The Rest of Shinichi (2)

Sekarang jangan bayangkan Shinichi Kudo terdampar di pulau terpencil di lautan tak dikenal dengan tubuh utuh seperti sediakala. Kali ini bayangkan Shinichi terdampar setelah terapung-apung diatas lautan selama empat puluh minggu. Panas terik, terpaan badai dan radiasi matahari telah membuat tubuhnya “menjadi tua”, setua umur 70 tahun.

Tua keriput, fisik lemah dan kehilangan sebagian kemampuan berpikirnya telah membuat Shinichi --benar-benar harus bergantung pada hikmah, pada kebijaksanaan yang pernah dipelajarinya dan sejauh mana telah meresap kedalam hatinya menjadi sebuah kebiasaan —agar dapat bertahan di pulau itu.

Di pulau terpencil dengan ratusan penduduk pribumi asli itu, Shinichi tak dapat lagi mengandalkan fisik yang kuat untuk menangkap ikan, memetik kelapa atau memburu binatang. Kini dia harus banyak mengandalkan orang-orang disekitarnya. Bukan itu saja, kemampuan berpikir dan menganalisa telah jauh menurun membuat Shinichi juga harus berdiskusi dengan mereka dalam merencanakan sesuatu.

Tak ada lagi yang istimewa pada dirinya. Tak ada lagi pesona kecerdasan, apalagi wajah muda yang menawan yang terkadang “sedikit membantu” menyelesaikan masalah yang dihadapi. Satu-satunya yang masih utuh dimiliki adalah pengetahuan tentang kebijaksanaan, yang justru memaksanya meningkatkan kemampuan memahami orang lain dan menjauhi perilaku-perilaku manipulatif untuk mengambil keuntungan secara tidak fair dari orang lain, karena sewaktu-waktu akan membahayakan dirinya sendiri.

Shinichi juga belajar bahwa saat dia tersenyum, memang hatinya juga tersenyum dan bukannya senyum di baliknya ribuan omelan. Karena dia pernah diacungi tombak oleh orang yang diberinya “senyum palsu” yang justru merasa dihina oleh Shinichi. Juga tak ada lagi acara menjelek-jelekkan orang lain di belakang, karena tak mungkin melakukan itu dengan menggunakan bahasa isyarat. Salah-salah dirinya malah digantung karena disalahpahami. Lagipula siapa sih yang lebih percaya pada orang asing yang baru dikenal dibanding dengan teman sesuku yang telah puluhan tahun hidup bersama.

Shinichi juga terpaksa membuang jauh-jauh keinginan menarik perhatian orang lain, karena dianggapnya sia-sia dilakukan dengan “tubuh tuanya”. Satu-satunya cara untuk mendapat simpati adalah dengan melakukan sesuatu untuk mereka dan berusaha sedikit demi sedikit mengambil peran dalam kelompok mereka.

Lalu bagaimana dengan orang-orang yang “oposisi” terhadap dirinya. Shinichi mempelajari dengan cermat mengapa mereka membenci dirinya. Bila sebabnya karena iri, maka Shinichi berusaha menunjukkan bahwa apa yang diraihnya, buahnya juga akan dinikmati oleh orang sekitarnya. Kemajuan dirinya bukanlah ancaman, bahkan akan membawa manfaat juga bagi mereka, misalnya bila Shinichi semakin mahir berburu, kelompok mereka akan mendapat binatang buruan semakin banyak juga.

Bila mereka beroposisi karena merasa disaingi dan tersingkirkan, maka Shinichi berusaha melibatkan mereka dalam melakukan berbagai hal. Namun bila mereka tetap memusuhi, Shinichi berusaha memahami betapa sakitnya orang yang tersingkir karena kehadirannya, dan membiarkan mereka dengan perasaannya. Tentu saja Shinichi tetap waspada dan menutup kesempatan mereka untuk melampiaskan dendam. Misalnya pada saat berburu, Shinichi tidak akan membiarkan mereka berjalan di belakangnya pada saat dirinya sedang sendirian, karena sama saja dengan memberi kesempatan melempar lembing ke punggungnya.

Pada waktu bergabung dengan sebuah kelompok berburu, karena fisiknya tak banyak berperan pada saat mengejar hewan buruan, Shinichi berusaha mengkompensasinya dengan mengumpulkan kayu bakar, membantu mengambil air dan menyiapkan tempat untuk mereka bermalam.

