum lagi berumur 6 tahun. Lelaki itu yang tertawa terbahak-bahak melihat korbannya terkapar di lantai. Ditangkapnya lagi kakaknya yang setahun lebih tua. Ditebasnya anak itu dengan parangnya hingga tewas di tempat. Kemudian dikeluarkan granat yang tergantung di pinggangnya dan dilemparkan ke dalam kamar yang berisi istri kepala kampung yang yang meringkuk di sudut kamar -- memeluk bayinya -- sambil menangis ketakutan. Bummm! granat meledak membuat tubuh keduanya porak poranda dihantam serpihan-serpihan granat.

Tak puas dengan itu diperintahkan untuk menyeret kepala kampung dan tiga orang pembantunya ke halaman rumah. Kemudian kaki mereka digantung di atas pohon. Disuruhnya anak buahnya menjadikan mereka sasaran anak panah. Satu jam kemudian empat orang itu telah mati dengan puluhan anak panah menancap di sekujur tubuh. Tak lama kemudian dibakarnya rumah yang masih berisi tiga orang adik perempuan kepala kampung -- yang berteriak-teriak histeris kala api membakar habis rumah itu bersama tubuh mereka.

Kemarin pagi hidup lelaki bertubuh besar itu berakhir di tangan Algojo yang melaksanakan hukuman pancung di alun-alun. Sebulan sebelumnya pengadilan tinggi kerajaan menolak mengampuni perbuatan kejinya.

^_^

Berita pertama dan kedua bercerita tentang lelaki yang sama. Seorang pembunuh sadis yang telah membantai habis satu keluarga. Teknik penulisan berita dapat membuat pembaca justru kasihan pada si pembunuh. Pembaca seolah-olah tergerakkan untuk bersimpati pada pembunuh dan memusuhi cara kerja pengadilan. Caranya dengan bermain-main dengan point of view. Bermain dengan sudut pandang pemberitaan seperti yang dilakukan pada berita pertama.

Berita pertama mengambil sudut pandang semata-mata dari sisi keluarga si pembunuh. Digambarkannya bagaimana keluarga si pembunuh sangat bersedih. Juga tetangga-tetangganya yang nampak sangat kehilangan. Bahkan berita itu tidak menyertakan informasi tentang penyebab si pembunuh dihukum mati. Tidak disertakan informasi yang cukup sebab musabab mereka harus dihukum mati. Akibatnya kesan yang timbul adalah hukuman itu berlebihan dan dilatarbelakangi balas dendam terhadap sekelompok orang.

^_^

Begitulah kekuatan point of view. Dengan memilih point of view yang cerdik, seorang pembunuh sadis pun dapat disulap menjadi seorang korban yang patut dikasihani.



0 komentar:

Post a Comment