“Kalau aku marah-marah ya bubar kabeh. Mereka tak akan berani mencoba lagi dan ujung-ujungnya semua pekerjaan terpaksa kulakukan sendiri. Mosok kabeh gawean kudu tak tandangi dewe. Mengko wong sing arep jajan sate selak ngantuk ngenteni satene mateng no”.
^_^
^_^
Malam itu di lesehan Malioboro. Secara tak terduga Shinichi bertemu dengan Okinawa yang sedang sibuk “membersihkan” piringnya dari setumpuk sate ayam. Rupanya sahabat Shinichi yang berbadan besar tersebut – seperti halnya Shinichi—sedang memanfaatkan long weekend untuk berlibur ke Jogja bersama adiknya. Sementara si adik asyik berjalan-jalan menyusuri kakilima Malioboro-- Okinawa yang menganggap jalan-jalan adalah sejenis olahraga yang membosankan -- memilih mengolahragakan mulutnya dengan 2 porsi sate ayam.
“Kamu pasti tahu, satu-satunya olahraga yang kusukai hanyalah badminton” katanya sambil tertawa lebar.
^_^
Empat orang pembantu Ibu pemilik lesehan dengan cekatan mempersiapkan sate pesanan pengunjung. Dua orang dengan tangkas membakar sate. Dua yang lain menyiapkan bumbu-bumbu, merajang ketimun & menggoreng bawang. Sementara si Ibu dengan senyum ramahnya mengantar sate-sate yang telah matang ke meja-meja pengunjung sambil sesekali mengajak bercakap-cakap para pelanggannya.
“Wah, semua teman-teman Ibu sangat trampil menyiapkan masakan” puji Shinichi pada pemilik lesehan saat mengantar sate ke mejanya.
Si Ibu tersenyum, dan mengatakan bahwa “orang biasa” pun jika dilatih dan diberi kesempatan, akan menjadi secanggih mereka. Dia bercerita bahwa ketrampilan empat orang pekerja andalannya tersebut tidak jatuh dari langit. Mereka dilatihnya dengan telaten. Diberi kesempatan mencoba. dan melakukan kesalahan tanpa dihakimi.
“Yah, waktu pertama belajar membakar sate ya gosong-gosong dikit gak apalah, walau terpaksa satenya kami makan sendiri” katanya sambil tertawa.
Rupanya selama proses pelatihan si Ibu mati-matian menahan diri untuk tidak “mengambil alih” pekerjaan yang salah. Dikoreksinya kesalahan mereka dan disemangati untuk mencoba lagi.
“Kalau aku marah-marah ya bubar kabeh. Mereka tak berani mencoba lagi. Akibatnya semua pekerjaan jatuh padaku. Mosok kabeh gawean kudu tak tandangi dewe. Mengko wong sing arep jajan sate selak ngantuk ngenteni satene mateng no”
^_^
“Ibu ini hebat lho, ilmu yang dipakai Ibu sama dengan ilmu yang didapat Pak General Manager dari sebuah biro konsultan Internasional dari Australia” celetuk Okinawa memuji dan membuat si Ibu tersipu-sipu.
Okinawa membeberkan kejadian serupa tapi tak sama di kantornya-- tentang pelatihan yang mengakhiri menumpuknya pengambilan keputusan di satu tangan. Pada mulanya serangkaian pelatihan internal & eksternal yang diwajibkan oleh GM pada seluruh anak buahnya -- dianggap Okinawa hanya membuang-buang waktu. Menyebabkan terbengkalainya pekerjaan rutin.
Belakangan terbukti bahwa pelatihan membuat kompetensi para manager beserta asisten-asistennya meningkat dengan pesat. Manfaatnya pengambilan keputusan yang selama ini ditangani sendiri oleh GM, pelan-pelan mulai dialirkan ke bawah.
GM praktis hanya memegang masalah-masalah yang sangat kritis. Masalah-masalah yang tidak sangat kritis dilimpahkan pada para manager – termasuk atasan Okinawa. GM menahan diri untuk tidak turut campur dalam proses pengambilan keputusan -- bahkan sengaja tidak ikut serta dalam meeting agar para manager dapat mengambil keputusan dengan leluasa.
Asisten manager seperti Okinawa juga diberi wewenang mengambil keputusan atas pekerjaan-pekerjaan rutin. Atasan Okinawa-pun menahan diri saat melihat anak buahnya salah dalam membuat keputusan. Tidak ngamuk atau buru-buru mengambil alih pengambilan keputusan. Namun memberi koreksi yang konstruktif. Hasilnya nyata. Kini proses pengambilan keputusan di kantor Okinawa terdadikbusi dengan rapi. Tidak terkonsentrasi di satu tangan. Yang pasti keputusan dapat diambil tepat pada waktunya.