Semua pekerjaan “remeh temeh” dilakukannya demi menjaga “nilai dirinya” dihadapan penduduk asli. Shinichi tak mau bergantung kepada kebaikan sebagian mereka, sekaligus Shinichi tak mau memberi alasan bagi sebagian yang lain untuk menyingkirkan dirinya karena dianggap tak berguna dan hanya menjadi beban. Di balik “tubuh tuanya” tersimpan semangat untuk menjadi bagian tak terpisahkan dari satu kelompok para pemburu. Hanya dengan cara itulah dia merasa dirinya aman.
NL



THE REST OF SHINICHI (1)

Pernahkan terbayangkan kehilangan semua yang dimiliki saat ini dan tetap dapat hidup normal tanpa merasa terusik. Bayangkan bila Shinichi Kudo terdampar di sebuah pulau kecil di tengah lautan yang belum tentu 10 tahun sekali ada kapal yang singgah di tempat itu. Shinichi hanya berbekal barang yang melekat ditubuhnya, bahkan bahasa-pun nyaris tak dapat digunakan karena penduduk asli menggunakan bahasa lokal yang masih primitif. Mendadak Shinichi tak dapat menggunakan semua hasil pendidikan dan ketrampilan yang dimilikinya dan harus mengandalkan ketrampilan sosial yang tidak pernah dilatih sesering ketrampilan lainnya.

Hal yang pertama yang harus dilakukan adalah menggunakan bahasa-bahasa isyarat dasar seperti tersenyum sebagai tanda “Aku adalah sahabatmu”, mengangguk sebagai tanda dukungan dan menggeleng sebagai tanda “Kalau boleh aku tidak melakukan itu”. Dan semua itu dilakukan dengan hati-hati karena Shinichi sangat bergantung kepada mereka, mulai dari sumber makanan sampai tempat berlindung saat badai mengamuk.

Tak terbersit lagi keinginan untuk memilih-milih teman atau berteman dengan orang-orang yang menyenangkan saja, karena Shinichi sebagai orang asing tak bisa bergantung pada beberapa orang saja. Dia butuh mereka semua karena pola hidup mereka yang nomaden dan secara bergantian pergi untuk berburu membuatnya harus berganti-ganti rumah yang ditumpangi.

Sebagian orang menyambut Shinichi dengan baik, ada yang dengan senang hati menolong bahkan ada yang terasa berlebihan dalam memberi perhatian pada Shinichi. Sebaliknya ada juga orang-orang yang terlihat acuh tak acuh dengan kehadiran Shinichi, dan tentu saja ada yang merasa gerah dengan keberadaan Shinichi. Bukan saja karena mereka merasa “sumber dayanya” harus dibagi, tetapi juga karena setiap sesuatu yang diperoleh Shinichi ada kemungkinan dulunya sesuatu itu biasa diraih oleh orang lain, akibatnya Shinichi seolah muncul sebagai hama.

Tentunya tak perlu bertanya cara berhadapan dengan orang-orang yang ramah dan baik, karena untuk itu nyaris tak butuh ketrampilan. Tetapi bagaimana cara berhadapan dengan orang-orang yang “mengasah kukunya” di depan Shinichi adalah sebuah pertanyaan besar. Apalagi buat Shinichi yang sebelumnya punya keleluasaan memilih teman di kehidupan normalnya. Biasanya dia cukup berhubungan dengan orang-orang yang “kurang cocok” untuk urusan kerja saja, paling-paling ditambah beberapa hari sebelum dan sesudah urusan itu selesai.

Namun kini Shinichi harus bergaul bahkan bergantung pada mereka setiap hari. Sebuah kondisi yang membuat Shinichi harus mendefinisikan ulang “hubungan dekat” bukan lagi hubungan menyenangkan dengan orang-orang yang cocok dan disukainya. Tetapi adalah hubungan saling memberi dan menerima dengan orang-orang yang ada di sekitarnya.

Shinichi tak lagi memperhatikan apakah orang itu menyenangkan atau tidak, tetapi apakah orang itu memiliki tujuan yang sama yaitu kelangsungan hidup mereka di pulau terpencil yang selalu dihantam badai dan kekurangan makanan itu. Dan Shinichi juga harus menerima beberapa “perlakuan buruk yang sangat menyebalkan” sebagai sesuatu kewajaran dalam sebuah hubungan. Tak ada waktu lagi untuk “menuntut perlakuan yang adila”, yang dibutuhkan adalah tercapainya tujuan bersama.

NL


1 comment:

  1. Keren banget Ceritanya.........
    Lanjutkan ya.......

    ReplyDelete