^_^
Malam berlangit bersih dari gumpalan mendung ketika Shinichi bersama Okinawa dan adiknya meluncur di atas kijang – meninggalkan Malioboro yang sayup-sayup masih memperdengarkan musisi jalanan lengkap dengan drum dan simbal-nya-- sedang memainkan Rio Funk-nya Le Ritenour. Mereka bertiga berencana ke Parangtritis untuk menikmati indahnya laut bermandikan cahaya bulan purnama dari pantai yang dikelilingi bukit-bukit pasir yang indah itu.
^_^
Empat orang pembantu Ibu pemilik lesehan dengan cekatan mempersiapkan sate pesanan pengunjung. Dua orang dengan tangkas membakar sate. Dua yang lain menyiapkan bumbu-bumbu, merajang ketimun & menggoreng bawang. Sementara si Ibu dengan senyum ramahnya mengantar sate-sate yang telah matang ke meja-meja pengunjung sambil sesekali mengajak bercakap-cakap para pelanggannya.
“Wah, semua teman-teman Ibu sangat trampil menyiapkan masakan” puji Shinichi pada pemilik lesehan saat mengantar sate ke mejanya.
Si Ibu tersenyum, dan mengatakan bahwa “orang biasa” pun jika dilatih dan diberi kesempatan, akan menjadi secanggih mereka. Dia bercerita bahwa ketrampilan empat orang pekerja andalannya tersebut tidak jatuh dari langit. Mereka dilatihnya dengan telaten. Diberi kesempatan mencoba. dan melakukan kesalahan tanpa dihakimi.
“Yah, waktu pertama belajar membakar sate ya gosong-gosong dikit gak apalah, walau terpaksa satenya kami makan sendiri” katanya sambil tertawa.
Rupanya selama proses pelatihan si Ibu mati-matian menahan diri untuk tidak “mengambil alih” pekerjaan yang salah. Dikoreksinya kesalahan mereka dan disemangati untuk mencoba lagi.
“Kalau aku marah-marah ya bubar kabeh. Mereka tak berani mencoba lagi. Akibatnya semua pekerjaan jatuh padaku. Mosok kabeh gawean kudu tak tandangi dewe. Mengko wong sing arep jajan sate selak ngantuk ngenteni satene mateng no”
^_^
“Ibu ini hebat lho, ilmu yang dipakai Ibu sama dengan ilmu yang didapat Pak General Manager dari sebuah biro konsultan Internasional dari Australia” celetuk Okinawa memuji dan membuat si Ibu tersipu-sipu.
Okinawa membeberkan kejadian serupa tapi tak sama di kantornya-- tentang pelatihan yang mengakhiri menumpuknya pengambilan keputusan di satu tangan. Pada mulanya serangkaian pelatihan internal & eksternal yang diwajibkan oleh GM pada seluruh anak buahnya -- dianggap Okinawa hanya membuang-buang waktu. Menyebabkan terbengkalainya pekerjaan rutin.
Belakangan terbukti bahwa pelatihan membuat kompetensi para manager beserta asisten-asistennya meningkat dengan pesat. Manfaatnya pengambilan keputusan yang selama ini ditangani sendiri oleh GM, pelan-pelan mulai dialirkan ke bawah.
GM praktis hanya memegang masalah-masalah yang sangat kritis. Masalah-masalah yang tidak sangat kritis dilimpahkan pada para manager – termasuk atasan Okinawa. GM menahan diri untuk tidak turut campur dalam proses pengambilan keputusan -- bahkan sengaja tidak ikut serta dalam meeting agar para manager dapat mengambil keputusan dengan leluasa.
Asisten manager seperti Okinawa juga diberi wewenang mengambil keputusan atas pekerjaan-pekerjaan rutin. Atasan Okinawa-pun menahan diri saat melihat anak buahnya salah dalam membuat keputusan. Tidak ngamuk atau buru-buru mengambil alih pengambilan keputusan. Namun memberi koreksi yang konstruktif. Hasilnya nyata. Kini proses pengambilan keputusan di kantor Okinawa terdadikbusi dengan rapi. Tidak terkonsentrasi di satu tangan. Yang pasti keputusan dapat diambil tepat pada waktunya.
^_^
Malam berlangit bersih dari gumpalan mendung ketika Shinichi bersama Okinawa dan adiknya meluncur di atas kijang – meninggalkan Malioboro yang sayup-sayup masih memperdengarkan musisi jalanan lengkap dengan drum dan simbal-nya-- sedang memainkan Rio Funk-nya Le Ritenour. Mereka bertiga berencana ke Parangtritis untuk menikmati indahnya laut bermandikan cahaya bulan purnama dari pantai yang dikelilingi bukit-bukit pasir yang indah itu.
0 komentar:
Post a Comment